JUMLAH anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR cuma 86 orang atau 15% dari 560 anggota dewan. Akan tetapi, kekuasaan segelintir orang itu sangat besar. Percaya atau tidak, merekalah yang menentukan nasib bangsa ini.
Kekuasaan banggar ialah bersama pemerintah menetapkan pendapatan negara sekaligus menentukan prioritas anggaran bagi kementerian dan lembaga. Jika kekuasaan itu dipakai penuh tanggung jawab, rakyat bisa sejahtera.
Sebaliknya, jika kekuasaan itu dipakai untuk politik transaksi, celakalah rakyat dan negara ini. Politik transaksi itulah yang kini terjadi, berjalan seiring dengan pergeseran pola korupsi di Indonesia.
Dahulu pengusaha berkongsi dengan pejabat untuk mendapatkan proyek, sekarang pengusaha berkolusi dengan politikus di Banggar DPR.
Setidaknya ada tiga kasus korupsi kakap yang disebut-sebut melibatkan anggota banggar. Ketiganya yaitu kasus Wisma Atlet, kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan kasus korupsi dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah (PPID) 2011.
Tidak itu saja. Laporan tertulis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kepada Komisi III DPR pada 20 Februari menyebutkan saat ini PPATK sedang menganalisis lebih dari 2.000 laporan terkait dengan anggota DPR dan mayoritas transaksi dilakukan anggota Badan Anggaran DPR.
Meski aroma bau busuk korupsi sudah lama tercium, sejauh ini baru dua anggota banggar yang ditetapkan KPK sebagai tersangka. Pertama, Wa Ode Nurhayati dari Fraksi Partai Amanat Nasional dalam kasus PPID 2011. Padahal, Wa Ode itulah yang pertama kali membuka borok banggar.
Kedua, Angelina Sondakh dari Fraksi Partai Demokrat ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Wisma Atlet. Sebaliknya, I Wayan Koster dari PDIP cuma dikenai status cegah bepergian ke luar negeri.
KPK berjalan lamban, amat lamban, mengusut korupsi yang melibatkan banggar. Padahal, KPK telah memeriksa empat pemimpin banggar pada 20 September 2011 terkait dengan kasus Wisma Atlet dan sogok di Kemenakertrans. KPK juga sudah menggeledah ruang banggar.
Sudah lima bulan terlewat sia-sia sejak KPK memeriksa Ketua Badan Anggaran Melchias Markus Mekeng (Golkar) dan tiga Wakil Ketua Banggar Mirwan Amir (Demokrat), Olly Dondokambey (PDIP), dan Tamsil Linrung (PKS). KPK hingga kini tak kunjung menjelaskan hasil pemeriksaan, apalagi meningkatkan status para terperiksa.
Jika semula gagap mengusut lantaran banggar mengancam mogok membahas RAPBN 2012, KPK kini mestinya tidak lagi memiliki hambatan psikologis sebab APBN 2012 sudah diundangkan.
Temuan 2.000 rekening mencurigakan anggota DPR yang mayoritas dilakukan anggota banggar harus dijadikan KPK sebagai momentum memberantas mafia anggaran di DPR. Jika momentum itu dibiarkan berlalu, sama saja KPK membiarkan badan anggaran menjelma menjadi badan garong anggaran.(mediaindonesia.com, 22/2/2012)