Semua yang Rasulullah putuskan merupakan kebenaran yang wajib diikuti baik lahir dan batin.
Muslim yang baik akan meneladani Rasulullah SAW. Itu pula yang selalu diingatkan dalam setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Ada tiga alasan penting, mengapa seorang Muslim wajib meneladani Nabi SAW. Pertama, meneladani Nabi SAW merupakan refleksi keimanan kepada Allah SWT, Alquran, dan kerasulan Nabi Muhammad SAW. Seseorang tidak dikatakan beriman pada hakekatnya, hingga ia menjadikan Nabi SAW sebagai hakim untuk memutuskan seluruh persoalan mereka.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah, pada saat menafsirkan QS. An Nisaa’: 65, menyatakan, Allah SWT bersumpah dengan mengatasnamakan diri-Nya sendiri Yang Maha Mulia dan Maha Suci, sesungguhnya seseorang belumlah beriman secara sempurna hingga ia berhakim kepada Rasullah SAW dalam seluruh urusan.
Semua yang Rasulullah putuskan merupakan kebenaran yang wajib diikuti baik lahir dan batin. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman: {tsumma laa yajiduu fii anfusihim harajan mimmaa qadlaita wa yusallimuu tasliimaa}: yakni, jika mereka telah berhakim kepadamu (Muhammad SAW), mereka wajib mentaatimu (mentaati keputusan yang diambil Nabi SAW) di dalam batin-batin mereka; dan mereka tidak mendapati perasaan ragu di dalam diri mereka atas apa yang telah kamu putuskan; dan lalu mengikutinya (keputusan Nabi SAW tersebut) baik dzahir maupun bathin. Kemudian, mereka berserah diri kepada itu (keputusan Nabi SAW), dengan penyerahan diri yang bersifat utuh, tanpa ada ganjalan sedikitpun, tanpa ada penolakan sedikitpun, dan tanpa ada penyelisihan sedikitpun; sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih, Nabi SAW bersabda “Demi Dzat Yang jiwaku ada di tanganNya, sesungguhnya seseorang di antara kalian belumlah beriman hingga hawa nafsunya tunduk dengan apa yang aku bawa”. [Imam Ibnu Katsir, Tafsiir Al-Quran Al-‘Adziim, Juz 2/349]
Makna “menjadikan Nabi SAW sebagai hakim atas seluruh urusan” adalah menjadikan keputusan beliau SAW (syariat Islam) sebagai satu-satunya rujukan untuk menyelesaikan seluruh problem kehidupan, baik problem individu, masyarakat, maupun negara.
Kedua, meneladani Nabi SAW merupakan syarat agar amal perbuatan seseorang diterima dan diridhai Allah SWT. Perbuatan yang sejalan dengan sunnah Nabi SAW diterima, sedangkan yang menyelesihinya ditolak. Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan itu ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW. Apa yang sejalan dengan itu (sunnah Rasul) diterima, sedangkan apa yang menyelisihinya maka tertolaklah atas orang yang berkata dan yang berbuat, apapun itu. Sebagaimana ditetapkan dalam Shahihain dan yang lain, dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau bersabda, “Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan, yang tidak kami perintahkan, maka perbuatan itu tertolak”. Yakni; hendaklah berhati-hati dan takut siapa saja yang menyalahi syariat Rasulullah SAW bathin maupun dzahir [an tushiibahum fitnah]: yakni (dia akan tertimpa) fitnah di hati mereka; mulai terkena kekufuran, kemunafikan, atau bid’ah. [Au yushiibahum ‘adzaabun ‘alim]: yakni terkena hukuman di dunia; mulai dari terkena had, penjara, atau dibunuh”.[Imam Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Adziim, QS. An Nuur (24):63]
Ketiga, meneladani Nabi SAW atau mengikuti syariat beliau SAW merupakan jalan untuk meraih kecintaan Allah SWT. Seseorang tidak berhak mencintai dan dicintai Allah SWT, hingga ia mengikuti syariat Nabi SAW baik bathin maupun dzahir. Imam Ibnu Katsir menyatakan,”Ayat yang mulia ini (QS. Ali Imron (3):31) adalah pemutus bagi siapa saja yang mengaku mencintai Allah SWT, namun ia tidak berjalan di atas jalan Nabi Muhammad SAW; maka ia telah berdusta dalam pengakuannya itu, hingga ia mengikuti syariat Nabi Muhammad SAW dan agama Nabi SAW di seluruh perkataan dan perbuatannya. Seperti yang ditetapkan dalam hadits shahih dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau SAW bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka perbuatan itu tertolak”.[Imam Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Adziim, QS. Ali Imron (3):30]
Jalan untuk mencintai dan dicintai Allah SWT adalah dengan mengikuti syariat Nabi Muhammad SAW. Seseorang tidak layak disebut mencintai dan dicintai Allah SWT, jika tidak menerapkan syariat Islam (syariat Nabi SAW) di seluruh dimensi kehidupan. Pengakuan seseorang “mencintai dan dicintai” Allah SWT hanya dusta belaka, jika ia menolak dan tidak menjalankan syariat Islam pada ranah individu, masyarakat, dan negara.
Syarat Meneladani Nabi
Ada pertanyaan, kapan seseorang benar-benar disebut “meneladani Nabi SAW”? Ada penjelasan berharga yang disampaikan Imam Al-Amidiy dalam Kitab Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam. Ia menyatakan; seseorang baru absah disebut “meneladani dan mengikuti Nabi SAW”, jika telah memenuhi tiga perkara. Pertama, [mitslu fi’lihi] semisal dengan perbuatan Nabi SAW. Sebagai contoh, Nabi SAW mengerjakan shalat lima waktu dengan berdiri lurus. Seseorang tidaklah disebut meneladani beliau SAW, jika ia mengerjakan shalat lima waktu dengan berkacak pinggang, atau membelakangi kiblat.
Kedua, [‘ala wajhihi] tujuan dan niat perbuatan harus sesuai dengan tujuan dan niat perbuatan Nabi SAW. Misalnya, Nabi SAW melaksanakan shalat dua rakaat dengan niat wajib. Seseorang sah disebut ittiba’ Rasulullah SAW, jika ia mengerjakan shalat dua rakaat tersebut dengan niat wajib, sebagaimana niat Nabi SAW. Ia tidak disebut meneladani Nabi SAW jika ia melaksanakan shalat dua rakaat tersebut dengan niat sunnah.
Ketiga, [min ajlihi] karena sebab beliau SAW. Seseorang tidak disebut meneladani Nabi SAW jika ia mengerjakan suatu perbuatan bukan karena mengikuti Nabi SAW, meskipun bentuk dan sifat (tujuan dan niat) perbuatannya sama dengan bentuk dan sifat perbuatan Nabi SAW. Oleh karena itu, jika Nabi SAW mengerjakan suatu perbuatan di suatu tempat atau waktu tertentu, maka, seseorang Muslim tidak dituntut untuk mengerjakan perbuatan tersebut pada tempat dan waktu yang sama, kecuali ada ketetapan dari Nabi SAW, bahwa perbuatan tersebut harus dilaksanakan pada waktu dan tempat tertentu. Dalam kondisi semacam ini, seorang Muslim wajib melaksanakan perbuatan tersebut pada tempat dan waktu yang telah ditetapkan Nabi SAW. Misalnya, keharusan puasa di bulan Ramadhan, bukan di bulan lain; wajibnya ibadah haji di Arafah bukan di tempat lain; serta wajibnya shalat lima waktu pada waktu-waktu yang telah ditetapkan Nabi SAW. Adapun ibadah-ibadah lain yang pelaksanaannya tidak dikhususkan pada waktu dan tempat tertentu, maka, seorang Muslim diperkenankan melaksanakannya pada tempat dan waktu berbeda, seperti jual beli, berdagang, bekerja, dzikir, shalat muthlaq, dan lain sebagainya.
Kesimpulannya, meneladani Nabi SAW harus diwujudkan dalam bentuk menjalankan syariat Islam secara menyeluruh tanpa memilih-milih dan memilah-milah. Meneladani Nabi SAW tidak cukup hanya dengan klaim, propaganda, dan peringatan maulid belaka. Namun, meneladani Nabi SAW harus diwujudkan dengan cara menjalankan syariat Islam dalam ranah individu, masyarakat, dan negara.
Selain itu, meneladani Nabi SAW harus diwujudkan juga dengan cara mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru dunia, menolak keyakinan dan sistem hukum yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam; dan berjuang mendirikan kembali Daulah Islamiyyah yang diajarkan Nabi SAW dan ditempuh oleh para shahabat. Dengan cara inilah seorang Muslim dianggap benar-benar meneladani Nabi SAW, baik perkataan dan perbuatan beliau SAW.
Walhasil, meneladani Nabi SAW harus dimaknai dengan menerima syariat Islam secara penuh, menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan, dan mendakwahkannya ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. [] Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy
Kami Rindu Terhadap Risalah Nabi Muhammad Tercinta
Kerinduan Kami Wujudkan dalam Perjuangan Syariah dan Khilafah
Subhanallah, semestinya begitu cara mencintai Rosulullah, bukan sekedar membaca sholawat dan memperingati hari kelahiran Beliau.Semoga dg penjelasan ini kaum muslimin menyadari, betapa pentingnya menrepkan syariat islam dalam setiap sendi kehidupan.