Negeri Preman

PREMANISME di negeri ini kian edan. Premanisme semakin garang memantik kecemasan dan menghadirkan ketakutan di ruang publik. Eksistensi Polri sebagai pelindung dan pelayan masyarakat pun diuji.

Belenggu premanisme kuat mengikat dan gamblang dilihat dengan kasatmata. Di jalan-jalan, di perempatan lampu merah, maupun di pasar, para preman berlaku lagak memeras dan merampas. Di terminal bus dan pelabuhan, mereka unjuk kuasa memalak calon penumpang dan sopir.

Lantaran ulah preman, transportasi publik yang seharusnya menjanjikan keamanan dan kenyamanan berubah menjadi arena horor. Di atas bus kota, para preman berkedok pengamen mengancam dengan dalih baru keluar dari bui dan butuh uang untuk makan. Bahkan, angkutan kota dijadikan tempat untuk memerkosa mahasiswi dan pedagang sayur.

Premanisme berbungkus organisasi kemasyarakatan juga menggila.

Atas nama ormas, mereka bersaing menawarkan jasa pengamanan atau penagihan utang (debt collector). Mereka menjadi centeng kalangan berduit untuk menindas kaum tak berpunya.

Premanisme dengan segala wujudnya itu malah tak lagi memilah lokasi dalam beroperasi, termasuk di kawasan milik militer. Pada Kamis (23/2), misalnya, segerombolan orang membantai dua pelayat di rumah duka Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta Pusat.

Jelas sudah, perilaku preman sudah kelewat batas. Apakah itu harus dibiarkan? Publik jelas menjawab tidak. Kita juga yakin, aparat keamanan punya jawaban sama.

Akan tetapi, diakui atau tidak, selain akibat kemiskinan dan pengangguran, premanisme tumbuh dan menggurita karena pembiaran. Bukan rahasia lagi, banyak preman dipelihara oknum TNI atau Polri. Preman menjadi kepanjangan tangan-tangan kotor mereka untuk mengeruk fulus dan keuntungan politik.

Ada simbiosis mutualisme, hubungan yang saling menguntungkan. Tidak peduli rakyat menjadi korban, tak peduli meski hubungan tercela itu juga mengakibatkan ekonomi ongkos tinggi.

Memberantas premanisme memang tidak gampang, tetapi akan lebih sulit jika aparat keamanan justru larut dalam profesi destruktif itu. Polri selalu bersemangat menabuh genderang perang terhadap preman ketika ada kejadian besar, seperti kasus John Kei dan pembantaian di RSPAD.

Celakanya, ketegasan mereka itu kerap bersifat sesaat. Tabiat pembiaran selalu saja terulang sehingga premanisme mendapatkan ruang yang nyaman untuk mengangkangi hukum.

Untuk memberantas premanisme perlu ketegasan yang berkelanjutan. Pantang ada lagi aparat yang bersahabat dengan preman. Di situlah kredibilitas Polri dipertaruhkan.

Jika gagal, negeri ini mustahil terbebas dari teror tirani minoritas berwujud preman. Indonesia pun akan dicap sebagai negara gagal, failed state, dalam menjamin keamanan rakyatnya. (mediaindonesia.com, 27/2/2012)

One comment

  1. Memprihatinkan….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*