Keputusan MK sangat keliru dan secara metodologi keputusan tersebut tidak berlandaskan syariat Islam.
Mahkamah Konstitusi memutuskan, anak yang lahir di luar perkawinan tetap resmi mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Hal tersebut disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, beberapa waktu lalu setelah memutus uji materiil terhadap UU 1/1974 tentang perkawinan.
Menurut Mahfud, putusan MK merupakan salah satu hal penting. Putusan itu membuat anak yang lahir di luar perkawinan resmi tetap mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Selain berlaku terhadap anak yang status pernikahan siri, ketentuan ini pun berlaku juga bagi laki-laki yang melakukan hubungan tanpa pernikahan pun harus bertanggung jawab terhadap anak yang lahir. “Ini juga sesuai dengan UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang menyangkut hak asasi manusia (HAM),” kata Mahfud MD.
Muslimat Nahdlatul Ulama menilai, putusan Mahkamah Konstitusi terkait yang lahir di luar nikah sangat riskan dan berpotensi menjerumuskan terutama jika dikaitkan dengan hukum Islam. “Tapi, niat baik ini bisa jadi justru menjerumuskan pada akhirnya,” kata Ketua Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa (Vivanews.com).
Hal itu juga ditegaskan oleh Shiddiq al-Jawi pengasuh rubrik Ustadz Menjawab di Media Umat. Ia menjelaskan, keputusan Mahkamah Konstitusi tentang anak di luar nikah sama sekali tidak berdasar dan sama sekali tidak sesuai dengan syariah Islam.
“Seharusnya MK hanya mengesahkan hubungan ayah dan anak, yang dilahirkan melalui pernikahan yang sesuai dengan syariah Islam, baik tercatat mau pun tak tercatat, yaitu apa yang disebut nikah siri. Jadi MK sudah berlebihan,” jelasnya.
MK menilai terobosan yang dilakunnya sudah sangat tepat dan akan memberikan keadilan pada anak dan akan membuat efek jera terhadap laki-laki yang akan melakukan perzinaan.
Memang, menurutnya, alasan MK tampaknya masuk akal. “Namun yang perlu diingat kalau kita bicara syariat Islam tidak bisa semata-mata hukum itu diputuskan berdasarkan reasoning saja, yaitu apakah sesuatu itu masuk akal atau tidak, tapi harus berdasarkan dalil syar’i baik Alquran maupun hadits,” urainya.
“Hubungan nasab antara ayah dan anak tercipta karena adanya akad nikah, bukan karena hubungan seksual. Jadi, kalau tidak ada akad nikah maka anaknya disebut anak zina, tak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Meski secara biologis ada hubungan namun secara hukum syara’ tidak ada hubungan. Itu yang perlu dipahami,” tambahnya.
Seorang anak itu disebut anak zina, bukan stigma. Tapi status hukum terkait hak-hak waris, perwalian nikah biar jelas. “Jadi seorang anak disebut anak zina bukan stigma negatif tentang dirinya tapi penjelas tentang status hukumnya dalam syariat Islam,” urainya.
Menurut MK, keputusan itu akan membuat laki-laki mencegah dirinya dari zina. Padahal, menurut Ustadz Shiddiq, malahan sebaliknya kalau dilihat dari sisi perempuan, itu akan mendorong untuk melakukan zina.
“Misalkan, kalau ada pasangan kumpul kebo, si perempuan akan beranggapan anak yang lahir akan menjadi tanggung jawab laki-laki. Nah kalau kalau begitu, perempuan akan menggampangkan zina. Perempuan akan beranggapan kalau begitu saya zina saja toh nanti ada yang bertanggung jawab.”
Jadi, menurut ustadz Shiddiq, keputusan MK sangat keliru dan secara metodologi keputusan tersebut tidak berlandaskan syariat Islam, dan hanya mengandalkan reasoning (logika akal tanpa bimbingan wahyu).
“Ada kelemahan mendasar keputusan MK itu. Yaitu hanya melihat persoalan itu secara logika dari sisi laki-laki. Mungkin si laki-laki akan berat melakukan zina karena harus bertanggung jawab. Tapi kalau dilihat dari sisi perempuan, justru akan mendorong dia berzina. Karena perempuan akan berpikir laki-laki yang menzinainya toh akan bertanggung jawab. Ini akhirnya terkesan meremehkan pernikahan dan malah mendorong perzinaan,” terangnya.
Namun bagaimana pun juga anak di luar pernikahan wajib dirawat dan diasuh. Menurutnya, “Siapa yang merawat anak tersebut? Di sinilah pentingnya peran negara untuk mengatur urusan umatnya. Negara bertanggung jawab terhadap anak zina. Namun boleh pula negara menyerahkan pengasuhan anak zina itu pada umat secara umum.”
Ia lalu menerangkan dasarnya. Ia menceritakan kisah di zaman Rasulullah SAW, bahwa ada seorang wanita berzina sampai hamil. Dia tidak dirajam oleh Nabi sampai anaknya lahir dan sudah disapih. Oleh Nabi, sebagai kepala negara, anak wanita itu diserahkan kepada salah seorang sahabat untuk diasuh.[mediaumat.com/ faith)
kalo sudah rasionalitas jadi dasar ga bakalan tentram hidup qta, ingat manusia terbatas akalnya dan butuh aturan sang maha Esa yaitu Allah SWT
akal di ciptakan oleh ALLAH SWT, maka akal harus mengikuti aturan dari yang menciptakannya, klo tidak demikian maka yg terjadi akal-akalan