Perempuan, Nasibmu Kini (Refleksi Hari Perempuan Internasional)
Oleh : Aris Solikhah
Tepat tanggal 8 Maret, diperingati Hari Perempuan Internasional. Berbagai catatan buram menghiasi lembaran kehidupan perempuan dunia. Sesak dada ini merasakan duka atas nasib buruk yang menimpa perempuan dan buah hatinya.
Coba tengok saja, saat ini, terdapat angka kematian ibu yang mencapai 307 per 100.000 kelahiran. Data Internasional Labour Organization (ILO) menyebutkan di Indonesia terdapat 4.201.452 anak terlibat dalam pekerjaan berbahaya, lebih dari 1,5 juta diantaranya adalah anak perempuan. Lebih miris lagi, tubuh mungil bau kencur itu diperjualbelikan. Data Maret 2005, sekitar 200-300 ribu anak perempuan dilacurkan.
Perempuan pun sering menjadi saksak tinju, sasaran bogem mentah, tamparan dan intimidasi psikis. Catatan tahunan Komisi Nasional Perempuan (Komnas) Perempuan mengungkapkan dari 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh 258 lembaga di 32 provinsi, 76 persen atau 16.709 kasus adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Kalangan aktivis perempuan, begitulah mereka menggelari dirinya, berupaya mencari pemecahan dari berbagai masalah tersebut dengan merubah peraturan perundangan yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan. Para aktivis ini menilai akar penderitaan perempuan berasal dari budaya patriarki, ketidaksetaraan antara lelaki dan perempuan serta ketidakadilan gender. Para aktivis perempuan ini terlibat dalam berbagai forum dan konvensi internasional yang dianggap peduli pada nasib perempuan.
Diantaranya, Convention on the Political Rights of Women (Konvensi Hak Politik Perempuan) tahun 1952 , Convention of the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/CEDAW) tahun 1979, Convention on the Rights of Child (Konvensi Hak Anak).
Konvensi lain yang juga diikuti; International Conference on Population and Development (Konvensi Kependudukan dan Pembangunan/ICPD) tahun 1994, Beijing Declaration and Platform For Action (Deklarasi Beijing/BPFA) tahun 1995 dan Millenium Development Goals ( Tujuan Pembangunan Milinium/MDGs) tahun 2001.
Dengan adanya ratifikasi konvensi diatas, maka terlahirlah undang-undang seperti UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Hal ini sejalan dengan pencapaian MDGs tahun 2015. Salah satu pencapaiannya ialah kesetaraan gender di segala bidang.
Mayoritas aktivis perempuan tadi juga menolak pengesahan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, mendorong pengesahan RUU kesehatan reproduksi (aborsi), menggagas RUU Perdagangan Perempuan dan Anak serta revisi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Revisi UU Perkawinan terbaru ini berisi pelarangan poligami, hak perempuan sebagai kepala rumah tangga. Entah UU yang sedang digolkan.
Maksud ratifikasi dan lahirnya berbagai UU tersebut sebenarnya mulia. Namun patut disadari oleh kita bersama, pemecahan masalah perempuan melalui konvensi dan ratifikasi tersebut, bila dicermati secara jeli, tidak akan menyelesaikan persoalan perempuan. Malah, menambah masalah dan menimbulkan kemudharatan baru.
Dengan pilihan tata bahasa dan kemasan cantik memikat, beberapa isi dan pasal-pasal di dalamnya menyimpan misi politis samar. Bahkan bertentangan dengan aturan Islam. Misalnya, UU. Kewarganegaran pasal 4 ayat e dan h mengatur pengakuan anak diluar pernikahan.
Memang tak bisa dipungkiri bersama, fakta buram kondisi perempuan dunia, begitu memilukan. Tentu, kita berharap semua perempuan bahagia meniti hidupnya. Bila kita berpikir jernih memandang, akar masalah perempuan dunia ini bukan berasal dari budaya patriarki. Kesengsaraan yang melanda kaum kita, sebenarnya akibat jaring-jaring sistem kapitalis liberalis. Sistem ini menafikkan aturan Islam. Sehingga baik laki-laki, perempuan, anak-anak, bapak ibu, pemerintah tak memahami peran dan kewajibannya.
Suami kurang memahami agama dan tanggungjawab cenderung menzalimi istri dan keluarganya. Begitu pula, istri yang kurang memahami hak dan kewajibannya menyebabkan kehidupan rumah tangga retak. Pemerintah pun demikian. Kebijakan pemerintah yang kurang memihak kepentingan masyarakat dan jauh dari nilai-nilai agama, menahan curahan berkah dan rahmah Allah. Oleh karenanya mari kita kembali pada jalan Allah. Perempuan, ditanganmu nasib perubahan dipertaruhkan.[]