HTI Press. Hizbut Tahrir Indonesia Kota Bogor mengadakan Majelis Bina Syakhsiyah (MBS) dengan tema “Kenaikan BBM Bersubsidi Kebijakan Khianat & Dzalim : WAJIB DITOLAK” secara serempak di 4 titik sekaligus pada hari ahad (11/3) yang lalu. Yakni di Masjid Al Muttaqin (Perum Indraprasta, Jl Pandu Raya), Masjid Agung Empang, Masjid Al Maghfiroh (Perumahan PT Unitex) dan Masjid Al Ghazi (Perumahan Taman Yasmin) Kota Bogor.
Acara yang berlangsung dari jam 08.00 sampai jam 11.30 dan dihadiri total peserta hingga 800an peserta ikhwan dan akhwat ini mendapat respons yang luar biasa. Ketua DPC Bogor Timur, Ust. Abu Tsaur, dalam kalimatut taqdim-nya, Beliau menyampaikan ucapan ahlan wa sahlan dan terimakasihnya atas kehadirannya para peserta. Beliau menjelaskan keberadaan Hizbut Tahrir sebagai partai dakwah yang bergerak ditengah-tengah umat dan bersama-sama dengan umat yang berjuang untuk menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya. Beliau menyampaikan bahwa permasalahan Islam bukan hanya permasalahan sedikitnya jamaah masjid dan pengajian-pengajian, atau rusaknya moral pemuda-pemudi umat Islam, tapi juga permasalahan BBM, dan itulah mengapa MBS pagi ini mengangkat tema tentang kenaikan BBM.
Para pembicara [Ust. Ir. Abdul Qodir, Ust Zamroni Ahmad, Ust Abu Faqih dan Ust Amiruddin] dalam pemaparannya membantah alasan-alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Sesungguhnya alasan-alasan yang dibuat merupakan bentuk khianat dan kedzaliman pemerintah kepada rakyat. Seperti alasan membebani APBN karena besarnya subsidi BBM, para pembicara menyampaikan bahwa beban terbesar APBN bukan subsidi melainkan untuk membayar beban hutang dan anggaran-anggaran dinas pejabat. “Penggunaan kata subsidi juga merupakan ungakapan yang salah,” tegas Ust Abdul Qadir. “Pemerintah tidak pernah memberikan subsidi karena BBM ini milik kita yang ada di pekarangan kita sendiri, kita hanya perlu mengeluarkan ongkos untuk mengambilnya yang tidak lebih dari 2.650 rupiah per liternya,” imbahnya lagi. “Jadi kalo di jual dengan harga 4.500 rupiah sesungguhnya sudah untung, tetapi karena harga internasional jauh lebih tinggi maka pemerintah menganggap rugi dan menganggap memberi subsidi,” tegasnya lagi.
Ust Qodir mengibaratkan bahwa pemerintah ini seperti seorang ayah yang menjual buah mangga yang dipetik dari pekarangannya sendiri kepada anaknnya, sudah menjual kepada anak sendiri harganyapun juga dengan harga pasar. “Orangtua macam apa yang menjual mangga yang dipetik dari pekarangannya sendiri kepada anaknya sendiri, kalau bukan orangtua yang khianat dan dzalim kepada anaknya,” tegasnya. Demikian juga permisalan yang tepat untuk pemerintah saat ini.
Ust. Drs. Amirudin Abu Fikri, MA, aktivis HTI yang sekaligus pengurus MUI Kota Bogor menyampaikan bahwa kenaikan BBM bersubsidi tidak boleh terjadi karena Indonesia memilki SDA berlimpah. Dalam hadist diterangkan bahwa manusia berserikat atas tiga hala yaitu: tanah, air dan api. Jadi minyak itu hakikatnya milik rakyat” tegasnya.
Sedangkan Ust Zamroni menegaskan bagaimana umat islam harus bersikap terhadap kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM tersebut, yang mana bahwa BBM ini adalah sesungguhnya milik seluruh rakyat yang harus dikelola oleh negara dan dikembalikan untuk kemakmuran rakyat. Kebijakan tersebut adalah kebijakan yang bertentangan dengan islam dan inkonstitusional, bukan saja bertentangan dengan syariat Islam tetapi juga bertentangan dengan UU dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri. Maka beliau menyerukan untuk menolak kebijakan tersebut, karena kebijakan tersebut bertentangan dengan syariat islam, inkonstitusional, dan menyengsarakan rakyat.
Acara ini kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan penolakan kenaikan harga BBM di atas kain putih sepanjang 20 meter lebih oleh Ust. Abu Tsaur, Ust. Abdul Qodir, H Deden, Bapak Urip, Bapak Idris dan seluruh hadirin yang ada sebagai bentuk protes penolakan atas rencana kenaikan BBM yang tidak sesuai dengan syariah ini. Seluruh peserta telah siap untuk terjun kemasyarakat untuk menyampaikan bahwa kebijakan ini adalah kebijakan khianat dan dzolim. Wajib di tolak.[]