Dilema Guru di Yogyakarta, Khilafah Solusinya
HTI Press. Di masa kapitalisme ini, perempuan yang bekerja sebagai guru, dihadapkan pada sebuah dilema. Di satu sisi, dia dituntut bekerja secara profesional, namun di sisi lain dia wajib berperan pula secara optimal sebagai ibu. Praktisi pendidikan di Yogyakarta, Sri Mariyani, M.Pd. mengatakan “Guru dituntut bekerja profesional dengan jam kerja minimal 37,5 jam.” Dampaknya banyak. “Di antaranya, hak anak dan keluarga tersita oleh jam kerja dan peningkatan kualitas, lebih banyak memberikan perhatian kepada siswa dari pada anak sendiri” demikian ungkap Sri Mariyani dalam acara diskusi terbatas dengan tema “Guru di Persimpangan….: antara Realita dan Idealita” di Aula Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga, Provinsi DIY pada Minggu (18/3).
“Dilema tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi, bila diterapkan diterapkan sistem Islam dalam negara Khilafah Islamiyah” Lies Arifah, M.Pd. dari Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) DPD I HTI Provinsi DIY menanggapinya dengan memberikan solusi. Di masa Khilafah Islam, guru mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya. Tidak hanya penghargaan berupa kemuliaan sebagai orang yang berilmu, namun Khilafah juga memberikan jaminan kesejahteraan. Di masa Khalifah Umar bin Khaththab, gaji guru yang mengajar anak-anak sebesar lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63.75 gram emas; bila saat ini harga 1 gram emas Rp 400rb, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp 25.500.000/bulan). “Negara Khilafah juga memberikan kesempatan kepada guru untuk melaksanakan kewajibannya sebagai ibu, istri dan anggota masyarakat. Selain itu, jam mengajar guru juga disesuaikan dengan kemampuan guru yang bersangkutan” demikian Lies Arifah memberikan detail penjelasan.
Diskusi terbatas ini diselenggarakan oleh Muslimah HTI DPD I HTI Provinsi DIY dibuka dengan sambutan dari ketuanya, Siti Muslikhati, M.Pd. Peserta yang terdiri dari para guru se-Provinsi DIY menyambut hangat diskusi ini dengan berbagai pertanyaan.[]
yang terpenting adalah membenahi isi dari negara tersebut…..tanpa harus melihat bentuk atau sistem negara.berbentuk apapun negara tersebut tidak menjdi masalah yang terpenting hukum berjalan dengan adil