Salah satu buah yang paling penting dari musim semi Arab bahwa kelompok-kelompok Islam menemukan ruang yang luas dan formal untuk aktivitas politik yang tercermin dalam bebagai partai, mulai dari Gerakan an-Nahdhah di Tunisia, yang kemudian mendirikan partai dengan nama yang sama; Ikhwanul Muslimin di Mesir yang meluncurkan partai “Kebebasan dan Keadilan”; dan di Libya setelah dilarang dari setiap keterlibatan dalam politik atau aktivitas publik selama era otoriter Gaddafi, maka Ikhwanul Muslimin mengumumkan pembentukan sebuah partai sendiri dengan nama “Keadilan dan Pembangunan”.
Meskipun masih belum ada saat ini secara hukum di Libya untuk mengatur pembentukan dan pendirian partai politik baru, namun langkah pembentukan partai politik dan asosiasi politik dipercepat sejak jatuhnya Gaddafi, yang terus memcegah dengan tangan besi untuk memdirikan segala jenis konstruksi politik sepanjang empat dekade pemerintahannya.
Bersamaan dengan awal bulan ini Ikhwanul Muslimin di Libya memasuki arena pembentukan partai politik di kawasan musim semi Arab bernama Partai “Keadilan dan Pembangunan”. Dan pada sidang pertamanya, yang berlangsung tiga hari di ibukota Tripoli, terpilih Muhammad Sawan sebagai ketuanya. Sawan adalah tokoh yang merasakan pahitnya penahanan di era Gaddafi selama lebih dari 8 tahun, karena usahanya untuk membentuk partai politik.
Seperti kebanyakan partai baru di kawasan musim semi Arab, Partai “Keadilan dan Pembangunan” menyebutnya sebagai partai yang berdasarkan Islam, juga bertujuan untuk membangun kembali aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial di Libya atas dasar demokrasi dan kejujuran, serta akan memberikan kontribusi dalam membangun supremasi hukum, lembaga-lembaga negara yang modern dan pemisahan antara kekuasaan dan dakwah untuk kebebasan pers, menghormati hak asasi manusia, mengaktifkan peran lembaga masyarakat sipil dan menjamin hak-hak perempuan dalam pemilihan parlemen pusat dan daerah, serta menduduki jabatan publik.
Sementara itu, Muhammad Sawan Ketua Partai “Keadilan dan Pembangunan” Libya yang memperoleh 51% suara dadalam konferensi dengan judul: “Partai nasionalis dengan dasar Islam” mengatakan bahwa “Kami akan berusaha untuk membentuk masyarakat heterogen dan negara hukum yang menghormati beragam pandangan dan orientasi.” Ia menambahkan: “Saya sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua yang telah memberikan kepercayaan pada diri saya.”
Perlu dicatat bahwa di dalam Partai “Keadilan dan Pembangunan” terdapat sejumlah besar anggota di antara mereka yang ditangkap di masa lalu, yang di antaranya Ali Karami salah seorang pemimpin senior Ikhwanul Muslimin di Libya, yang menghabiskan tiga dekade di penjara karena afiliasi politiknya. Namun, meskipun demikian ia berkata: “Kami ingin kedaulatan hukum, toleransi dan bukan balas dendam.” Ia menegaskan bahwa Partai “Keadilan dan Pembangunan” akan menolak setiap praktek yang melanggar hak asasi manusia, karena banyak dari anggotanya telah lama menderita akibat dari pelangaran tersebut.
Berbagai media internasional telah menyoroti pembentukan partai baru ini, di mana surata kabar Turki “Hurriyet” mengatakan bahwa Ikhwanul Muslimin di Libya memilih untuk nama partainya sebuah yang terinspirasi dari nama partai yang berkuasa di Istanbul, yaitu “Keadilan dan Pembangunan” sehingga ia menjadi partai keempat di kawasan musim semi Arab dengan nama dan dasar yang sama. Partai-partai tersebut adalah Partai an-Nahdhah di Tunisia, Partai “Keadilan dan Pembangunan” di Maroko, dan Partai “Kebebasan dan Keadilan” di Mesir.
Surat kabar Turki itu mengatakan bahwa Partai “Keadilan dan Pembangunan” sangat memperhatikan peran perempuan dalam masyarakat. Dalam hal ini, ketua partai, Muhammad Sawan mengatakan bahwa perempuan memikul peran penting dalam partai. Ia menekankan bahwa peran mereka sangat penting dalam masyarakat sipil dan partisipasinya dalam pembentukan partai baru itu. Dikatakan bahwa “lebih dari 100 organisasi perempuan” telah membantu penyelenggaraan konferensi pertama partai yang berlangsung selama tiga hari. Ia menambahkan: “Saya yakin bahwa perempuan dapat berdiri sejajar dan menikmati hak-haknya secara penuh.”
Majidah Falah aktivis perempuan di partai baru itu mengatakan bahwa “Keadilan dan Pembangunan” bertujuan untuk mewujudkan keterwakilan perempuan minimal 10% “. Bahkan ia meperkirakan akan melebihi angka tersebut. Ia menambahkan: “Kami akan terus berusaha berada di belakang berdirinya partai ini agar Libya menjadi pemimpin negara maju.”
Adapun majalah Amerika “Foreign Policy” mengatakan bahwa negara Libya sedang mengikuti jejak kesuksesan kelompok Islam di kawasan Arab. Namun perlu disadari bahwa kondisi berdirinya Ikhwanul Muslimin di Libya dan pembentukan partai politiknya berbeda dengan kondisi rekan-rekannya di kawasan Arab. Ikhwanul Muslimin di Libya berdiri 1949. Namun dengan naiknya Muammar Gaddafi untuk memerintah Libya, maka Ikhwanul Muslimin di Libya mengalami pembekuan kegiatan pada tahun 1969, tidak diperbolehkan melakukan aktivitas secara terbuka, serta menghadapi tindakan represif berat selama pemerintahannya. Sehingga apabila ada sebagian anggotanya yang mencoba untuk melakukan kegiatan dan membangun kelompoknya kembali, maka nasibnya adalah dipenjara atau dihukum mati.
Berbeda dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Partai an-Nahdhah di Tunisia. Majalah Amerika itu mengatakan bahwa medan politik Libya yang baru itu benar-benar menimbulkan sejumlah tantangan politik pada Ikhwanul Muslimin di Libya, karena sejarah mereka dalam berinteraksi dengan masyarakat yang sangat sedikit, tidak memiliki kesempatan untuk bekerja di jalanan, perkumpulan, atau pada organisasi dan lembaga di dalam Libya guna membangun jaringan aktivitas layanan sosial dan aktivitas publik, seperti yang terjadi di Mesir dan Tunisia, serta tantangan lainnya yang terbentang di depannya, terutama proses penyusunan konstitusi (islamtoday.net, 19/3/2012).