Atas Nama Perempuan: Tolak Kenaikan BBM!
Oleh Kholda Naajiyah
(Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)
Hampir seluruh elemen masyarakat di berbagai kota di Indonesia melakukan aksi penolakan rencana kenaikan harga BBM. Mulai anak-anak, mahasiswa hingga ibu rumah tangga, telah menyuarakan aspirasinya atas rencana tak bijak ini.
Namun, sepertinya itu hanya dianggap angin lalu. Kenaikan harga BBM tinggal menunggu waktu. Efek domino yang menyertainya segera menyusul: kenaikan harga komoditi dan jasa transportasi. Daya beli masyarakat sudah pasti anjlok karena inflasi. Penghasilan pun tidak bertambah, malah “berkurang” karena nilai uang merosot.
Selanjutnya akan segera menyusul episode: meningkatnya angka kemiskinan, kematian balita gizi buruk, angka kematian ibu, anak-anak putus sekolah, orang sakit tak kuat berobat dan orang miskin tak bisa sekolah. Tak menutup kemungkinan, akan disusul pula fenomena: berbondong-bondongnya perempuan bekerja demi penghasilan ganda dalam keluarga, termasuk “lari” ke luar negeri mengejar mimpi hidup lebih baik.
MELIBAS PEREMPUAN
Kenaikan harga BBM, jelas bukan untuk rakyat. Hanya segelintir dari mereka yang setuju, yakni orang-orang kaya yang tidak memusingkan masalah uang. Itupun, karena tidak ada pilihan lain, selain malu kalau menolak. Padahal kalau mau jujur, sebagai konsumen, tetap saja, mereka akan lebih happy kalau harga BBM murah.
Terlebih kaum perempuan, khususnya ibu rumah tangga, akan memilih harga BBM semurah mungkin. Sebab, perempuan adalah makhluk yang paling rentan menerima dampak negatif kenaikan harga BBM ini. Ini karena merekalah yang mengatur keuangan keluarga dan dipusingkan dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Bagi perempuan, kenaikan BBM artinya penurunan kualitas hidup.
Sebab dengan penghasilan yang sama, nafkah dari suami akan berkurang nilainya bila ditukar dengan barang-barang yang harganya meroket. Jika ingin survive dengan kondisi serba sulit saat ini, adalah logis jika kaum ibu akan semakin selektif dalam membelanjakan uang. Ia akan lebih ketat mengelola keuangan, termasuk pengeluaran untuk konsumsi makanan bergizi.
Jika semula mampu membeli beras seharga Rp9.000 per liter, mungkin akan membeli beras yang Rp7.000 saja per hari. Jika semula bisa makan daging ayam, sekarang cukup dengan telur ayamnya saja. Jika sebelumnya bisa menikmati buah-buahan setiap hari, sekarang cukup sesekali saja.
Belum lagi untuk kebutuhan kesehatan dan pendidikan, kaum ibu akan semakin selektif memilih sekolah untuk anak-anaknya atau balai pengobatan yang lebih terjangkau biayanya. Bahkan di kalangan marginal, akan makin banyak hak-hak perempuan yang tidak terpenuhi, seperti putus sekolah dan tidak mendapat pelayanan kesehatan maksimal. Kaum ibu akan semakin sulit menyisihkan uang belanja untuk kebutuhan sekunder, apalagi tersier, karena untuk kebutuhan pokok saja sudah sangat mepet.
Dengan demikian, kenaikan harga BBM berkorelasi positif dengan menurunnya kualitas keluarga, khususnya kualitas hidup perempuan dan anak-anak. Bahkan, kenaikan harga BBM akan semakin memurukkan nasib perempuan. Risiko stres akan meningkat seiring beratnya beban hidup.
Akan semakin stres, jika resep pemberdayaan perempuan kemudian diadopsi. Bagaimana tidak, dengan dalih agar perempuan memiliki kemandirian dalam ekonomi (baca: punya penghasilan sendiri), perempuan digiring untuk bekerja. Mulai menjadi buruh pabrik hingga menjadi tenaga kerja di luar negeri dengan meninggalkan suami dan anak-anaknya.
Alasannya, meningkatkan taraf hidup dan memperbaiki kesejahteraan keluarga. Dengan perempuan bekerja, keluarga akan mendapatkan penghasilan tambahan sehingga terangkat dari kemiskinan. Duhai sungguh malang perempuan, kenapa harus mereka yang menanggung akibat ini semua?
Jelas sudah, menaikkan harga BBM bukti kegagalan pemerintah dalam menjamin kebutuhan dan kesejahteraan perempuan. Lantas ke mana suara para pembela perempuan? Tidakkah ini menjadi persoalan urgen yang harus dibela?
MOTIF SESUNGGUHNYA
Kenaikan harga BBM adalah lagu lama yang diputar ulang. Dalilnya tak jauh dari: kenaikan harga minyak dunia, pembengkakan subsidi BBM untuk rakyat, subsidi tidak tepat sasaran atau defisit anggaran. Kebohongan-kebohongan argumen yang terus diulang-ulang sebagai pembenaran atas upaya liberalisasi sektor migas yang terus bergulir.
Ya, motif jahat atas kebijakan tak populer ini sejatinya adalah membuka pasar seluas-luasnya bagi para investor (baca: para pemilik modal/kapitalis) untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari bisnis migas.
Migas sebagai sektor strategis, dibuka seluas-luasnya untuk dikelola swasta maupun asing dan peran negara pun berkurang. Kebijakan seperti ini jelas akan sangat merugikan rakyat yang notabene pemilik sumberdaya alam itu. Padahal menurut Islam, migas harus dikelola oleh negara yang hasilnya diperuntukkan bagi sebesar-besar kesejahteraan seluruh rakyat. Dengan demikian, pengusaha migaslah (swasta termasuk asing) yang paling menikmati keuntungan atas kenaikan harga BBM ini. Bukan rakyat. Bukan pula perempuan.
Karena itu, perempuan sebagai pihak yang paling dirugikan dengan kenaikan harga BBM wajib menolak liberalisasi migas. Liberalisasi migas, sebagai bagian dari skenario liberalisasi di berbagai bidang kehidupan sangat merugikan kaum perempuan. Perempuan terabaikan hak-haknya karena sistem liberal hanya menguntungkan para pemilik modal.
Perempuan semakin terpuruk dengan sistem liberal yang diterapkan saat ini, sebagaimana keterpurukan yang menimpa masyarakat pada umumnya. Karena itu, perempuan butuh visi politik baru, dari sistem sekuler-liberal ke sistem Islam.
Saat ini, yang dibutuhkan bukan perjuangan keadilan dan kesetaraan gender yang dianggap resep jitu bagi perempuan agar berdaya. Sudah terbukti, memperjuangkan isu gender sama sekali tidak menolong kehidupan mereka. Sudah saatnya perempuan beralih ke perjuangan penegakan Khilafah yang akan menjamin hak-hak mereka dan peran politiknya. Insya Allah.[]