Pemerintah dan DPR harus membatalkan rencana pengesahan RUU PT. Kalau tetap disahkan, Komnas pendidikan akan melakukan judicial review.
KOMISI Nasional Pendidikan (KNP) menolak draf RUU Pendidikan Tinggi (RUU PT) yang akan disahkan oleh DPR RI pada April 2012. KNP menilai RUU PT sarat komersialisasi dan dicurigai membawa misi privatisasi perguruan tinggi dalam UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Selain itu, KNP yang merupakan gabungan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli pendidikan nasional, praktisi pendidikan, dan lembaga bantuan hukum (LBH) juga mengajukan empat tuntutan kepada pemerintah.
“Tuntutan pertama, penghentian pembahasan dan pembatalan rencana pengesahan RUU PT. Kedua, mengembalikan status badan hukum milik negara (BHMN) dan BLU Perguruan Tinggi menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Ketiga, penghapusan dualisme status tenaga pendidik dan Kependidikan. Tuntutan keempat, mewujudkan hak rakyat atas pendidikan tinggi dengan menyediakan PTN,” ujar peneliti hukum dari LBH Masyarakat Alex Argo Hernowo pada jumpa pers di Jakarta, kemarin.
Hadir dalam pertemuan itu, Alghifari Aqsa dari LBH Jakarta yang juga Ketua BEM FHUI, Ketua BEM UI Faldo Maldini, dan peneliti pada Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Pendidikan Yura Pratama.
Alghifari Aqsa mengatakan adanya pembagian dalam RUU PT tentang perguruan tinggi otonom, semiotonom, dan otonom terbatas, jelas memperlihatkan upaya privatisasi.
“Otonomisasi itu jelas erat kaitannya dengan pendanaan, dan di sinilah komersialisasi akan subur,” jelas Aqsa. Menurutnya, pemerintah dan DPR harus belajar dari privatisasi tujuh PTN, termasuk UI yang sudah berstatus BHMN. Sejak menjadi BHMN, ujarnya, penaikan biaya pendidikan sangat signifikan.
“RUU PT jelas hanya melanggengkan orang berduit daripada yang berprestasi. Bahayanya lagi, otonomisasi pendidikan menjadikan rektor raja kecil,” tandas Aqsa.
Yura Pratama menambahkan, otonomisasi pendidikan telah disalahartikan dari otonomi keilmuan menjadi otonomi finansial. “Karena itu kalau RUU PT disahkan, kami akan melakukan judicial review,” ujar Yura yang sebelumnya juga mengajukan judicial review atas UU BHP ke MK.
Lebih lanjut, Aqsa mempertanyakan keberadaan UU Nomor 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Menurutnya, RUU PT tidak diperlukan karena sudah termuat dalam Pasal 24 ayat (4) UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah (PP).
“Karena itu kami menganggap RUU PT hanya upaya mengalihkan tanggung jawab pendanaan dari negara kepada masyarakat,” kata Aqsa lagi. Di lain hal, saat dihubungi secara terpisah, Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud Djoko Santoso mempersilakan kalangan masyarakat, akademisi, dan LSM yang menolak RUU PT agar berdialog dengan DPR.
Djoko juga mempertanyakan motif penolakan terhadap RUU PT itu. Dia meminta KNP membaca secara komprehensif RUU PT itu. “Pasal mana dan ayat berapa yang menunjukkan komersialisasi,” ujarnya. Namun, ia mengakui masalah iuran atau uang kuliah yang dulu tidak ditentukan PT, kini dalam RUU PT diatur. “Mungkin ini salah satu yang menjadi keberatan mereka,” pungkasnya. (mediaindonesia.com, 26/3/2012)