[Al Islam 600] Kenaikan harga BBM merupakan keharusan dari liberalisasi migas, amanat UU Migas No. 22 tahun 2001. Kebijakan menaikkan harga BBM adalah langkah di bagian akhir untuk menyempurnakan liberalisasi migas.
Liberalisasi Migas: Perintah Asing
Liberalisasi migas sudah terjadi sejak orde baru yang ditandai dengan masuknya investor asing dalam mengekplorasi migas di Indonesia. Namun mereka belum leluasa sepenuhnya, hanya boleh masuk di sebagian sektor hulu, dan BUMN Pertamina masih ditetapkan sebagai pemain tunggal yang berhak mengelola hulu dan hilir migas di Indonesia. Agar asing bisa menguasai semuanya, sektor migas, hulu maupun hilir harus diliberalisasi. Melalui IMF, USAID, Bank Dunia, ADB dan lainnya, dengan kolaborasi para komprador di negeri ini, mereka berhasil meliberalisasi migas dengan lahirnya UU Migas No. 22 tahun 2001.
Liberalisasi migas itu sepenuhnya adalah perintah asing yang dipaksakan oleh IMF melalui Letter of Intent (LoI). Di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000) disebutkan: “pada sektor migas, Pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional”.
Liberalisasi migas itu menjadi syarat (perintah) pemberian utang oleh Bank Dunia. Dokumen Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001) menyebutkan, “Utang-utang untuk reformasi kebijakan merekomendasikan (baca memerintahkan) sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik, belanja subsidi khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya.”
Untuk memastikan liberalisasi itu, mereka mengawalnya sejak penyusunan rumusan UU. Dokumen program USAID, TITLE AND NUMBER: Energy Sector Governance Strengthened, 497-013 (http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html), menyebutkan: “tujuan strategis ini akan menguatkan pengaturan sektor energy untuk membantu membuat sektor energy lebih efisien dan transparan. Dengan jalan meminimalkan peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi, mempromosikan keterlibatan sektor swasta…”. Juga disebutkan, “USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000. The legislation will increase competition and efficiency by reducing the role of the state-owned oil company in exploration and production… (USAID telah membantu menyusun rancangan UU migas yang diajukan ke parlemen pada Oktober 2000. UU itu akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran BUMN minyak dalam hal eksplorasi dan produksi …). “Pada Tahun 2001 USAID berencana menyediakan US$ 850 ribu (Rp 8.5 miliar) untuk mendukung sejumlah LSM dan Universitas dalam mengembangkan program yang dapat meningkatkan kesadaran dan mendukung keterlibatan pemerintah lokal dan publik pada isu-isu sektor energi termasuk menghilangkan subsidi energi dan menghapus secara bertahap bensin bertimbal …”. “The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000. Complementing USAID efforts, the World Bank has conducted comprehensive studies of the oil and gas sector, pricing policy… (ADB dan USAID bekerja sama dalam menyusun UU Migas baru pada tahun 2000. Melengkapi upaya USAID itu, Bank Dunia telah melakukan studi komprehensif sektor migas, kebijakan penentuan harga …)
Hasilnya, UU Migas No. 22 th. 2001 disahkan, liberalisasi migas berjalan. Pasal 9 UU itu menyamakan posisi Pertamina sebagai BUMN dengan swasta termasuk asing. Pasal 10 melarang badan usaha (termasuk BUMN Pertamina) melakukan kegiatan usaha di sektor hulu dan hilir sekaligus. Pasal 13, satu badan usaha termasuk BUMN Pertamina, hanya diberi satu wilayah kerja, untuk setiap wilayah kerja harus dibentuk badan hukum terpisah.
Inilah UU yang sangat aneh. BUMN diharuskan bersaing dengan perusahaan swasta bahkan asing untuk mendapat tender mengelola migas milik negara sendiri. UU ini melarang Pertamina, artinya negara melarang dirinya sendiri untuk mengeksplorasi dan sekaligus menjual migas di negaranya sendiri; mengharuskan negara mengelola migas melalui bukan badan usaha, padahal di negara manapun negara mengelola migasnya melalui BUMN; mengharuskan BUMN Pertamina di pecah-pecah alias dikerdilkan oleh negara sendiri, dan keanehan lainnya.
Akibatnya, asing bebas menguasai migas. Data Dirjen Migas (2010), Pertamina dan mitra hanya menguasai 16% dari produksi migas, sisanya dikuasai asing. Bagian pemerintah yang dulu sesuai Production Sharing Contract (PSC) lama (1971) bagi hasil pemerintah:kontraktor setelah cost recovery dan pajak sebesar 85:15, justru menurun menjadi 63:37 sesuai peraturan PSC yang berlaku pasca UU No. 22/2001 (lihat: Oil & Gas Indonesia: Investment and Taxation Guide, PWC. 2010). Semua itu menghilangkan kedaulatan migas dan memberi jalan kepada asing, kaum kafir untuk menguasai kaum muslim. Allah tegas mengharamkannya (QS an-Nisa : 141). Itulah bentuk pengkhianatan kepada Allah dan RasulNya saw. Sekaligus pengkhianatan kepada rakyat, sebab migas ditetapkan oleh Allah sebagai milik rakyat.
«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Api itu mencakup sumber energi termasuk migas.
BBM Naik = Sempurna Liberalisasi Migas
Setelah liberalisasi sektor hulu migas sempurna, sekarang giliran sektor hilir. Pengurangan subsidi BBM adalah bagian dari paket liberalisasi migas sektor hilir. Harga BBM harus dinaikkan agar sesuai harga pasar. Ini adalah amanat UU Migas No. 22 th. 2001. Pasal 2: menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan. Blue Print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian ESDM: Program utama (1) Rasionalisasi harga BBM (dengan alternatif) melakukan penyesuaian harga BBM dengan harga internasional.
Tujuannya adalah seperti dikatakan oleh Menteri ESDM kala itu Purnomo Yusgiantoro: “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.” (Kompas, 14 Mei 2003).
Dirjen Migas Kementerian ESDM, Iin Arifin Takhyan mengatakan, ada 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka SPBU (Trust, 11/2004). Diantaranya, perusahaan British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika), Total (Italia), dsb.
Jadi kenaikan harga BBM adalah untuk menyempurnakan liberalisasi migas yang menjadi amanat UU migas dan perintah Asing serta lebih demi kepentingan asing. Untuk meminimalkan penolakan rakyat, dibuatlah alasan-alasan yang sarat kebohongan. Seperti: Pertama, APBN bakal jebol karena harga minyak dunia naik. Padahal jika harga naik pemasukan migas juga naik. Dengan asumsi ICP, USD 105 perbarel dan kurs 9000, total pemasukan migas (RAPBN-P 2012) mencapai Rp 263,66 triliun, naik 37,94 triliun. Kedua, supaya masyarakat tidak boros BBM. Sesuai data, konsumsi BBM Indonesia peringkat 116, bahkan di bawah negara Afrika, seperti Botswana. Ketiga, katanya BBM dinikmati orang kaya. Faktanya, menurut data Susenas 2010, 65 % BBM subsidi dinikmati kalangan menengah bawah dan miskin, 27 % oleh kalangan menengah, 6 % menengah atas dan 2 % orang kaya. Keempat, untuk menghemat APBN dan untuk Kesehatan Fiskal. Faktanya masih banyak alternatif penghematan lain seperti pengurangan anggaran kunjungan yang mencapai Rp 21 T, pengurangan insentif fiskal, dsb. Bisa juga menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) 2011 sebesar Rp 96,6 T atau moratorium pembayaran bunga utang yang mencapai 122 T. Kelima, katanya demi keadilan. Tapi kenapa nyaman saja mensubsidi asing, contohnya dengan menjual gas super murah ke Cina (berarti mensubsidi rakyat Cina) yang menurut angota BPH Migas, A. Qoyum Tjandranegara, potensi kerugian negara tahun 2006-2009 mencapai 410,4 T. Lalu kenapa pemerintah tidak ngotot menaikkan royalti dari PT Freeport, Newmont, kontraktor migas, dsb. Sungguh itu merupakan kezaliman terhadap rakyat.
Wahai Kaum Muslim
Jelas, kebijakan kenaikan harga BBM adalah untuk menyempurnakan liberalisasi migas yang diperintahkan oleh asing. Semua kebijakan itu hakikatnya merupakan kebijakan pemimpin boneka, demi kepentingan asing yang menjadi dalangnya. Untuk menghentikannya, saatnya kita lipatgandakan perjuangan dan pengorbanan untuk menerapkan syariah secara utuh dalam bingkai Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah sebagai bentuk pemenuhan kita terhadap seruan Allah dan RasulNya.
] يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ [
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (QS al-Anfal [8]: 24)
Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]
Komentar:
Sepanjang penerapan otonomi daerah, Presiden sudah menerbitkan izin pemeriksaan terhadap 173 kepala daerah terkait masalah hukum. Selain 173 kepala daerah, masih ada lebih dari 2000 anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang bermasalah dengan hukum (kompas, 27/3).
- Itulah hasil sistem politik demokrasi yang sarat biaya.
- Bukti betapa bobrok dan buruknya sistem sekulerisme demokrasi. Masih layakkah dipertahankan dan diserukan?
- Hanya penerapan syariah Islam dalam bingkai Khilafah Rasyidah sajalah yang bisa menghasilkan penguasa, wakil rakyat dan politisi yang bersih dan senantiasa memelihara kemaslahatan rakyat.
Saat masyarakat dipaksa menerima kenaikan harga BBM sementara di sisi lain lifting minyak diturunkan dari 950 brel per hari menjadi 930 barel per hari tetapi anggaran cost recovery bagi KONTRAK KERJASAMA ASING justru DINAIKAN Rp 11,24 triliun. Pengamat ekonomi, Iman Sugema: “Ini kan aneh, produksi turun tapi cost recovery malah naik. Angka Rp 11,24 triliun ini jika ditambah dgn dana BLTSM Rp 25,6 triliun dan subsidi angkutan umum Rp 4,3 triliun maka didapat angka RP 41,64 triliun. Ini bisa menambal kekurangan subsidi BBM yg sebesar Rp 41,2 triluin”. (sumber: okezone.com, 27/3)
Subhanallah demikian jahatnya liberalisasi