Situs “alarabiya” melaporkan pada 23/3/2012 bahwa Wakil Pengawas Umum Ikhwanul Muslimin di Suriah Riyadh al-Syaqfa mengatakan: “Ikhwanul Muslimin saat ini tengah serius untuk mengeluarkan “Piagam Nasional” yang menegaskan bahwa mereka berusaha agar Suriah menjadi negara sipil demokratis, dan negara kesetaraan yang menonjolkan pluralisme politik dengan sistem republik, di mana rakyat memiliki kedaulatan dalam keputusannya tanpa pengawasan satu partai dan penguasa diktator, sementara wakil-wakil mereka dipilih melalui kotak suara.”
Pada hari berikutnya, al-Syaqfa mengatakan dalam konferensi pers bahwa “Ikhwanul Muslimin ingin mendirikan negara pluralisme demokratis di Suriah.” Ia juga mengatakan bahwa “Kelompoknya tidak mempermasalahkan siapa yang akan menjadi presiden, apakah ia seorang Kristen, Muslim atau seorang wanita, selama menang dalam pemilu, sebab itulah suara rakyat.” Ia menambahkan bahwa “Faris al-Khoury terpilih beberapa kali sebagai perdana menteri Suriah karena ia kompeten, dan tidak seorang pun yang menolaknya dengan dalih bahwa ia seorang Kristen.”
Al-Syaqfa memuji boneka sekuler Amerika, Burhan Ghalioun dengan mengatakan: “Pilihan atas Burhan Ghalioun sebagai Ketua Dewan Nasional adalah pilihan yang demokratis, dan memperoleh lebih dari dua pertiga suara. Kami percaya bahwa kami akan mencapai kesepakatan bersama dengan berbagai kelompok oposisi di bawah atap Dewan ini.” Dan akhirnya Ikhwanul Muslimin pada 25/3/2012 benar-benar mengeluarkan piagam “al-‘ahd wa al-mîtsâq, perjanjian dan kesepakatan” yang meliputi segala sesuatu, yang telah dinyatakan oleh Wakil Pengawas Umum Ikhwanul Muslimin itu sendiri. Sehari kemudian, bertemulah apa yang disebut dengan kekuatan oposisi Suriah, di Istanbul, dan menyetujui Piagam tersebut, yang pertama kali diserukan dan ditetapkan oleh para pemimpin Ikhwanul Muslimin.
Amerika menyambut baik “Piagam” Ikhwanul Muslimin ini. Seorang pejabat tinggi di Departemen Luar Negeri Amerika mengatakan kepada surat kabar “Asy-Syarqul Ausath” yang diterbitkan pada 27/3/2012: “Penghormatan Ikhwanul Muslimin terhadap prinsip-prinsip dan nilai-nilai ini, serta komitmen demua kelompok oposisi Suriah untuk mencapai demokrasi merupakan hal yang baik, sehingga hal itu mendorong Amerika untuk terus bekerja sama dengan oposisi dan Dewan Nasional Suriah, serta kelompok-kelompok lainnya.”
Seorang sekuler, Radwan Ziadah, anggota Dewan Nasional Suriah, yang hidup dalam naungan Amerika juga menyambut baik pernyataan Ikhwanul Muslimin untuk membentuk negara sipil demokratis. Bahkan ia menilai hal itu sebagai langkah menuju arah yang benar, serta menghilangkan keraguan tentang orientasi kelompok Islam di Suriah untuk mendirikan negara Islam, atau keinginan Ikhwanul Muslimin untuk membalas dendam jika mereka mencapai kekuasaan. Surat kabar “Asy-Syarqul Ausath” juga mengutip dari Syaikh Ibrahim Munir pemimpin organisasi internasional Ikhwanul Muslimin di Barat bahwa ia telah berkomunikasi dengan Riyadh al-Syaqfa dan Shadruddin Bayanuni, di mana keduanya mendukung negara sipil. Dan ia pun memberi selama pada keduanya, serta menilai “Piagam” itu sebagai langkah bersejarah oleh Ikhwanul Muslimin di Suriah. Sehingga Ikhwanul Muslimin berkomitmen dengan isi dan spiritnya.
Sesungguhnya ucapan selamat oleh pemimpin organisasi internasional Ikhwanul Muslimin di Barat kepada para pimpinan organisasi Ikhwanul Muslimin di Suriah yang menerima sistem kufur adalah untuk menyenangkan kekuatan kufur, terutama Amerika Serikat dan para bonekanya. Bahkan menilainya sebagai langkah bersejarah, yakni beralih dari mendakwahkan sistem Islam pada mendakwahkan sistem kufur sebagai langkah bersejarah, dan bahwasannya Ikhwanul Muslimin akan berkomitmen dengan isi dan spirit sistem kufur.
Pengawas Umum Ikhwanul Muslimin ini begitu memuji Faris al-Khoury, salah seorang boneka Barat pada akhir abad kesembilan belas yang lalu, sejak tahun 1892, ketika ia bekerja di misi dan sekolah misionaris mereka, yang menyebarkan racun ide-ide sekularisme, demokrasi dan nasionalisme di tengah-tengah generasi umat Islam, untuk membangkitkan nasionalisme Arab, dan merekrut para agen sebagai langkah persiapan untuk menghancurkan negara Islam, dan mendirikan negara-negara republik nasionalis sekuler di atas puing-puing reruntuhan negara Islam.
Khoury adalah seorang agen Inggris, di mana ia bekerja di Kedutaan Besar Inggris antara 1902 dan 1908. Dan ia menjadi anggota Organisasi Persatuan dan Kemajuan, yang telah menggulingkan seorang Khalifah yang adil, Abdul Hamid II. Kemudian membuat Konstitusi yang menyerupai Konstitusi Barat. Sehingga organisasi ini melalui ide-ide dan kudetanya merupakan pasak pertama yang ditancapkan untuk menghancurkan Khilafah dan menghapus sistem Islam dari kehidupan.
Salah satu surat kabar sekuler Turki melaporkan bahwa Inggris memberi selamat atas kudeta itu, di mana Talat Pasha, salah satu dari tiga pemimpin kudeta pergi ke Kedutaan Besar Inggris untuk memberitahu Duta Besar Inggris tentang jatuhnya Abdul Hamid. Namun, duta besar Inggris tetap marah. Dan ketika Talat Pasha bertanya kepadanya tentang mengapa ia kurang senang dengan berita itu? Lalu Duta Besar berkata seperti seorang tuan berkata pada budaknya, ketika Anda datang ke London, maka Anda akan mengerti mengapa kami tidak senang. Kemudian ia menjelaskan kepadanya bahwa kami (Inggris) tidak ingin Anda menjatuhkan Abdul Hamid sebagai penguasa, namun yang kami inginkan adalah jatuhnya sistem pemerintahan Islam, sistem Khilafah, kemudian mendirikan sebuah negara dengan sistem republik sipil demokratis di tempatnya. Hal ini tetap sampai Ataturk mendirikan republik sekuler demokratis.
Berita ini dilaporkan di salah satu surat kabar sekuler Turki yang begitu membanggakan Ataturk karena ia mampu menghancurkan Khilafah, dan mendirikan sistem republik sekuler demokratis. Telah dilaporkan bahwa orang-orang memberontak terhadapnya, namun ia menghadapi meraka eksekusi, pembunuhan dan penjara. Sehingga lebih dari 40 ribu dari mereka meninggal, yang sebagian besar adalah ulama dan kaum terpelajar. Akan tetaspi, berbagai sumber tidak resmi mengatakan bahwa Ataturk menghancurkan desa-desa dan membakar rumah-rumah serta warganya, hingga jumlah mereka yang meninggal sekitar 200 ribu orang. Hal ini karena generasi umat yang masih beriman bersikeras untuk mendirikan sistem Khilafah Islam yang ditetapkan oleh Rasulullah Saw, dan sebaliknya mereka menolak sistem republik sekuler demokratis yang didirikan oleh seorang antek Inggris, Ataturk, seorang keturunan Yahudi Dunmah.
Perlu diketahui bahwa Faris al-Khoury yang begitu dipuji oleh Al-Syaqfa benar-benar telah ditunjuk sebagai anggota Dewan Syura di Suriah oleh antek Inggris, Raja Faisal. Dan kemudian ia memimpin Departemen Keuangan 3 kali pada masa pemerintahan raja ini. Ia juga menjadi ketua parlemen antara 1936 dan 1943. Kemudian ia menjabat sebagai perdana menteri di Suriah sejak tahun 1944 pada masa pemerintahan Syukri al-Quwatli yang juga antek Inggris.
Koran-koran antek sekuler ketika itu sangat memuji Faris al-Khoury, bahkan menilainya bahwa “Ia sebagai seorang yang kompeten dan bijaksana, sehingga ia diterima sebagai perdana menteri tiga periode di sebuah negara Islam, padahal ia seorang Kristen. Hal ini menunjukkan kematangan nasionalisme yang dirasakan oleh Suriah.” Di sisi lain, tidak sedikit kaum Muslim yang merasa kaget dengan jatuhnya Ikhwanul Muslimin ke titik terendah dengan menerima sistem kufur, sebaliknya Ikhwanul Muslimin benar-benar memperoleh sertifikat dari Barat atas kematangan nasionalisme dan sekulerisme yang sejauh ini telah dicapai oleh Ikhwanul Muslimin (kantor berita HT, 3/4/2012).