Oleh: Rokhmat S. Labib
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima tobat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (TQS al-Ahzab [33]: 72-73).
Syariah yang dibebankan kepada manusia merupakan amanah. Sebagaimana layaknya amanah, syariah tersebut wajib dipikul dan ditunaikan. Tidak boleh disia-siakan dan ditelantarkan, apalagi ditolak dan diingkari. Memang, amanah tersebut tidak ringan hingga langit, bumi, dan gunung pun tidak sanggup untuk memikulnya. Namun bagi orang yang mau menunaikannya, Allah SWT akan memberikan ampunan terhadapnya. Juga, pahala yang besar, surga, dan ridha-Nya. Sebaliknya, siapa pun yang sengaja menelantarkannya, terlebih mengingkari dan menolaknya, akan ditampakan azab atasnya. Ayat ini adalah di antara yang menjelaskan perkara tersebut.
Hanya Manusia
Allah SWT berfirman: Innâ ‘aradhnâ al-amânah ‘alâ al-samâwât wa al-ardh wa al-jibâl (sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung). Kata al-amânah merupakan bentuk mashdar seperti halnya kata al-amn dan al-amân (keamanaan, ketenteraman). Dalam konteks ayat ini, kata amanah bermakna ketaatan dan berbagai kewajiban yang diwajibkan atas hamba-Nya. Demikian al-Baghawi dalam tafsirnya. Al-Jazairi menafsirkannya sebagai semua taklif syar’i dan segala sesuatu yang dipercayakan kepada manusia, baik berupa harta, perkataan, kehormatan, maupun perbuatan. Imam al-Qurthubi menegaskan bahwa amanah tersebut meliputi semua tugas agama. Menurutnya, ini merupakan pendapat jumhur. Tak jauh berbeda, Ibnu Jarir al-Thabari juga mengatakan pengertian amanah dalam ayat ini mencakup semua makna amanah dalam agama dan amanah manusia. Pasalnya, Allah SWT tidak mengkhususkan dalam firman-Nya: ‘aradhnâ al-amânah hanya menunjuk sebagian makna amanah.
Penggunaan kata amanah, menurut Sihabuddin al-Alusi, merupakan peringatan bahwa semua taklif tersebut merupakan hak-hak yang harus dipelihara; dititipkan dan dipercayakan Allah kepada para mukallaf; dan diwajibkan atas mereka untuk ditunaikan dengan penuh ketaatan dan ketundukan; diperintahkan untuk dipelihara, dijaga, dan ditunaikan tanpa melanggarnya sedikit pun.
Diberitakan dalam ayat ini, bahwa Allah SWT telah menawarkan amanah tersebut kepada tiga makhluk-Nya yakni langit, bumi, dan gunung. Akan tetapi, semua makhluk yang besar dan kuat fisiknya tersebut menolaknya. Allah SWT berfirman: Fa abayna an yahmilnahâ wa asyfaqna minhâ (maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya).
Kata abâ berarti enggan untuk menerima tawaran tersebut. Hanya saja, sikap itu bukan didasarkan oleh sikap takabbur sebagaimana Iblis ketika menolak bersujud kepada Adam. Sebaliknya, sikap tersebut justru disebabkan oleh sikap merasa dirinya rendah dan lemah. Kesimpulan ini dikukuhkan dengan frasa sesudahnya: wa asyfaqna minhâ. Artinya, sebagaimana dijelaskan al-Baghawi dalam tafsirnya, mereka merasa takut tidak bisa menjalankan amanah tersebut sehingga mendapatkan hukuman karenanya. Ditegaskan juga oleh Abdurrahman al-Sa’di, penolakan semua benda tersebut disebabkan oleh ketakutan mereka tidak bisa memikul amanah. Bukan karena kemaksiatan terhadap Tuhan mereka dan tidak menginginkan pahala-Nya.
Menurut Fakhruddin al-Razi, sekalipun ketiga benda tersebut kuat, akan tetapi amanah Allah SWT melebihi kekuatan mereka. Abu Hayyan al-Andalusi juga mengatakan, tawaran amanah kepada sejumlah benda tersebut memberikan makna ta’zhîm[an] (pengagungan) terhadap perkara taklif.
Sikap ketiga benda tersebut bertolak belakang dengan sikap manusia. Allah SWT berfirman: Wa hamalahâ al-insân, (dan dipikullah amanah itu oleh manusia). Kata al-insân menunjuk Adam as dan keturunannya. Demikian penjelasan al-Jazairi. Secara fisik, manusia jelas jauh lebih kecil dan lebih lemah dari semua makhluk tersebut. Allah SWT berfirman: Dan manusia dijadikan bersifat lemah (TQS al-Nisa’ [4]: 28). Akan tetapi, manusia bersedia menerima tawaran tersebut.
Kemudian disebutkan: Innahu kâna zhalûm[an] jahûl[an] (sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh). Kata dzalûm[an] berarti katsîr al-zhulm li nafsihi (banyak menzalimi dirinya sendiri). Sedangkan jahûl[an] artinya bodoh terhadap akibat.
Balasan bagi Kaum Munafik. Musyrik, dan Mukmin
Setelah diberitakan tentang sikap manusia yang mau menerima tawaran amanah, kemudian diberitakan mengenai tentang konsekuensi atas sikap tersebut. Allah SWT berfirman: liyu’adzibbal-Lâh al-munâfiqîn wa al-munãfiqât wa al-musyrikîn wa al-musyrikât (sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan). Orang munafik adalah orang yang menampakkan keimanan karena takut kepada kaum Mukmin dan menyembunyikan kekufurannya untuk mengikuti kaum kafir. Sedangkan orang musyrik adalah orang yang lahir dan batinnya menyekutukan Allah dan menyelesihi rasul-Nya. Demikian penjelasan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Terhadap semua orang kafir tersebut, baik berusaha menyembunyikan kekufurannya maupun yang menunjukkannya secara terang-terangan, Allah SWT menimpakan azab. Dikatakan Muqatil, mereka diazab karena telah mengkhianati amanah dan melanggar perjanjian.
Selanjutnya Allah SWT berfirman: wa yatûbal-Lâh ‘alâ al-mu`minîn wa al-mu`minât (dan sehingga Allah menerima tobat orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan). Jika orang munafik dan musyrik adalah orang-orang yang mengkhianati amanah, maka orang Mukmin bersikap sebaliknya. Mereka adalah orang-orang yang berupaya menjaga, memelihara, dan menunaikan amanah tersebut. Terhadap mereka Allah SWT berjanji untuk memberikan ampunan. Artinya, sebagaimana dijelaskan al-Syaukani, mereka kembali kepada Tuhannya dengan mendapatkan ampunan dan rahmat apabila melalaikan terhadap sebagian ketaatan. Oleh karena itu, disebutkan dengan lafadz al-tawbah. Ini menunjukkan bahwa orang Mukmin yang bermaksiat kemudian bertobat akan terlepas dari azab.
Kemudian diakhiri dengan firman-Nya: Wa kânal-Lâh Ghafûr[an] Rahîm[an] (dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Dalam ayat sebelumnya disebutkan dua sifat manusia, yakni: al-zhalûm dan al-jahûl. Kemudian dalam ayat ini disebutkan dua sifat Allah SWT, yakni: Ghafûr dan Rahîm. Artinya, Ghafûr li al-zhalûm (Maha Mengampuni orang zalim) dan Rahîm ‘alâ al-jahûl (Maha Penyayang terhadap orang bodoh). Hal itu disebabkan karena telah Allah SWT berjanji kepada hamba-Nya untuk mengampuni semua kezaliman kecuali kezaliman yang besar, yakni syirik sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar (TQS Luqman [31]: 13). Mengenai janji ampunan disebutkan dalam firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya (TQS al-Nisa’ [4]: 48).
Sedangkan al-rahmah (kasih sayang) terhadap orang bodoh karena sesungguhnya kebodohan merupakan tempat yang layak bagi rahmat. Oleh karena itu, orang yang berbuat salah meminta maaf dengan perkataan, “Saya tidak tahu.”
Demikianlah. Syariah yang dibebankan kepada kita harus dijalankan secara totalitas. Tidak boleh ada yang ditelantarkan dan disia-siakan. Ancaman azab bagi orang orang-orang munafik dan musyrik -orang-orang yang menolak dan mengingkari syariah– harus membuat kita takut untuk melakukan tindakan serupa. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Ikhtisar:
1. Syariah yang dibebankan adalah amanah yang harus ditunaikan.
2. Langit, bumi, dan gunung tidak mau menerima tawaran amanah tersebut, namun manusia sebagai makhluk yang lebih lemah justru mau menerimanya.
3. Allah SWT mengazab orang-orang munafik dan musyrik; dan mengampuni orang-orang Mukmin.