Menghentikan Cengkraman Asing di Bidang Ekonomi

Oleh: Hafidz Abdurrahman

Cengkraman asing di bidang ekonomi bisa terjadi karena beberapa faktor. Pertama, karena faktor perjanjian bilateral dan multilateral, seperti hubungan ekonomi dua negara, perdagangan bebas dan sebagainya. Kedua, karena faktor investasi asing dalam proyek-proyek pembangunan, baik di bidang infrastruktur maupun yang lain. Ketiga, karena kesalahan politik ekonomi, yang mengakibatkan terjadinya privatisasi kekayaan milik negara dan umum kepada swasta, baik asing maupun domestik. Keempat, karena faktor utang luar negeri.

Faktor yang pertama, yaitu perjanjian bilateral maupun multilateral, seperti perjanjian perdagangan antar dua negara atau banyak negara, sebenarnya tidak masalah. Di dalam Islam pun, kebijakan seperti ini diperbolehkan. Hanya saja, ketika perjanjian ini dilakukan secara internasional, bukan karena kehendak negara yang bersangkutan, maka di sinilah masalahnya. Karena negara yang meneken perjanjian tersebut melakukannya bukan karena pertimbangan kemaslahatan negaranya, tetapi lebih karena dipaksa oleh badan dunia, seperti WTO (World Trade Organization) maupun yang lain. Negara-negara yang meneken perjanjian ini pada akhirnya tidak mampu bersaing dengan negara-negara lain, dan hanya menjadi pasar produk mereka. Sebab, kalah start dengan mereka. Negara-negara Jepang, Cina, Eropa, AS, misalnya, dengan industrinya yang sudah maju jelas bisa bersaing, bahkan mendominasi pasar dengan produk-produk mereka. Serbuan produk Jepang, Cina, Eropa dan AS ke Indonesia, baik di bidang elektronik, telekomunikasi maupun otomotif adalah contoh nyata fakta ini.

Dalam kasus seperti ini masalahnya bersumber pada perjanjian bilateral atau multilateral, serta keterlibatan negara dalam organisasi internasional seperti WTO yang nota bene merupakan alat penjajahan negara-negara kafir Barat. Karena itu, ketika khilafah berdiri, perjanjian-perjanjian bilateral maupun multilateral seperti ini, sebut saja APEC, AFTA, NAFTA, CHAFTA dan sebagainya, yang terbukti merugikan bahkan membahayakan kedaulatan negara, akan dibekukan dan dinyatakan tidak berlaku. Khilafah juga tidak akan terlibat dalam organisasi dunia, seperti WTO yang nyata-nyata menjadi alat penjajahan negara Kafir Barat.

Dasarnya hadits Nabi SAW yang menyatakan, “Kullu syarth[in] laysa fi kitabi-Llahi fahuwa bathil[un], walau mi’ata syarth[in]” (setiap klausul/syarat yang tidak sesuai dengan kitab Allah adalah batil, sekalipun ada 100 klausul). Adapun larangan terlibat dalam organisasi dunia yang menjadi alat penjajahan juga diharamkan, karena adanya nafyu ta’bid (larangan permanen) dalam firman Allah SWT, “Walan yaj’ala-Llahu li al-kafirina ‘ala al-mu’minina sabila.” (Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang Kafir untuk menguasai orang Mukmin). Selain itu, dalam kaidah ushul juga dinyatakan, “Kullu ma yu’addi ila dharar[in] muhaqqiq fahuwa haram[un].” (Apa saja yang bisa menyebabkan terjadinya mudarah secara nyata, maka hukumnya haram).

Inilah dasar yang menjadi pijakan khilafah dalam menentukan kebijakannya terhadap faktor yang pertama. Setelah itu, khilafah bisa menentukan dengan siapa dia harus melakukan perjanjian bilateral atau multilateral secara mandiri, dengan mempertimbangan aspek manfaat dan mudharat bagi perekonomian negara. Bukan karena didikte, apalagi ditekan oleh negara-negara kafir penjajah atau badan dunia.

Faktor kedua, yaitu investasi asing dalam proyek pembangunan, juga bisa menyebabkan penguasaan asing terhadap aspek-aspek vital perekonomian negara. Karena itu, khilafah akan memperhatikan jenis dan karakter dari proyek pembangunan ini. Jika proyek ini tidak dilaksanakan, tidak menyebabkan terjadinya kemudaratan bagi negara dan umat, maka harus memperhatikan ada dan tidaknya dana bagi proyek tersebut. Jika Baitul Mal ada dana, maka proyek ini harus didanai dari Baitul Mal. Jika tidak ada dana, maka proyek tersebut bisa ditangguhkan hingga dana tersebut tersedia.

Namun, jika proyek ini tidak dilaksanakan akan menyebabkan terjadinya kemudaratan bagi negara dan umat, maka ada atau tidaknya dana di Baitul Mal tidak menghalangi pelaksanaan proyek tersebut. Karena ini merupakan kewajiban negara dan seluruh kaum Muslim. Sebab, menghilangkan bahaya hukumnya wajib, sebagaimana hadits Nabi, “La dharara wa la dhirara.” (Tidak boleh ada bahaya dan perkara yang membahayakan). Dalam kaidah ushul juga dinyatakan, “Ad-dharar yuzal.” (Bahaya wajib dihilangkan). Ini seperti proyek pembangunan persenjataan dan alat berat lainnya. Dalam hal ini, khilafah tidak boleh bergantung pada negara lain, terlebih negara kafir penjajah.

Dengan cara seperti ini, sebenarnya negara tidak membutuhkan investasi asing. Ketika khilafah berdiri, seluruh proyek yang melibatkan investasi asing tersebut akan dibekukan, dikaji dan dievaluasi. Terlebih, karena investasi tersebut dilakukan melalui perdagangan saham di bursa saham yang notabene haram, dan melibatkan bentuk perseroan saham yang juga haram.

Faktor ketiga, karena kasalahan politik ekonomi. Kesalahan ini bisa terjadi di bidang pertanian, industri, perdagangan maupun jasa. Karena keempat hal inilah yang merupakan sumber utama perekonomian negara. Di bidang pertanian, politik ekonomi negara yang salah dalam tatakelola tanah pertanian bisa mengakibatkan negara kekurangan sumber pangan, yang mengakibatkan negara tidak bisa swasembada pangan. Sudah salah dalam tatakelola tanah pertanian ditambah tidak adanya perlindungan terhadap petani, akibat impor produk pangan dari negara lain. Seperti dalam kasus impor beras dari Thailand, gula dan sebagainya.

Di bidang industri juga demikian, kebijakan yang salah di bidang industri telah menyebabkan terjadinya privatisasi industri strategis, baik dalam pengelolaan minyak, tambang hingga industri peralatan. Minyak dan tambang adalah kekayaan milik umum, maka industri yang menghasilkan minyak atau bahan tambang merupakan industri milik umum yang seharusnya dikelola oleh negara. Nyatanya tidak. Bahkan, konsesi pengelolaan minyak dan tambang ini diserahkan kepada swasta, baik asing maupun domestik. Demikian halnya dengan industri peralatan yang seharusnya dikuasai oleh negara justru dikuasai oleh swasta, baik asing maupun domestik. Padahal, dalam kaidah fikihnya dinyatakan, “al-Mashna’ ya’khudzu hukma al-maddah al-lati yashna’uha.” (Industri mengambil hukum produk yang dihasilkannya).

Maka, khilafah juga berkewajiban untuk menghentikan politik ekonomi yang salah, dan melaksanakan politik ekonomi yang benar sebagaimana yang digariskan oleh Islam. Semuanya ini sudah dituangkan dalam kitab karya Syaikh ‘Abdurrahman al-Maliki, as-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla.

Faktor yang keempat, yaitu utang juga demikian. Faktor ini bisa membahayakan perekomian negara, baik yang secara nyata dinyatakan atas nama utang, hibah maupun yang lain. Semuanya ini jelas-jelas telah membahayakan perekonomian negara. Terhadap faktor yang terakhir ini hanya satu kata: dihentikan. Adapun utang yang menjadi utang rezim sebelumnya, sebelum khilafah berdiri, harus dilihat. Jika utang tersebut telah dibayar sesuai dengan jumlah pokok utangnya, maka khilafah tidak lagi berkewajiban untuk membayar sisanya, karena itu merupakan bunga (interest).

Dengan cara seperti ini, negara khilafah benar-benar akan memiliki perekonomian yang mandiri. Tidak bergantung, apalagi didikte negara-negara kafir penjajah. Dengan cara yang sama, negara khilafah juga akan bisa menyejahterakan kehidupan rakyatnya dengan adil dan merata. Dalam waktu singkat, negara khilafah akan menjadi kekuatan ekonomi, baik dengan postur dan pertumbuhan yang luar biasa.[]

2 comments

  1. wahyu nuryani

    KETIKA MANUSIA MENETAPKAN HUKUM BERDASARKAN HAWA NAFSUNYA MAKA
    HUKUM YANG DITETAPKAN ADALAH HUKUM YANG RUSAK TIDAK AKAN MENYELESAIKAN MASALAH TAPI PASTI AKAN MEMUNCULKAN MASALAH BARU.PADAHAL ALLOH SUDAH MEMERINTAHKAN UNTUK MENETAPKAN HUKUM BERDASARKAN APA YANG TELAH ALLOH TURUNKAN YAITU ALQURAN -SUNNAH,JANGAN MENGIKUTI HAWA NAFSU

  2. assalammualaikum Wr.Wb.

    maf tlong adakan hadis-hadis dan al-Qur’an digital agar bisa mempermudah untuk mempelajarinya
    skian
    trimakasih

    wassalammualaikum Wr.Wb.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*