Semenjak dibatalkannya UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi tahun 2010, telah dibuat beberapa draft RUU PT dengan berbagai perubahannya, baik itu yang diajukan oleh DPR maupun oleh pemerintah. Kritik ini mengacu pada draft keempat RUU PT, tertanggal 6 Juni 2011, yang sudah direvisi oleh komisi X DPR RI yang diajukan oleh pemerintah yang April 2012 akan mensahkan RUU PT walaupun mengalami penundaan dengan alasan penyempurnaan RUU tersebut.
Hakikat Pendidikan Tinggi
Seperti yang diamanatkan pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, salah satu fungsi Negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahterakan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, perguruan tinggi sebagai badan pusat ilmu-ilmu pengetahuan dan kebudayaan sudah sepatutnya menyelenggarakan pelayanan pendidikan yang pada hakikatnya berorientasi pada terjaminnya hak-hak asasi warga negara dalam pemenuhan pendidikan dan keilmuannya.
Namun, bagaimanakah format awal tujuan pendidikan yang diamendemenkan dalam RUU PT tersebut? Pada bagian “menimbang”, terlihat bahwa pendidikan tinggi memiliki peran yang strategis baik itu dalam pembudayaan dan pemberdayaan masyarakat, maupun pengembangan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ada satu hal pokok yang dirasa dapat menjadi blunder dalam pelaksanaan pendidikan tinggi tersebut, yaitu pelayanan pendidikan yang secara eksplisit diorientasikan pada daya saing bangsa dalam era globalisasi. Begitu baik visi pendidikan tinggi yang diarahkan pada daya saing bangsa, namun hal ini dapat menyimpang dari tujuan besar pelayanan pendidikan sesuai hakikatnya, yaitu pemenuhan hak pendidikan setiap warga negara. Sebab, pada kenyataannya belum semua daerah di Indonesia dapat disetarakan kualitas pendidikan tingginya maupun kuantitas perguruan tingginya. Kita harus membenahi “pendidikan tinggi” itu sendiri, sebelum akhirnya menuju visi besar pendidikan tinggi sebagai daya saing bangsa pada era globalisasi.
Statuta Perguruan Tinggi dan Majelis Pemangku
Pada Bab IV Pengelolaan Perguruan Tinggi pada pasal 42 dan pasal 43, dijelaskan bahwa Statuta Perguruan Tinggi (statuta) pada dasarnya mengatur seluruh kegiatan akademik maupun nonakademik. Nonakademik? Ya, segala hal di luar urusan akademik, termasuk keuangan, prasarana dan kemahasiswaan, juga diatur oleh statuta ini. Statuta merupakan dasar dari dikeluarkannya peraturan pemerintah ataupun peraturan menteri yang secara langsung mengatur kehidupan akademik dan nonakademik kampus. Dengan kata lain, kehidupan kita sebagai mahasiswa sangatlah erat hubungannya dengan bagaimana isi statuta, baik itu kegiatan, berbagai kewajiban, hak-hak dasar, bahkan hingga organisasi kemahasiswaan.
Lalu siapa yang bertanggung jawab membuat dan merubah statuta ini? Suatu organ perguruan tinggi bernama Majelis Pemangku-lah yang memiliki fungsi tersebut (pasal 51 dan 43), serta menjalankan fungsi penentu kebijakan umum dan pengawasan nonakademik (pasal 47 ayat 2a). Saat ini, kurang lebih Majelis Pemangku sama fungsinya dengan Majelis Wali Amanah (MWA). Majelis Pemangku beranggotakan Menteri Pendidikan Nasional, gubernur, pemimpin (rektor), wakil dosen, wakil tenaga kependidikan (pegawai non-dosen), wakil masyarakat, dan tambahan Menteri Keuangan untuk Majelis Pemangku PTN Berbadan Hukum. Pada draft RUU ketiga yang diajukan DPR, sesungguhnya perwakilan mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika, dilibatkan dalam Majelis Pemangku. Apa yang dikhawatirkan peran Majelis Pemangku dengan tidak adanya posisi mahasiswa di dalamnya? Dua hal yang kami simpulkan dapat menjadi bumerang bagi pendidikan tinggi di Indonesia; sistem portofolio dalam otonomi nonakademik bidang keuangan perguruan tinggi dan ketidakjelasan definisi wakil masyarakat dalam Majelis Pemangku.
Pertama, sistem portofolio (pasal 85), yaitu dimaksud dengan “portofolio” adalah penempatan investasi di berbagai bidang usaha atau bidang industri. investasi jangka panjang melalui pendirian badan usaha, dapat menciptakan suatu peluang masuknya pihak-pihak luar kampus ke dalam dinamika kampus tersebut. Peluang masuknya pihak luar kami artikan sebagai pihak-pihak yang memiliki dana untuk diinvestasikan di perguruan tinggi dan terlibat dalam urusan politik. Secara singkat : politik dekat dengan kekuasaan, kekuasaan dekat dengan uang, dengan adanya kekuasaan dan uang sangat mungkin pihak-pihak tertentu dapat “masuk” ke dalam kampus.
Apalagi, yang kedua, dengan tidak terdefinisikan dengan jelasnya ‘wakil masyarakat’ dalam keanggotaan Majelis Pemangku, pihak-pihak tertentu tadi dapat menjadi anggota Majelis Pemangku. Dengan fungsi superior-nya, Majelis Pemangku memiliki “kekuasaan” lebih dalam mengatur perguruan tinggi, dan dengan tersisipkannya pihak dengan kepentingan tertentu di dalamnya, bukan tidak mungkin fungsi-fungsi mahasiswa, kehidupan kampus, bahkan riset-riset dosen dapat didikte secara halus dilandasi akan kepentingan golongan, bukan lagi pada dasar kebenaran ilmiah dan keilmuan.
Otonomi Pengelolaan Pendidikan Tinggi
Dalam pasal 44 dan 45 Otonomi berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan Tinggi juga menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Otonomi dalam artian mengelolah akademik (kurikulum, sistem pengajaran) dan non akademik (inftrastrutur, prasarana, keuangan) Sehingga gak bedanya dengan UU BHP yang dibatalkan Mahkamah konstitusi subtasi sama kulitnya berbeda. PTN dan PTN khusus berbadan hukum memiliki otonomi mengelolah akademik (kuriukulum dll) dan non akademik (pengelolaan keuangan) seperti 9 PTN yang masuk bekas BHP (UI, IPB, ITB, UGM, UNAIR dll). PTN dan PTN khusus mandiri memiliki otonomi mengelolah akademik (kuriukulum dll) dan tidak memeliki wewenang mengelolah non akademik (keuangan). Termasuk PTN diluar bekas BHP.
Perananan Asing dengan membolehkan Perguruan Tinggi Asing berdiri di Indonesia
Dalam draft RUU PT ini, dijelaskan pula mengenai keterlibatan perguruan tinggi asing baiak pendidirian dan kerjasama dalam pendidikan tinggi di Indonesia (bab V, pasal 73 – 74). Pada dasarnya bisa menjadi masalah masuknya perguruan tinggi asing di Indonesia, adanya transfer nilai yang negatif dari adanya perguruan tinggi asing akan menjadi buruk bagi mahasiswa terutama kurikulum sebagai software khususnya program studi politik, ekonomi, sosial, budaya, ideology merupakan hadarah walapaun kemajuan teknologi, MIPA gak permasalahkan dari transfer ilmu merupakan madaniyah tapi sisi riset merugikan pihak Indonesia sudah banyak kejadian penemuan teknologi khususnya bidang biologi, obat farmasi, pertanian, perikanan dipatenkan diluar negeri atasa nama perguruan tinggi asing bahkan ada tidak mencantumkan lembaga pendidikan Indonesia. Namun hal ini kami sebut sebagai lampu kuning bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Berkaca dari adanya sekolah berstandar internasional setingkat sekolah dasar dan sekolah menengah, secara filosofi ada beberapa tujuan pendidikan yang harus diatur dan dijamin oleh pemerintah melalui turunan undang-undang (PP atau Permen). Lampu kuning yang kami maksud adalah standard pendidikan asing yang berbeda dengan standard pendidikan Indonesia. Bukan standard dalam arti standard kualitas pendidikannya, melainkan standard filosofis penanaman nilai falsafah ideologi dalam pendidikan. Penanaman nilai falsafah ideologi dalam pendidikan sangatlah penting. Tidak hanya belajar sebagai investasi pribadi yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga, namun belajar sebagai investasi bangsa yang bertujuan memperkaya anak muda calon pemimpin bangsa, membangun bangsa, dan memakmurkan bangsa serta masyarakatnya di masa depan. (Alimuddin Yasir, Lajnah Siyasiyah DPP HTI)
KRITIK TERHADAP RUU PENDIDIKAN TINGGI
Item |
Draft UU Penddikan Tinggi |
Komentar |
Pasal 1 ayat 1: | Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal setelah pendidikan menengah melalui kegiatan pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa sehingga mampu menghasilkan lulusan yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, kompeten, beradab, dan berbudaya serta karya dalam bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni. | Outputnya menghasilkan lulusan yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, kompoten beradab dan berbudaya serta karya dalam bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni tetapi tidak mencantumkan asas yang jelas. |
Pasal 1 ayat 5 | Program Studi adalah kesatuan kegiatan pendidikan tinggi berdasarkan kurikulum dan metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan akademik, profesi, dan vokasi pada satu strata. | Peran program studi memiliki peranan besar dalam kegiatan pendidikan tinggi berdasarkan kurikulum dan metode pembelajaran padahal bukan jabatan eselon yang diberi tunjangan struktural oleh negara malah dekanat dan rektorat masuk eselon diberi tunjangan struktural oleh Negara. |
Pasal 1 ayat 9 | PTN berbadan hukum adalah PTN yang memiliki otonomi dalam bidang akademik dan nonakademik melalui pendirian badan hukum oleh Pemerintah. | PTN berbadan hukum memiliki otonomi bidang akademik dan nonakademik yang berbadan hukum berarti pemerintah lepas tangan sama konsep BHP |
Pasal 1 ayat 10 | PTN mandiri adalah PTN yang memiliki otonomi dalam bidang akademik dan nonakademik melalui pendelegasian wewenang dari Menteri. | PTN Mandiri menimbulkan banyak masalah karena jalur masuk PTN selain ada regular lewat SPMB ada nonreguler. Nonreguler weweanan menteri membolehkan PTN Mandiri melaksanakan ujian jalur nonreguler dengan biaya yang mahal sesuai program studi |
Pasal 2 | Pendidikan Tinggi berasaskan:
a. kebenaran ilmiah; b. otonomi keilmuan; c. kebebasan akademik; d. kejujuran; dan e. keadilan. |
Seharusnya tidak terpisah dengan pandangan hidup (ideologi) yang diemban |
Pasal 3 | Pendidikan Tinggi bertujuan:
a. mengembangkan potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia; b. menghasilkan lulusan yang menguasai bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni yang dipelajari serta mampu mengaplikasikan dalam peningkatan daya saing bangsa serta memiliki sikap toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan nasional; dan c. menghasilkan karya penelitian dalam bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni yang bermanfaat bagi kemaslahatan bangsa, negara, dan umat manusia. |
Tidak tercantum unsur dosen seharusnya di sebutkan sivitas akademik (dosen dan mahasiswa) karena tidak bisa tercapai tiga tujuan tanpa keterlibatan dosen sebagai tenaga pendidik, peneliti sebagai contoh bagi mahasiswa, serta kulitas mahasiswa juga ditentukan kulaitas dosen. |
Pasal 5 bagian a | Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi:
a. demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa; |
Istilah demokrasi diganti dengan persamaan tidak membedakan etnis, kedudukan sosial. |
Bab IV Pasal 35 | PENGELOLAAN PERGURUAN TINGGI
Bagian Kesatu Umum Pengelolaan Perguruan Tinggi berdasarkan prinsip: a. nirlaba; b. otonomi; c. efektivitas dan efisiensi; d. transparansi; e. akuntabilitas; dan f. penjaminan mutu. Penjelasannya Yang dimaksud dengan “bidang akademik” antara lain kurikulum, metode pembelajaran, kompetensi dosen, akreditasi, dan sistem penjaminan mutu. Yang dimaksud dengan “bidang non akademik” antara lain sarana dan prasarana, keuangan, organisasi dan tata kelola, kepegawaian, dan sistem penjaminan mutu. |
|
Statuta
Pasal 42 |
(1) Setiap PTN dan PTN Khusus menyusun dan menetapkan Statuta sebagai dasar pelaksanaan kegiatan akademik dan nonakademik.
(2) Statuta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai peraturan dasar dalam penyusunan peraturan bidang akademik dan nonakademik, serta prosedur operasional di Perguruan Tinggi. |
Dalam Penyusunan statuta diserahkan ke perguruan tinggi walapun disahkan oleh Menteri sehingga unsure otonomi masih bisa ditonjolkan |
Statuta
Pasal 43 |
(1) Statuta PTN dan PTN Khusus berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(2) Statuta PTN dan PTN Khusus mandiri sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 41 huruf b ditetapkan oleh Majelis Pemangku atas usul Senat Akademik. (3) Statuta PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf c ditetapkan oleh Menteri atas usul Senat Akademik |
Dua hal yang dapat menjadi bumerang bagi pendidikan tinggi di Indonesia; sistem portofolio dalam otonomi nonakademik bidang keuangan perguruan tinggi dan ketidakjelasan definisi wakil masyarakat dalam Majelis Pemangku. Pertama, sistem portofolio (pasal 85), yaitu investasi jangka panjang melalui pendirian badan usaha, dapat menciptakan suatu peluang masuknya pihak-pihak luar kampus ke dalam dinamika kampus tersebut. Peluang masuknya pihak luar kami artikan sebagai pihak-pihak yang memiliki dana untuk diinvestasikan di perguruan tinggi dan terlibat dalam urusan politik. Secara singkat : politik dekat dengan kekuasaan, kekuasaan dekat dengan uang, dengan adanya kekuasaan dan uang sangat mungkin pihak-pihak tertentu dapat “masuk” ke dalam kampus. Apalagi, yang kedua, dengan tidak terdefinisikan dengan jelasnya ‘wakil masyarakat’ dalam keanggotaan Majelis Pemangku, pihak-pihak tertentu tadi dapat menjadi anggota Majelis Pemangku. Dengan fungsi superior-nya, Majelis Pemangku memiliki “kekuasaan” lebih dalam mengatur perguruan tinggi, dan dengan tersisipkannya pihak dengan kepentingan tertentu di dalamnya, bukan tidak mungkin fungsi-fungsi mahasiswa, kehidupan kampus, bahkan riset-riset dosen dapat didikte secara halus dilandasi akan kepentingan golongan, bukan lagi pada dasar kebenaran ilmiah dan keilmuan. |
Otonomi Pasal 44
|
(1) PTN dan PTN Khusus memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya.
(2) Otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kapasitas Perguruan Tinggi. |
PTN dan PTN Khsusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan Tinggi juga menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. |
Otonomi
Pasal 45 |
(1) PTN dan PTN Khusus berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a terdiri atas:
a. PTN berbadan hukum yang memiliki otonomi bidang akademik dan bidang nonakademik; dan b. PTN Khusus berbadan hukum yang memiliki otonomi bidang akademik. (2) PTN dan PTN Khusus mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf b terdiri atas: a. PTN mandiri yang memiliki otonomi dalam bidang akademik dan bidang nonakademik; dan b. PTN Khusus mandiri yang memiliki otonomi dalam aspek akademik. |
a. PTN dan PTN khusus berbadan hukum memiliki otonomi mengelolah akademik (kuriukulum dll) dan non akademik (pengelolaan keuangan) seperti 9 PTN yang masuk bekas BHP (UI, IPB, ITB, UGM, UNAIR dll)
b. PTN dan PTN khusus mandiri memiliki otonomi mengelolah akademik (kuriukulum dll) dan tidak memeliki wewenang mengelolah non akademik (keuangan). Termasuk PTN diluar bekas BHP |
Bab V
Bagian satu Perguruan Tinggi Asing Pasal 73 |
Perguruan Tinggi Asing Dan Kerjasama Internasional
(1) Perguruan Tinggi Asing dapat membuka Program Studi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terakreditasi di negaranya. (3) Penyelenggara Perguruan Tinggi Asing wajib: a. bekerja sama dengan penyelenggara Pendidikan tinggi Indonesia; dan b. mengikutsertakan pendidik dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia; (4) Perguruan Tinggi Asing yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) akan dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembekuan kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian; atau c. pencabutan izin. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
a.Perguruan Tinggi Asing diperbolehkan mendirikan di Indonesia walaupun ada persaratan melibatkan perguruan tinggi dan suberdaya kelemamahan tidak diatur tentang asas dan standar perguruan tinggi asing yang bisa berdiri di Indonesia sehingga kecenderungan budaya asing akan masuk di PT di Indonesia baik ideologi dan prilaku sisvitas akademik.
b.Perlu di kaji ulang perguruan tinggi asing asas kapitalis dan sosialis terutama program studi politik, ekonomi, budaya, sosilogi akan bisa merusak sistem pendidikan Indonesia karena terikat hadarah c. Perguruan tinggi spesialiasi teknologi, MIPA dari segi pemikiran tidak permaslahkan karena tidak terikat dengan hadarah termasuk madani tetapi tidak membawa budaya barat proses belajar mengajar masuk ke Indonesia
|
Bagian Kedua
Kerjasama Internasional Pasal 74 |
(1) Perguruan Tinggi dapat melaksanakan kerjasama internasional.
(2) Kerjasama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan antara lain: a. pertukaran dosen dan mahasiswa; b. pengembangan kurikulum; c. pelaksanaan kerjasama program studi; d. pengembangan organisasi; dan/atau e. penelitian. (3) Kerjasama internasional dapat dikembangkan bersama-sama dengan perwakilan Indonesia di luar negeri dan perwakilan negara lain di Indonesia. Penjelasan Pasal: Kerjasama internasional dilaksanakan dengan mengintegrasikan dimensi internasional, interkultural dan global kedalam tujuan, fungsi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, dan penyelenggaraan pendidikan tinggi berdasarkan prinsip solidaritas, rasa saling menghormati dengan mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan yang memberikan manfaat bagi kesejahteraan dan kemuliaan kehidupan masyarakat serta peradaban. |
a. Kerjasama perguruan tinggi asing dengan perguruan tinggi di Indonesia bisa merusak wajah pendidikan terutama pengembangan kurikulum padahal ruh dari pendidikan kurikulum kalau program studi politik, ekonomi, sosial, budaya, filsafat disamping juga software (perangkat lunak) di sistem pendidikan |
Pasal 85 | (1) PTN dan PTN Khusus berbadan hukum dapat menyelenggarakan badan usaha atau portofolio usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dana hasil penyelenggaraan badan usaha atau portofolio usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pengembangan PTN dan PTN Khusus. (3) Dalam menyelenggarakan badan udaha atau portofolio usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PTN dan PTN Khusus dilarang menggunakan aset dan kekayaan perguruan tingginya sebagai jaminan bagi hutang badan usaha atau portofolio usaha yang didirikannya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dana hasil penyelenggaraan badan usaha atau portofolio usaha diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penjelasan Pasal; Bagi PTN badan hukum yang akan mendirikan badan usaha, agar aset dan kekayaan PTN badan hukum tersebut tidak menjadi jaminan bagi hutang badan usaha yang didirikan apabila badan usaha tersebut dinyatakan pailit, maka sebaiknya dipilih badan usaha yang memiliki aset dan kekayaan yang terpisah secara hukum dengan aset dan kekayaan PTN badan hukum yang mendirikannya. Badan usaha yang memiliki aset dan kekayaan yang terpisah secara hukum dengan aset dan kekayaan PTN badan hukum adalah badan usaha berbentuk perseroan terbatas. Yang dimaksud dengan “portofolio” adalah penempatan investasi di berbagai bidang usaha atau bidang industri. Ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud antara lain peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas. |
PTN dan PTN Khusus berbadan hukum dapat mendirikan lembaga usaha yang bisa kerjasama pihak pengusaha dan industry. Adanya undang-undang ini PTN berfungsi ganda yaitu sebagai lembaga badan usaha dan badan sosial tidak jauh beda dengan UU BHP yang dibatalkan Mahkamah konsitusi. |