Lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor’s (S&P) tak menaikkan peringkat Indonesia. Ini terjadi karena pemerintah batal menaikkan tarif listrik dan harga BBM subsidi.
Dalam siaran pers yang dikutip, Senin (23/4/2012), S&P menyatakan peringkat utang Indonesia tetap BB+ untuk utang jangka panjang, dan B untuk utang jangka pendek dengan outlook positif.
S&P menyatakan kelemahan yang terdapat pada kondisi ekonomi dan institusional dapat diimbangi oleh kondisi fiskal, eksternal, dan moneter yang cukup kuat. Outlook positif mencerminkan kemungkinan kenaikan peringkat apabila pertumbuhan ekonomi dapat terus meningkat, pasar keuangan yang semakin dalam, dan penerapan kebijakan yang terukur.
Kemudian, S&P menyatakan telah terjadi ketidakpastian kebijakan akibat adanya penangguhan kenaikan tarif listrik yang telah direncanakan dan ketidakmampuan untuk menerapkan pemotongan subsidi BBM di tengah kenaikan harga minyak dunia, serta sejumlah langkah kebijakan yang diusulkan di bidang industri dan perdagangan.
Analis utama S&P untuk Indonesia, Agost Bernard, menyatakan beberapa hal yang mendukung peringkat Indonesia pada level saat ini antara lain rendahnya defisit anggaran pemerintah, penurunan beban utang sektor publik, likuiditas eksternal yang menguat, dan kinerja ekonomi yang tangguh.
Sedangkan pendapatan per kapita yang rendah, hambatan struktural dan institusional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, utang luar negeri sektor swasta yang masih tinggi, dan pasar keuangan domestik yang dangkal dianggap sebagai faktor penghambat.
“Stabilitas ekonomi makro dan sistem keuangan yang terjaga dengan baik dan ekonomi domestik tumbuh semakin cepat didukung oleh struktur ekonomi yang makin berimbang, memungkinkan penyerapan tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Kami memastikan ekonomi Indonesia bergerak di jalur yang tepat dan akan tumbuh lebih baik lagi,” demikian ujar Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution.
Di sisi eksternal, kinerja neraca pembayaran Indonesia masih berada pada posisi yang sehat dengan defisit yang relatif terkendali dan disertai peningkatan arus masuk investasi asing yang stabil.
Rasio total utang luar negeri terhadap PDB dalam tren yang menurun dan berada pada posisi 26,5% pada akhir 2011. Bank Indonesia berpandangan utang luar negeri sektor swasta tidak menjadi ancaman serius karena 36% utang tersebut berasal dari perusahaan induk dan afiliasinya.
Kendala pada masalah struktural telah menjadi perhatian dan saat ini proses perbaikan sedang berlangsung sejalan dengan optimisme pasar terhadap prospek ekonomi Indonesia. Bank Indonesia dan pemerintah akan melakukan berbagai langkah untuk memitigasi potensi risiko dari sektor internal maupun eksternal. Selanjutnya, Bank Indonesia akan terus mempertahankan penerapan kebijakan yang sejalan dengan proyeksi makro ekonomi agar pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dapat tercapai. (detikfinance, 23/4/2012)
inilah bukti skenario halus bahwa dibalik kenaikan bbm oleh pemerintah, asing bermain. indonesia tidak akan pernah keluar dari jerat hutangnya jika masih menganut ekonomi liberal. semestinya kenaikan harga pasar internasional merupakan keuntungan bagi indonesia. aneh bin ajaib, nalar mana yng tidak bisa memahami akan hal ini. betapa bodoh para penguasa di negeri ini atau pura2 bodoh, dengan penegelolaan hulu oleh swasta sudah pasti pemerintahtidak mendapatkan apa2. hanya dengan ekonomi islam indonesia akan keluar dari jerat hutang.
Komentar asing pasti pemikirannya tetap asing (kapitalisme) jd tolak ukurnya pasti bukan Islam. Kita tidak pantas mengikuti arahan mereka.