Kongruensi ‘Cahaya’ dalam Kiprah Perempuan Pasca-Hari Kartini 2012

Oleh Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

(Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia)

Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun kaum perempuan di negerinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Ya, RA Kartini adalah seorang tokoh Jawa yang juga dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan Indonesia (tokopupukonline, 10/04/2012).

Kartini identik dengan apa yang tersirat dalam kumpulan suratnya; “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT”, yang terlanjur diartikan oleh Armijn Pane sebagai, “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Sedangkan Prof. Dr. Haryati Soebadio, Dirjen Kebudayaan Depdikbud, yang notabene cucu Kartini mengartikannya sebagai “Dari Gelap Menuju Cahaya”, yang jika dilihat dalam Alquran tertulis, “Minadzhdzhulumati ilaan nuur”. Ini merupakan inti ajaran Islam yang membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya (iman), sebagaimana terjemahan ayat dalam QS Al-Baqarah ayat 275 (Biografi Tokoh Muslim: RA Kartini, 20/04/2012).

Sayang itu semua sudah mengalami banyak deviasi sejak diluncurkan dahulu, setelah berlalu tiga generasi konsep Kartini tentang emansipasi semakin hari semakin hari jauh meninggalkan makna pencetusnya. Sekarang dgn mengatasnamakan Kartini para feminis justru berjalan dibawah bayang-bayang alam pemikiran Barat, suatu hal yang sejatinya ditentang Kartini (Biografi Tokoh Muslim: RA Kartini, 20/04/2012).

Pemikiran RA Kartini

Kartini ada dalam proses kegelapan menuju cahaya, tapi cahaya itu belum sempurna menyinari karena terhalang oleh usaha westernisasi. Kartini yang dikungkung adat dan dituntun Barat telah mencoba meretas jalan menuju ke tempat yang terang. Hal ini tercetus dalam suratnya kepada sahabat penanya yang seorang Belanda, Stella (tertanggal 18 Agustus 1899):

“Sesungguhnya adat sopan santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak, bila hendak berlalu dihadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah ia turun duduk di tanah dengan menundukkan kepala sampai aku tak terlihat lagi. Mereka hanya boleh menegurku dengan bahasa kromo inggil. Tiap kalimat haruslah diakhiri dgn ‘sembah’. Berdiri bulu kuduk, bila kita berada dalam lingkungan keluarga Bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang lain yang lebih tinggi derajatnya haruslah perlahan-lahan, jalannya langkah-langkah pendek-pendek, gerakannya lambat-lambat seperti siput. Bila berjalan cepat dicaci orang, disebut sebagai kuda liar. Peduli apa aku dengan segala tata cara itu. Segala peraturan itu buatan manusia dan menyiksa diriku saja. Kamu tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket keningratan di dunia Jawa itu. Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini dan Kardinah) tidak ada tatacara itu lagi. Perasaan kami sendirilah yang akan menunjukkan atau menentukan sampai batas mana cara Liberal itu boleh dijalankan.

Bagi saya hanya ada dua macam keningratan, keningratan pikiran (fikroh), dan keningratan budi (akhlaq). Tidak ada manusia yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat org membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal sholeh orang yang bergelar macam Graaf atau Baron? Tidaklah dapat dimengerti oleh pikiranku yg picik ini.”

Ironisnya, tidak banyak yang tahu bahwa pemikiran Kartini yang cerdas itu telah dimanfaatkan oleh sejumlah pihak dari bangsa kolonial atas nama sejumlah kepentingan untuk menghancurkan kaum muslimin di Jawa. Di antaranya Mr. J.H Abendanon dan Stella.

Mr. J.H Abendanon datang ke Hindia Belanda tahun 1900. Ia diutus oleh pemerintah Belanda untuk melaksanakan politik Ethis, sebagai Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan. Abendanon adalah teman sehaluan politik Snouck Hurgronje. Snouck sendiri memiliki konsepsi politik asosiasi. Yaitu tentang cara paling ampuh untuk memasukkan peradaban Barat dalam masyarakat pribumi untuk membendung dan mengatasi Islam di Hindia Belanda. Yang mana politik ini tidak mungkin mempengaruhi rakyat sebelum kaum ningratnya dibaratkan akan semakin mudah membaratkan rakyat Bumiputera. Untuk itu maka langkah pertama yang harus diambil adalah mencari orang-orang ningrat yang Islamnya tidak teguh lalu di-Baratkan. Dan pilihan pertama adalah Kartini.

Sewaktu dalam masa pingitan (+ 4 tahun) Kartini banyak membaca untuk menghabiskan waktunya. Tetapi Kartini tidak puas mengikuti perkembangan pergerakan wanita di Eropa hanya melalui majalah dan buku-buku. Karena ingin mengetahui keadaan sesungguhnya, maka Kartini memasang iklan di sebuah majalah negeri Belanda, yaitu Hollandsche Lelie. Dengan segera iklan itu disambut Stella (lengkapnya Estalle Zeehandelaar), perempuan Yahudi anggota pergerakan Feminis di Belanda (Biografi Tokoh Muslim: RA Kartini, 20/04/2012).

RA Kartini dan Islam

Jika banyak yang telah mengungkap dan mengetahui bahwa Kartini memiliki sejumlah sahabat pena berkebangsaan Belanda, maka nyatanya banyak yang belum pernah mengetahui pertemuan Kartini dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang (lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat). Adalah Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, yang menuliskan kisah ini. Takdir mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga paman Kartini.

Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah. Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu. Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil.

Berikut dialog Kartini dengan Kyai Sholeh. “Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog. Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya. “Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Alquran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.

Kyai Sholeh tertegun. Beliau seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan, “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Alquran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Alquran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali ‘subhanallah’. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa, hingga 13 juz yang kemudian diberikan sebagai hadiah pernikahan Kartini. Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia. Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny. Abendanon:

“Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.” Juga dalam suratnya kepada Ny. Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini menulis, “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.” Lalu dalam surat ke Ny. Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis; “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.” (republikaonline, 21/04/2012).

Potret “Kartini” Masa Kini

Berontaknya pemikiran Kartini dalam menyikapi penindasan kolonialisme yang terjadi di hadapannya sejak akhir abad ke-19, membuktikan bahwa ia seorang perempuan pemikir. Ia seorang perempuan yang seringkali dikatakan istimewa. Karena pada masanya, Kartini mampu melakukan proses berpikir dan memikirkan umat seperti ini. Bahkan ia telah sampai pada kesimpulan dengan menyatakan bahwa gelar tertinggi bagi seorang manusia adalah sebagai hamba Allah.

Di masa kini, Kartini memiliki kongruensi dengan simbol intelektualitas dan emansipasi perempuan. Memang benar bahwa abad milenium ini adalah abad modern di mana perempuan berpendidikan tinggi bukan sesuatu yang langka. Bahkan bukan rahasia lagi jika kapasitas berpikir para perempuan telah diperhitungkan dalam peradaban dunia, termasuk Indonesia. Hal ini senada dengan pernyataan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, yang menyatakan bahwa tidak ada yang dapat menyangkal bahwa kemajuan suatu bangsa dan negara sangat ditentukan pendidikan, karena pendidikan merupakan pilar moral dan peradaban bangsa (antaranews.com, 19/03/2012).

Akan tetapi, bagaimana kesesuaian fakta saat ini dengan harapan Kartini? Bangsa ini tidak boleh pura-pura lupa bahwa kehidupan kapitalistik telah merancukan pemikiran perempuan, bahwa untuk mendapatkan hak-haknya, perempuan harus banyak uang, cantik dan pintar. Jika mereka ingin setara dengan laki-laki, mereka harus banyak berkiprah di ranah publik. Terkait dengan kesetaraan semacam ini, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Any Rahmawati menyatakan hal yang menarik, “Jangan pernah merasa tidak setara dengan laki-laki. Jangan pernah merasa demikian.” Wamenkeu juga menegaskan, “Perempuan harus yakin bahwa mereka lebih tahu dari pria dalam arti atau hal tertentu. Paling tidak, bagaimana perempuan berbicara, berjalan, menatap, bahasa tubuh. Tetapi itu hanya bisa diperoleh saat perempuan mempunyai kapasitas, pengetahuan, dan punya data yang cukup untuk menyampaikan sesuatu hal.” (tribunnews.com, 21/04/2012).

Perempuan saat ini telah menjadikan ide-ide kapitalis sebagai pijakan. Mereka menyatakan bahwa persoalan perempuan akan terselesaikan dengan membebaskan perempuan berkiprah di mana pun, terutama dalam ranah publik. Dengan itu suara dan partisipasinya diperhitungkan, baik dalam keluarganya maupun masyarakat.

Standar berpikir ‘modern’ tentang kiprah di ranah publik semacam ini, menjadikan peran sejati perempuan mudah dikaburkan, disesatkan, dikacaukan bahkan dilenyapkan. Perempuan tak lagi menjadi istri mulia, ibu tangguh, perempuan pejuang. Kehidupan perempuan kembali menjadi hina karena sistem yang digunakan bukan sistem Islam, yang punya cara pandang berbeda 180 derajat dengan cara pandang Islam terhadap perempuan.

Alih-alih mampu mengangkat nasib perempuan, gagasan pemberdayaan politik perempuan dalam perspektif demokrasi-kapitalisme ini justru menjadi racun yang kian mengukuhkan kegagalan menyelesaikan persoalan-persoalan perempuan.

Akibatnya, ide-ide kapitalis-sekular sukses menjerumuskan perempuan ke dalam jurang kejahiliahan dan kegelapan. Kegelapan ini tidak akan pernah beranjak dari umat secara keseluruhan selama umat Islam mencampakkan aturan-aturan dari Allah Swt dan Rasul-Nya. Jika demikian, maka ada di sebelah mana letak cahaya sebagai hamba Allah seperti cita-cita Kartini?

Khatimah

Secara imani dan realistik, penyelesaian mendasar dari semua persoalan yang kita hadapi sekarang ini hanyalah dengan mencampakkan sistem yang rusak dan kembali ke sistem yang mampu memberi jaminan penyelesaian secara tuntas dan adil, yakni sistem yang berasal dari Zat Yang Mahasempurna dan Mahaadil. Itulah sistem Islam yang kemampuannya telah teruji selama berabad-abad membawa umat ini pada kemuliaan dan martabatnya yang hakiki sebagai khayru ummah. Sistem Islam mampu menjadi motor peradaban dan membawa rahmat bagi manusia secara keseluruhan. Allah Swt telah mengingatkan kita dalam firman-Nya: “Hukum Jahiliahkah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maidah [5]: 50).

Dengan demikian, kita wajib memberikan perhatian yang besar terhadap terlaksananya tugas utama perempuan sebagai ummun wa robbatul bayt. Sebab, terlaksananya tugas utama ini sangat menentukan kebahagiaan keluarga dan kualitas generasi yang dihasilkan. Para perempuan Muslimah yang berkiprah untuk perubahan dengan tidak menjadikan penerapan syariah Islam dalam Khilafah sebagai jalan dan target perubahan, maka mereka akan merasa lelah dan sia-sia karena perubahan hakiki tidak akan pernah terwujud. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Ar-Ra’du ayat 11: “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” Kiprah perempuan Muslimah dalam upaya penegakan Khilafah ini telah disambut oleh Allah Swt dalam QS Ali ‘Imran [3] ayat 195: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain…” Dengan demikian, umat, khususnya perempuan, harus dipersiapkan, pada komunitas dan level manapun untuk mendukung perjuangan penegakan Khilafah. Maka, siapa saja yang meyakini dan mempunyai kemampuan untuk dalam perjuangan penegakan Khilafah, bersegeralah, karena segala kemampuan itu akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.

Wallaahu a’lam bish showab [].

3 comments

  1. Assalamu’alaykum, artikelnya bagus.. subhanallah ^^, hanya mau menanyakan untuk surat yang tercantum di awal yaitu “Minadzulumaati ilannur”, itu bukan Al Baqarah ayat 275 melainkan Al Baqarah ayat 257, mungkin salah ketik ya..karena mirip, yang lengkapnya berbunyi :

    للَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آَمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

    “Allah adalah wali/penolong bagi orang-orang yang beriman, Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya. Adapun orang-orang kafir maka penolong-penolong mereka adalah thaghut, yang mereka itu mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan-kegelapan. Mereka itulah para penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”

    Afwan…wa jazakumullah khoiron katsir

  2. Yang disampaikan mbak Nurlaili merupakan salah satu indikasi dari Islam Rahmatan lil Alamien yaitu kehadiran Islam membebaskan umat dari belenggu kegelapan jahiliyah ka cahaya terang yang mencerahkan

  3. Subhanallaah… tulisan yg memang bagus, memberikan pencerahan bg siapa sj yg mmg mencari kebenaran tentang kartini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*