Arif Adiningrat: “S&P Kritik Indonesia, Semata untuk Kepentingan Asing”

Lajnah Tsaqafiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia Arif Adiningrat menyatakan kritik lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor’s (S&P) kepada pemerintah Indonesia, semata untuk kepentingan investor asing.

“Lembaga pemeringkat sebagai mana kita mafhum tentu punya kepentingan yang sangat besar. Apalagi S&P sebagai salah satu lembaga yang diandalkan dan terpercaya, tentu akan merasa lemah jika tidak bisa memberikan data yang baik bagi investor,” ujarnya kepada mediaumat.com beberapa waktu lalu di Jakarta.

Dengan  berbagai pertimbangan salah  trick yang dilempar adalah complain. “Seolah ‘tidak menaikkan’ BBM adalah kesalahan fatal bagi pemerintah Indonesia bagi iklim investasi,” ujar Arif.  Menurut Arif, tidak menaikan harga BBM sangat merugikan asing. Sebaliknya, dengan menaikan harga BBM, tentu saja akan menguntungkan asing, sehingga mereka akan menyerbu juga  sektor hilir (tata niaga) setelah sukses menguasai sektur hulu.

“Dengan kenaikan harga atau yang diistilahkan dengan sebutan pembatasan subsidi, investor asing semakin siap menyerbu pasar BBM Indonesia,” ujarnya.

Arif pun menyatakan walau Indonesia hanya berperingkat BB yang artinya Indonesia berada dalam area Non Investment Country, atau termasuk dalam kategori Junk-Bond, namun  iklim investasi di Indonesia sangat eksotik bagi investor apalagi dibukannya keran untuk swasta, sesuai dengan amanah IMF agar adanya liberalisasi sektor migas.

Seperti diketahui,  S&P tak menaikkan peringkat Indonesia. Ini terjadi karena pemerintah batal menaikkan tarif listrik dan harga BBM subsidi. Dalam siaran pers beberapa waktu lalu, S&P menyatakan peringkat utang Indonesia tetap BB+ untuk utang jangka panjang, dan B untuk utang jangka pendek dengan outlook positif.

Perspektif Islam

Menurut Arif, Indonesia tidak perlu memperdulikan ocehan lembaga pemeringkat yang sejatinya bekerja untuk investor asing dan merugikan bangsa Indonesia. Namun yang harus dilakukan adalah menerapkan politik industri migas yang berdasarkan relijiusitas mayoritas penduduk negeri ini, yakni Islam.

Dalam perspektif Islam, lanjut Arif, politik industri migas menempatkan negara sebagai regulator sekaligus pelaku. Negara adalah pengelola industri sedangkan umat

adalah pemegang hak miliknya. Ketika politik ini dijalankan maka sumber daya

migas dan industri pengolahannya berada dalam kontrol dan kelolaan negara.

Pemerintah, kritik Arif, seharusnya mengontrol sektor migas ini untuk kepentingan

nasional.

Tak dapat dipungkiri investasi migas memang sangat mahal, namun

pemerintah jangan terjebak pemahaman ekonomi kapitalis bahwa negara

dunia ketiga miskin modal. “Pemahaman ini hanya menggiring negara lemah

seperti Indonesia untuk berutang atau pun mengundang investor asing dalam

membangun industri migas,” jelasnya.

Politik ekonomi migas juga, lanjutnya, harus berada di bawah politik industri yang bertujuan

menjadikan negara sebagai negara maju. Satu-satunya jalan untuk menjadi negara

yang ekonominya maju.

Terkait migas, politik ekonomi dan industrinya diarahkan untuk mendorong

negara memiliki kemampuan menghasilkan peralatan, mesin, dan teknologi yang

diperlukan untuk eksplorasi migas, lifting, dan refinery.  “Kemandirian ini akan membuat biaya investasi menjadi lebih efisien!” tegasnya.

Menurutnya, kebijakan mengenai migas harus diikuti oleh kebijakan sektor mineral dan batu bara (minerba) serta sektor pendukung lain sebagai penerimaan negara yang sesuai dengan Islam, untuk meng-cover kepentingan pengelolaan negara.

Oleh karena itu politik ekonomi semacam ini, tegasnya, harus mengikuti politik luar negeri negara menurut perspektif  Islam. “Sehingga punya kemanadirian dan punya kemampuan untuk melayani rakyat melalui aturan yang sesuai syariah,” pungkasnya. [] joko prasetyo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*