HTI Press. “Karut marut sektor migas Indonesia disebabkan oleh salah kelola,” demikian tegas Dr. Ir. H. Latif M. Rahman, MSc. MM saat memberikan tanggapan dalam kegiatan Round Table Discussion, Ahad (22/4) di Kantor DPD HTI Bogor, Jalan Pandu Raya No 73 Bogor. “Praktik budaya rent seeking [broker-red] menjadikan pengelolaan migas di Indonesia menjadi high cost. Terjadi tambahan biaya 2x untuk transportasi. Bahkan untuk fee pun nambah 2 kali juga,” imbuhnya lagi.
Pihak-pihak yang diuntungkan dari praktik kotor ini secara langsung maupun tidak langsung menghambat pemanfaatan energi alternatif yang melimpah di Indonesia misalnya gas alam. “Pemanfaatan gas alam sebagai sumber energi jauh lebih murah sekalipun menggunakan harga internasional. Sayangnya Indonesia terlambat mengantisipasi untuk penyiapan alokasi cadangan gasnya maupun kebijakan penyiapan infrastrukturnya,” tegasnya lagi.
Akhirnya penelitian dan usaha-usaha yang mendorong pemanfaatan energi alternatif lainnya juga terhalang dengan adanya praktik rent seeking ini. Padahal sumberdaya alam dan human capital di Indonesia sangat memungkinkan untuk pemanenan energi alternatif secara besar-besaran.
Acara ini sebagai respons atas semakin parahnya liberalisasi sektor migas di Indonesia. Berangkat dari keprihatinan ini sejumlah intelektual Bogor, enam orang doktor dan tiga orang master dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari ahli karet, ekonomi Islam, konsultan, dll, berkumpul dan berdiskusi dalam round table meeting untuk membedah permasalahan liberalism migas dan menggagas solusi pemecahannya.
Dr. Ir. Ari Achyar Al Fajari, APU sangat yakin bahwa praktik rent seeking tersebut sebenarnya bisa ditanggulangi atau dikurangi dengan perubahan UU dengan mensinergikan pemberdayaan pengusaha nasional dan mekanisme kebijakan pemerintah untuk mendorong produksi barang dan jasa yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Perlu dikembangkan teknologi inovatif mencari sumber energi alternatif. “Langkah-langkah yang telah dilakukan HTI seperti menyatukan gerak pengusaha perlu ditindaklanjuti,” tegasnya.
Dr. Aang Munawar menyoroti aspek pengelolaan oleh perusahaan asing 80% dan lokal 20%. “Pemerintah hanya mengandalkan pemasukan dari sektor pajak yang ditarik dari pengelolaan migas perusahaan-perusahaan tersebut. Ini kan aneh,” tanyanya.
Sedangkan Dr. Hendri Tanjung menyoroti permasalahan yang terjadi dari 3 hal, yaitu: sistem, manajemen dan perilaku. Filosofi dasar ilmu ekonomi ditujukan untuk kesejahteraan manusia yang dijalankan dengan intrumen kebijakan oleh pemerintah. Sektor migas menurut penulis buku Is Indonesia’s Economic Growth Led by The Oil Sector ? ini memegang peranan kunci dan memberi pengaruh signifikan dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sayangnya, campur tangan IMF dan World Bank merintangi pengelolaan migas di Indonesia untuk member kesejahteraan pada warga negaranya. Rezim Orba pelan tetapi pasti menjadi “kolonisasi” USA.
Dr. (CD) Budi Susetyo dari LKI Kota Bogor menegaskan bahwa keputusan DPR tentang migas sejatinya adalah kemenangan kaum liberal. selanjutnya Intelektual Muslim Bogor memandang bahwa tidak ada cara lain selain menata kembali sistem kehidupan ini dengan sistem Islam yang mendorong kegiatan ekonomi non ribawi, pengelolaan yang benar dan bertanggung jawab, serta menumbuhkan kesadaran tentang aspek kepemilikan dan menolak dengan tegas liberalisasi migas, karena terbukti telah menyengsarakan rakyat. Berdasarkan hal tersebut para intelektual bogor bersepakat bahwa;
(1) Subsidi BBM mutlak dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, beban subsidi BBM dapat ditanggungulangi dengan restrukturisasi APBN.
(2) Mendorong penelitian dan pengembangan energi alternatif serta penyiapan infra strukturnya oleh pemerintah.
(3) Pangkal dari rusaknya pengelolaan migas berhulu pada praktik democrazy.
Para intelektual sepakat syariah Islam dengan Khilafahnya sebagai solusi. Hal yang perlu lebih didetailisasi kembali adalah starting point dan lahkah-langkah praktiknya menuju kondisi ideal dimaksud. []MI HTI Kota Bogor