Catatan Kritis Atas Pembangunan Berbasis Utang (Bagian III)

Pengelolaan Anggaran (Utang): Buruk

Oleh : Yahya Abdurrahman – Lajnah Siyasiyah HTI

Sesuatu yang bisa diterima oleh nalar sehat adalah seseorang terpaksa berutang untuk membiayai keperluannya yang tidak bisa ditunda.  Namun tidak bisa diterima nalar sehat jika orang berutang sekedar untuk disimpan di saku, tidak dia gunakan, sebab yang penting dia merasa punya uang dan merasa aman.  Namun justru yang kedua itulah yang dilakukan oleh pemerintah.  Pengelolaan belanja APBN oleh pemerintah selama ini selalu jeblok.  Tiap tahun ada saja sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA).  SILPA tahun 2008 tercatat sebesar Rp 51,3 triliun.  SILPA tahun 2009 sebesar Rp 38 triliun.  SILPA tahun 2010 mencapai Rp 47 triliun sehingga total SILPA di akhir tahun 2010 mencapai Rp 97,74 triliun. Pada tahun yang sama (2010) pemerintah menarik utang baru Rp 85,49 triliun.  Lalu SILPA tahun 2011 mencapai Rp 39,2 triliun, sehingga SILPA di akhir tahun 2011 mencapai Rp 96,62 triliun. Pada tahun 2011 itu pemerintah menarik utang baru sebsar Rp 127,34 triliun.

Tahun 2011 semestinya pemerintah tidak perlu menarik utang baru sebesar Rp 127,34 triliun. Defisit APBN 2011 itu pertama-tama mestinya ditutupi menggunakan SILPA tahun 2010 yang besarnya Rp 97,74 triliun. Itu artinya di tahun 2011, pemerintah menarik utang baru Rp 97,74 triliun padahal di sakunya tersedia uang kontan sebesar itu juga.  Jadi di tahun 2011, pemerintah menarik utang baru Rp 97,74 triliun hanya untuk disimpan di kantong saja dan tidak digunakan.  Jadi untuk apa menarik utang baru kalau utang itu tidak digunakan?  Sementara begitu kesepakatan utang itu ditandatangani, argo bunganya langsung berjalan dan terus berjalan.  Kenyataan itu sungguh suit untuk dicerna oleh nalar yang sehat.

Kenyataan itu makin diperparah oleh fakta buruknya pengelolaan anggaran.  Seperti sudah diketahui umum, bahwa penyerapan anggaran selama ini buruk sekali.  Sampai bulan September tiap tahun rata-rata penyerapan anggaran baru mencapai 60 %.  Pertanyaannya, bagaimana mungkin anggaran sisanya yang sebesar 40% itu bisa dibelanjakan selama dua bulan?  Kenyataan itu dengan mudah bisa dipahami bahwa di akhir tahun akan terjadi penghambur-hamburan anggaran.  Disitu tingkat afektifitas penggunaan anggaran pasti rendah dan rawan kebocoran.  Dan itulah yang terjadi.

Hasil audit BPK (2011) menunjukkan, dalam kurun waktu tujuh tahun (2003-2010), jumlah APBN yang tidak jelas peruntukannya mencapai Rp 103 triliun. Komposisi terbesar kebocoran terletak pada dana pengadaan barang dan jasa. Indikatornya, terlihat pada penetapan harga perhitungan sendiri selalu lebih mahal 20-30 persen dari harga pasar. Bank Dunia pun pada 2008 melansir tingkat kebocoran anggaran pengadaan sekitar 10-50 persen.

Diantara justifikasi penarikan utang adalah untuk menutup defisit APBN dalam rangka membiayai pembangunan.  Asumsinya, utang diperlukan agar pembangunan bisa tetap berjalan dan bukan hanya kegiatan rutin saja.  Artinya utang yang diambil itu lebih dipergunakan untuk pos belanja modal, bukan untuk belanja pegawai dan belanja barang.  Ada pemikiran bahwa utang tidak jadi masalah selama dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek produktif.  Yaitu proyek-proyek yang bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan kerja dan meningkatkan PDB.  Misalnya utang untuk membangun infrastrukur, membangun jalan, pelabuhan, transportasi, jaringan irigasi, telekomunikasi, pembangkit listrik, Karena itu untuk menunjukkan keberhasilan pengelolaan utang itu, selalu digunakan tolok ukur persentase utang terhadap PDB.  Jika persentase utang terhadap PDB makin kecil meski jumlah utang makin banyak, maka dianggap bahwa pengelolaan utang sudah tepat (on the track) sebab pengelolaan utang bisa meningkatkan PDB lebih besar dari pertambahan utang, artinya pembangunan bisa berjalan, produksi nasional meningkat pesat dan terjadi pertumbuhan ekonomi.

Tabel  5.

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin

Tahun

Jumlah

(juta orang)

Persentase

2000

38,7

19,1

2001

37,9

18,4

2002

38,4

18,2

2003

37,3

17,4

2004

36,1

16,7

2005

35,1

16

2006

39,3

17,7

2007

37,2

16,6

2008

35,0

15,4

2009

32,5

14,1

2010

31,0

13,3

2011

30,02

12,49

Sumber: BPS

Jika ekonomi tumbuh dan produksi nasional meningkat jika terdistribusi dengan baik akan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ujungnya adalah angka kemiskinan akan menurun.  Namun fakta analisis diatas menunjukkan peningkatan PDB ternyata hanya dinikmati oleh sebagian kecil dari masyarakat yaitu kelompok kaya.  Itu mengisyaratkan bahwa peningkatan kesejahteraan pada kelompok miskin sangat kecil.  Konsekuensinya jumlah orang miskin yang terentaskan dari kemiskinannya juga kecil. Itulah yang ditunjukkan oleh kecilnya penurunan jumlah orang miskin pada di tabel 5.  Dari tahun 2000 hingga 2011, jumlah penduduk miskin hanya turun dari 38,7 juta orang (atau 19,1 %) menjadi 30,02 juta orang (atau 12,49 %).  Artinya selama 11 tahun (periode 2000-2011) jumlah penduduk miskin hanya turun 8,68 juta orang.  Sementara selama periode yang sama jumlah utang yang dambil oleh pemerintah yang katanya untuk biaya pembangunan totalnya mencapai Rp 1.003,56 triliun.  Itu artinya untuk mengentaskan satu orang miskin menghabiskan biaya Rp 115,617 juta.  Hal itu menggambarkan betapa tidak efektifnya pengelolaan anggaran dan utang untuk membiayai pembangunan.

Tabel 6.

Penduduk Menurut Jenis Kegiatan 2004, 2008, 2011

Jenis Kegiatan Utama

Agt

2004

Agt

2008

Agt

2011

Kenaikan

2004 – 2011

Angkatan Kerja (juta org)

104,00

111,95

117,37

13,37

Bekerja (juta org)

93,7

102,55

109,67

15,97

Pengangguran Terbuka (juta org)

10,3

9,39

7,7

-2,6

Tingkat Pengangguran Terbuka (%)

9,90

8,39

6,56

-3,34

Pekerja Tidak Penuh (juta org)

27,9

31,09

34,59

6,69

Setengah Penganggur (juta org)

13,4

14,92

13,52

0,12

Paruh Waktu (juta org)

14,5

16,17

21,06

6,56

Sumber : BPS

Fakta itu sejalan dengan keadaan ketenagakerjaan di Indonesia (tabel 6.).  Keadaan ketenagakerjaan di negeri ini memang meningkat dari tahun 2004 hingga tahun 2011.  Jika dibandingkan angka tahun 2011 dengan tahun 2004 bisa disimpulkan ada penambahan angkatan kerja 13,37 juta dari 104 juta menjadi 117,37 juta.  Dalam periode tersebut, lapangan kerja yang terbuka lebih banyak dari pertambahan angkatan kerja. Karena itu jumlah orang bekerja bertambah dari 93,7 juta (2004) menjadi 109,67 juta (2011) atau bertambah 15,97 juta orang.  Pertambahan jumlah orang bekerja lebih banyak 2,6 juta dari pertambahan angkatan kerja.  Bisa diasumsikan selama 8 tahun (2004 – 2011), semua angkatan kerja baru mendapat pekerjaan dan 2,6 juta orang yang sebelumnya menganggur mendapat pekerjaan. Karena itu pengangguran terbuka turun 2,6 juta dari 10,3 juta (2004) menjadi 7,7 juta (2011) atau menurun 3,34 % dari 9,9 % (2004) menjadi 6,56 % (2011).  Namun selama periode tersebut jumlah pekerja tidak penuh bertambah cukup besar yaitu 6,69 juta dari 27,9 juta (2004) menjadi 34,59 juta (2011); dimana kenaikan pekerja tidak penuh itu terbagi dalam setengah penganggur yang naik 0,12 juta dari 13,4 juta (2004) menjadi 13,52 juta (2011) dan pekerja peruh waktu yang bertambah 6,56 juta dari 14,5 juta  (2004) menjadi 21,06 juta (2011).

Tabel 7.

Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama 2004, 2008, dan 2011 (juta orang)

Status Pekerjaan Utama

2004

2008

(Agst)

2011

(Agst)

Kenaikan

2004 – 2011

Wirausaha

42,79

45,71

42,8

0,02

Berusaha Sendiri

18,31

20,92

19,42

1,12

Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Buruh Tidak Dibayar

21,51

21,77

19,66

-1,85

Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar

2,97

3,02

3,72

0,75

Buruh/Karyawan/Pegawai

25,46

28,18

37,77

12,31

Pekerja Bebas

25,47

28,66

29,11

3,63

Pekerja Bebas di Pertanian

4,45

5,99

5,48

1,03

Pekerja Bebas di Non Pertanian

3,73

5,29

5,64

1,91

Pekerja Keluarga/Tak Dibayar

17,29

17,38

17,99

0,69

Total

93,72

102,55

109,67

15,95

Diolah dari data BPS dari Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2004, 2008, dan 2011

Bauran pekerjaan utama dari orang yang bekerja dapat dilihat di tabel 7. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah orang bekerja yang menjadi wirausaha ternyata tidak mengalami kenaikan yang signifikan.  Jumlah orang bekerja yang menjadi wirausaha itu diambil dari total orang berusaha sendiri, berusaha sendiri dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, dan berusaha sendiri dibantu buruh tetap/buruh dibayar.  Total wirausaha hanya naik 0,02 juta orang yakni dari 42,79 juta pada tahun 2004 menjadi 42,8 juta pada tahun 2011.  Yang bertambah siginifikan adalah jumlah orang bekerja yang menjadi buruh/karyawan/pegawai yang bertambah 12,31 juta dari 25,46 juta pada tahun 2004 menjadi 37,77 juta pada tahun 2011 atau 34,44 % dari jumlah orang bekerja.  Dari jumlah orang yang bekerja pada tahun 2011, jumlah pekerja bebas -mungkin ini sebutan lain dari pekerja serabutan- cukup signifikan yaitu ada 29,11 juta orang atau 26,54% dari jumlah orang bekerja.  Diantara pekerja bebas itu 17,99 juta diantaranya adalah pekerja keluarga/tak dibayar.  Kategori terakhir ini mungkin lebih tepat dikategorikan sebagai setengah menganggur atau lebih dekat sebagai penganggur sebab kalaupun mereka bekerja, mereka menjadi pekerja keluarga atau tak dibayar.  Mereka ini senyatanya adalah menganggur tetapi dalam hitungan BPS dikategorikan sebagai bekerja.  Itu artinya jumlah penganggur yang sebenarnya jauh lebih besar dari angka pengangguran terbuka.

Bauran pekerjaan utama di tahun 2011 menunjukkan bahwa orang yang bekerja di sektor formal ada 37,77 juta orang atau 34,44 %, yaitu mereka yang bekerja menjadi buruh/karyawan/pegawai.  Lebihnya bekerja disektor informal baik yang wirausaha ataupun menjadi pekerja serabuta.  Bahkan diantara buruh mungkin saja ada yang bekerja di sektor informal, terutama buruh di sektor perdagangan dan jasa.  Lapangan kerja yang secara langsung bisa dianggap sebagai hasil pembangunan adalah lapangan kerja di sektor formal.  Lapangan kerja di sektor formal ini ternyata tidak bisa menyerap tambahan angkatan kerja tiap tahun. Ketua Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulistyo mengatakan, pertumbuhan angkatan kerja tiap tahun mencapai 2,91 juta orang sedangkan pertumbuhan lapangan kerja hanya menamping 1,6 juta orang. “Setiap tahun ada penambahan tenaga kerja menganggur sebanyak 1,3 juta orang,” ungkap Suryo dalam acara Seminar ‘Mencetak Sejuta Lapangan Kerja dan Wirausaha Baru’ di Kantor Kementerian Perindustrian, Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (14/12/2011).  Apalagi kualitas pertumbuhan juga kian menurun.  Kalau sebelumnya tiap 1 persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap 400 ribu angkatan kerja, sekarang tiap 1 persen pertumbuhan hanya bisa menyerap 200 ribu angkatan kerja.  Kalau pertumbuhan lapangan kerja tidak bisa menyerap pertumbuhan angkatan kerja, lalu bagaimana mungkin angka pengangguran menurut BPS justru menurun?  Jawabannya adalah pertumbuhan lapangan kerja itu di sektor formal.  Kelebihan angkatan kerja itu akhirnya bekerja di sektor informal, termasuk menjadi pekerja keluarga/tak dibayar.  Dari situ, angka pengangguran terbuka menurut BPS itu yang dimaksudkan mungkin adalah mereka yang benar-benar tidak melakukan apa-apa.  Karena itu angka pengangguran yang sebenarnya diyakini jauh lebih besar dari angka pengangguran terbuka.  Bisa jadi angka pengangguran itu mencapai lebih dari 30 juta orang.

Semua itu menunjukkan penggunaan anggaran yang diantaranya ditutupi dengan utang ternyata tidak efektif untuk menciptakan lapangan kerja khususnya di sektor formal.  Masih begitu besarnya angka pengangguran menunjukkan hal itu.  Tidak efektifnya pembangunan ekonomi dalam penciptaan lapangan kerja itu juga ditunjukkan oleh makin menurunnya kualitas pertumbuhan ekonomi dalam menyerap lapangan kerja.  Sayangnya semua itu selama sepuluh tahun ini harus ditopang dengan pembiayaan dari utang baru yang mencapai Rp 1000 triliun.  Maka sungguh ironis, utang yang sedemikian besar diambil tapi tidak memberikan membrikan peningkatan kesejahteraan bagi rakyat.  Hasilnya hanyalah utang yang makin menumpuk dan menjadi beban seluruh rakyat hingga turun temurun.[]

2 comments

  1. Saya ingin mengomentari satu paragraf di atas paragraf 5.
    Jika memang pembangunan infrastruktur pembangunan bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi, lalu seberapa persen efeknya kah angka infrastruktur itu bisa mengurangi angka pengangguran rakyat kita ?

    Apa korelasi antara pembangunan infrastruktur dengan angka pengangguran ? Bukankah akan lebih efektif dengan bantuan dana tunai langsung (zakat) secara jangka pendek untuk mengurangi pengangguran dengan adanya training wirausaha atau program lain untuk membuat pabrik baru ?

    Apakah pembangunan kita lebih menitik beratkan seluruh infrastruktur harus terbangun untuk menciptkan pertumbuhan ekonomi di seluruh Indonesia ? Seberapa persenkah efek infrastruktur ini terhadap pertumbuhan ekonomi ? Dan seberapa efektifkah bila kebijakan infrastruktur ini bila ditambah atau bahkan diganti dengan program lain, misal BLT dan training wirausaha (meski peluang kerjanya juga belum tentu jelas karena wirausaha itu sangat tidak mudah!)

  2. Maksud saya ialah di atas tabel 5 bukan di atas paragraf 5, yaitu di atas tabel jumlah dan persentase penduduk miskin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*