Catatan Kritis Atas Pembangunan Berbasis Utang (Bagian IV)

Masuk Dalam Jerat Utang (Debt Trap)

Oleh : yahya Abdurrahman – Lajnah Siyasiyah HTI

Jumlah utang pemerintah hingga Januari 2012 telah mencapai Rp 1.837,39 triliun. Terdiri dari utang luar negeri sebesar Rp 623,35 triliun dan utang dalam negeri dalam bentuk surat utang negara sebesar Rp 1.214,14 triliun.  Tentang jumlah utang yang sedemikian besar, mantan menko Ekuin Kwik Kian Gie dalam sebuah dialog ekonomi di Hotel millenium, Selasa (21/2/2012) berkomentar: “Sudah sejak 30 tahun yang lalu saya sudah menulis banyak (soal utang). Contohnya lebih besar pasak dari tiang. Ini menjadi penipuan yang luar biasa. Utang itu tidak disebut utang dalam APBN, tetapi pemasukkan pembangunan dalam negeri. Jadi 30 tahun lamanya anggaran minus ditutupi utang. Anggaran harus berimbang, biar bisa disebut berimbang ya nipu”. Menurut Kwik, jumlah utang pemerintah yang tembus Rp 1.800 triliun ini sudah sangat membahayakan dan sulit dicarikan solusinya. “Ini bukan bahaya lagi karena sumber daya mineral di perut bumi dihabiskan oleh mereka elit-elit pemerintah. Sudah kayak gini sulit (solusinya). Saya nggak tahu harus bagaimana,” tegas Kwik (detikfinance.com, 21/2). Jumlah total utang yang sudah begitu besar, bagi siapapun tentu sulit membayangkan bagaimana melunasi utang sebesar itu.

Jika mengikuti skenario skema utang dengan berpatokan pada data per Januari 2012 maka sampai tahun 2055 pun negeri ini masih harus terus membayar utang yang jatuh tempo.  Profilnya skenario utang jatuh tempo itu berdasarkan Buku Saku Perkembangan Utang Negara Edisi Februari 2012 yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan dapat dlihat pada grafik berikut.

Melihat profil utang jatuh tempo itu, maka tidak salah jika dikatakan negeri ini telah terjebak masuk dalam jeratan utang (debt trap).  Jika begitu terus kondisinya, maka negeri ini tidak akan bisa terlepas dari jeratan utang itu.  Jika kondisi ini terus berangsung, maka kondisi terbaik yang bisa terjadi hanyalah adanya pengalihan dimana utang luar negeri makin turun sampai sangat minimal dan sebaliknya utang dalam negeri terus meningkat.  Kondisi ini seolah-olah baik, padahal sejatinya tidak.  Utang dalam negeri itu adalah utang dalam bentuk surat berharga negara.  Meskipun utang negeri ini nantinya semuanya sudah dalam bentuk surat berharga negara bukan berarti negeri ini terbebas dari pengaruh asing.  Sebab melalui pasar keuangan, surat berharga negara itu bisa dibeli oleh investor asing.  Itu artinya asing memiiki tambahan pintu masuk untuk bisa mengacak-acak perekonomian negeri ini dengan mempermainkan kurs mata uang.  Maka dilihat dari faktor ini, ketahana  negeri ini akan bergantung pada sejauh mana kepemilikan asing atas SBN itu bsi dikontrol sebaik mungkin.

Utang dalam bentuk surat berharga negara yang terus membesar pada akhirnya juga mendatangkan ancaman bagi perekonomian.   Apa yang terjadi di Amerika dan Eropa adalah contoh nyata tentang hal itu.

Lalu bagaimana jika pembayaran utang itu dipercepat pelunasannya? Untuk mendapatkan gambaran sesulit apa hal itu bisa direalisasikan, digunakan saja angka-angka APBN 2012 sebagai patokan.

Dalam APBN 2012, belanja pemerintah pusat mencapai Rp 965 triliun.  Dari jumlah itu, belanja pegawai sebesar Rp 215,73 triliun (22,36%), belanja barang dialokasikan sebesar Rp 142,24 triliun (14,74 %), belanja modal dialokasikan Rp 168,27 triliun (17,44%) dari belanja pemerintah pusat, defisit anggaran sebesar Rp 124,02 triliun.  Sementara itu di dalam Buku Saku Perkembangan Utang Negara edisi Februari 2012 yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, disebutkan bahwa pada tahun anggaran 2012 pembayaran utang totalnya mencapai Rp 322,709 triliun terdiri dari pembayaran pokok utang sebesar Rp 200,491 triliun (pokok pinjaman Rp 47,400 triliun dan pokok SBN Rp 153,091 triliun) dan pembayaran bunga sebesar Rp 122,218 triliun (bunga pinjaman Rp 17,887 triliun dan bunga SBN 104,331 triliun terdiri dari bunga SBN Rupiah Rp 88,278 triliun dan bunga SBN Valas Rp 16,052 triliun).

Sekarang kita coba-coba skenario pelunasan utang dengan menggunakan angka-angka belanja APBN 2012 itu sebagai patokan.  Skenario pelunasan utang itu menggunakan asumsi-asumsi berikut: pertama, dilakukan moratorium utang baru baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri dalam bentuk penerbitan Surat Berharga Negara. Kedua, negeri ini tetap dipertahankan bisa menjalankan pembangunan dengan besaran anggaran sebesar belanja modal di APBN 2012. Artinya besaran belanja modal tidak dikurangi.  Ketiga, ilakukan moratorium pembayaran bunga utang yakni bunga utang ditiadakan sebab bunga utang itu adalah riba dan hukumnya haram. Dan keempat, dilakukan efisiensi dan penggunaan anggaran secara ketat sehingga tidak memunculkan defisit baru.

Dengan menggunakan keempat asumsi itu maka: pertama, alokasi pembayaran bunga sebesar Rp 122,218 triliun dialihkan untuk menutup defisit.  Artinya pembiayaan defisit anggaran ditutupi oleh alokasi pembayaran bungan utang.  Jadi dengan begitu tidak ada defisit anggaran. Sebab pembiayaan defisit yang besarnya Rp 124,02 triliun nantinya digunakan untuk membayar bunga utang yang besarnya Rp 122,218 triliun.  Karena bunga utang dihapuska, itu artinya pegeluaran untuk pembayaran bungan itu tidak ada dan dengan begitu tidak perlu ada defisit.  Kalaupun ada kekuarangan hanya Rp 1,802 triliun.  Jumlah sebesar ini tentu sangat-sangat mudah ditutupi dengan melakukan penghematan anggaran seperti anggaran kunjungan yang besarnya Rp 21 triliun yang selama ini dinilai tidak efektif dan lebih bernuansa plesiran.

Kedua, besaran total pembayaran pokok utang (utang LN dan DM) tetap dipertahankan besarannya seperti di UU no 22 Th 2011 tentang APBN 2012 yaitu sebesar Rp 47 triliun.   Itu artinya sejumlah itulah minimal pembayaran yang bisa dilakukan tiap tahun.  Untuk melunasi total utang yang sudah mencapai RP 1.837,39 triliun butuh waktu 39 tahun.  ARtinya dengan skenario ini utang pemerintah pusat itu baru lunas tahun 2051.  Namun jika berpatokan pada Buku Saku Perkembangan Utang, besarnya pembayaran pokok utang tahun 2012 mencapai Rp 200 triliun.  Jika besaran ini diberlakukan tetap tiap tahun, maka total utang Rp 1.837,39 triliun akan lunas dalam 10 tahun.  Artinya total utang pemerintah pusat itu sudah bisa lunas tahun 2022.  Namun skenario ini masih menyimpan tanda tanya. Yaitu dari mana uang Rp 150 triliun iut di dapat? Sebab di dalam APBN 2012 alokasi pembayaran pokok utang tidak sebesar itu. Jika dipakai pendekatan moderat yaitu pembayaran pokok utang ditetapkan Rp 100 triliun setiap tahun, maka total utang pemrintah usat itu akan lunas dalam 19 tahun.  Artinya negeri ini tidak memiliki utang lagi pada tahun 2031.  Mungkin skenario terahir ini masih sangat realistis.  Penambahan jumlah Rp 50 triliun dari angka APBN 2012 itu masih mungkin dnegan melakukan penghematan.  Misalnya, anggaran kunjungan sebesar Rp 21 triliun dipangkas 16 triliun menjadi cukup 5 triliun saja.  Lalu dari penghematan anggaran departemen seluruhnya bisa didapat sekitar 18 triliun. Sisanya sekitar Rp 14 triliun bisa didapat dari penghematan fasilitas para pejabat, dan pengurangan atau bahkan penghapusan insentif fiskal kecuali untuk produk atau sektor yang erat kaitannya dengan kehidupan rakyat kecil.  Jika masih kurang, maka anggaran belanja modal bisa dikurangi sedikit menjdi Rp150 triliun.

Dengan skenario ini utang negara bisa dilunasi.  Namun kuncinya adalah kemauan politik, ketegasan dan keberanian pemerintah dan para politisi.  Dengan skenario itu, pembangunan masih tetap jalan dengan belanja modal sebesar Rp 150 triliun.  Jumlah itu dengan perencanaan yang baik, dan diutamakan untuk pembangunan infrastruktur dan proyek prduktif di sektor riil, maka akan bisa memberikan efek pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang besar.  Apalagi masih ditambah lagi dengan pembangunan di daerah yang dibiayai dari dana transfer ke daerah baik dalam bentuk DAU atau DAK.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*