Inggris Yang Meringis

Krisis ekonomi di Inggris sudah berlangsung cukup lama dan terasa sejak 2010. Bahkan, pada quarter pertama 2012, Gross Domestic Product (GDP) mereka sampai turun 0,2 persen.

Cerita krisis di Inggris itu bukan hanya sebatas wacana, berita di televisi dan koran, atau hanya analisis para pakar ekonomi semata. Namun, sebagai negara maju dan sangat tergantung kepada sistem finansial modern, krisis itu sangat terasa sampai bawah.

Ketika Kompas.com berkunjung ke Inggris pada 2-4 Mei 2012 lalu, cerita-cerita keresahan ekonomi begitu terasa.

“Ekonomi sedang sakit. Segalanya jadi susah di sini. Harga-harga jadi sangat mahal dan sebagian tak terjangkau,” kata Sesi, salah seorang pekerja paruh waktu.

Seorang sopir asal Bangladesh, Muhammad Sjah, juga mengatakan hal sama. “Saya tinggal di Inggris sudah tujuh tahun dan kini memiliki paspor Inggris. Namun, dalam dua tahun terakhir ini hidup terasa sangat berat. Saya harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga,” akunya.

Muhammad Sjah hanya bisa menyewa apartemen dengan fasilitas satu kamar tidur di pinggiran London. Dengan anak dua, tempat itu sebenarnya tak layak. Namun, apa boleh buat, karena kemampuannya hanya sebatas itu.

“Setiap bulan saya harus membayar 900 poundsterling (sekitar Rp 13,4 juta) untuk apartemen tersebut. Bayangkan, sebagai seorang sopir penghasilan saya sudah hampir habis untuk membayar apartemen. Beruntung, istri saya bekerja paruh waktu, sehingga kami masih bisa hidup,” tutur Muhammad Sjah.

Menurutnya, beberapa kenalannya di London sudah mulai berpikir bermigrasi ke Timur Tengah. Sebagian dari mereka membawa cerita indah. Maka, dia pun ingin menyusul mereka.

“Saya berencana ke Dubai, mencari pekerjaan di sana. Saya sudah tak mampu lagi hidup di London kalau keadaan ekonomi seperti ini,” katanya.

Menurut Office for National Statistics (ONS), populasi penduduk Inggris saat ini sebesar 62,3 juta. Sedangkan jumlah pengangguran di tahun 2012 mencapai 8,3 persen. Ini cukup tinggi untuk ukuran Inggris. Apalagi, perhitungannya adalah mereka yang tidak punya pekerjaan atau yang sedang mencari kerja. Sementara pengangguran terselubung belum dihitung.

Tak hanya biaya hidup yang menjadi wacana kuat dalam keseharian. Lowongan pekerjaan juga demikian. Kebetulan, Kompas.com sempat menyaksikan demonstrasi Socialist Worker di Wesmindster. Mereka mengangkat isu pengurangan pajak dan menuntut kesempatak pekerjaan lebih luas.

“Semakin sulit mendapat pekerjaan, maka kami melakukan demonstrasi untuk memberi tekanan kepada pemerintah agar lebih memerhatikan masalah ini,” kata Clark, salah seorang pendemo.

Seorang warga London, Alex, mengatakan, “Anda lihat banyak orang berlalu-lalang di London. Sebagian besar dari mereka adalah turis. Mereka membeli apa saja di sini. Sementara, orang Inggris sendiri banyak yang tak mampu membeli apa yang mereka beli.”

“Orang China paling banyak dalam beberapa tahun terakhir. Mereka datang ke sini untuk berlibur atau melakukan bisnis,” tambahnya.

Kenaikan harga-harga itu memang sangat terasa. Apalagi, harga petrole atau BBM naik drastis. Pada Mei 2012, harga BBM naik 2,4 sampai 4 pence per liter tergantung kategori.

“Saya harus membayar 1,5 pounds untuk setiap satu liter petrole. Ini sangat memberatkan, apalagi harga-harga kebutuhan lain meningkat,” kata Muhammad Sjah.

“Sekarang kehidupan di sini semakin sulit. Semua orang mengeluh dan kejahatan semakin banyak,” jelas Alex. (kompas.com, 7/5/2012)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*