UN, Cermin Disorientasi Kebijakan Pendidikan
Oleh Rini Syafri (Lajnah Maslahiyah DPP MHTI)
Ujian Nasional (UN) selalu menyisakan catatan yang membangkitkan nalar. Bukan tentang perlu-tidaknya diadakan, tapi tergerusnya orientasi pendidikan. Lulus UN hanya demi semangat mencari kerja; atau agar segera terlepas dari himpitan biaya pendidikan yang mahal; atau agar dapat melanjutkan ke tingkat pendidikan lebih tinggi demi memperoleh pekerjaan lebih pantas. Jelas itu semua tidak sepenuhnya salah, namun menjadi salah sepenuhnya ketika menjadi comman sense (pikiran kolektif) masyarakat.
“Kalau tidak lulus UN, mereka tidak dapat ijazah, dan akhirnya tidak bisa kerja juga,” ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Mohammad Nuh (Micom, 17 April 2012). Sedangkal itukah kepentingan pencerdasan anak bangsa?
Belenggu Sistem
Tiak sekadar bermakna motivasi, ucapan itu mencerminkan disorientasi kebijakan pendidikan di negeri ini, yang tereduksi pada kepentingan pasar tenaga kerja berbagai proyek industri (korporasi). Termasuk, proyek industri di bawah Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang disinyalir kuat hanya mempercepat pembangunan kepentingan korporasi di negeri ini.
Karena itu, hampir semua jenjang pendidikan, terutama tingkat menengah-atas sampai pendidikan tinggi, konsep link and mach menjadi begitu populer. Sama populernya dengan pendidikan berkelas internasional di berbagai level. Konsep link and mach di tataran realitas, tak lain adalah desain sistem pendidikan dengan blue print industri (korporasi). Sementara internasionalisasi adalah golobalisasi yang hakikatnya adalah kapitalisasi.
Ada benarnya link and mach dapat mengurangi pengangguran terdidik yang kian membengkak, disamping “mengembalikan ongkos” pendidikan yang terus melangit. Hanya, menjadi tidak benar sama sekali, karena konsep tersebut hakikatnya adalah refleksi dari tujuan pendidikan yang ter-disorientasi.
Tak hanya tergadainya potensi intelektual generasi, disorientasi pendidikan telah meninggalkan goresan pada jiwa dan kesadaran individu berupa kerendahan dari segala kerendahan, kecuali pada sangat sedikit orang. Mulai dari kerendahan moral berupa kecurangan, kebohongan, hingga kegagalan sisitem pendidikan.
Semua itu berujung pada keterbelunguan sistem pendidikan dalam hegemonik. Alih-alih melahirkan generasi pemimpin, disorentasi pendidikan yang terbingkai dalam falsafah pendidikan sekuler-kapitalistik, hanya melahirkan intelektual dengan produk gagasan pragmatis, pengokoh keterbelengguan tersebut. Disamping perilaku rendah dan hina, seperti tawuran, seks bebas dan berbagai bentuk perilaku liberal lainnya.
Memang, masih ada putra-putri bangsa ini yang “selamat”. Namun, secara keseluruhan mereka bukan produk sistem. Adapun produk sistem pendidikan yang sesungguhnya adalah apa yang sama-sama kita saksikan, anak-anak kita secara masal telah kehilangan visi dan misi hidup yang seharusnya. Ibarat ibu yang asing dengan anaknya sendiri dan sang anak juga merasa terasing dari ibunya. Sungguh menyakitkan.
Keterjajahan di berbagai bidang seperti politik, sain dan teknologi akhirnya menjadi keniscayaan. Ini bukan persoalan ada atau tidaknya kecerdasan, tetapi kecerdasan mereka telah dieksploitasi bukan untuk tujuan kecerdasan itu diciptakan Zat Pencipta. Potensi kecerdasan dan jiwa mereka telah digadaikan pada sesuatu yang tidak pantas bagi keduanya. Tapi itulah yang diinginkan imperium kapitalisme Global terhadap generasi bangsa ini.
Yang lebih menyakitkan lagi, negara telah menyetujuinya. Sejumlah ketentuan yuridis menjadi bukti yang tak terbantahkan. Sebut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Regulasi ini menjadikan pendidikan sebagai jasa yang diperdagangkan secara bebas. Sekalipun RUU Pendidikan Tinggi mendapatkan penentangan yang massif dari berbagai pihak, namun terus disosilisasikan pemerintah dan tinggal menunggu waktu pengesahannya.
Mutlak Dikembalikan
Sejatinya sistem pendidikan harus mampu membentuk kepribadian mulia. Kepribadian yang tercermin dari pola fikir dan pola sikap peserta didik. Tergagas dalam visi misi kehidupannya. Misi menjadi sebaik-baiknya insan, bagi sebaik-baiknya peradaban. Semua misi yang lahir dari kesadaran ilahiah, harap akan ridho Allah semata. Inilah orientasi kebijakan pendidikan Islam, Khilafah Islam.
Kebijakan orientasi pendidikan ini dibangun di atas paradigma kebijakan, bahwa pendidikan adalah kebutuhan pokok setiap individu, yang harus disterilkan dari aspek komersialisasi. Pada saat bersamaan, dasar dan setiap sudut pendidikan dijiwai oleh aqidah Islam. Dalam tataran implementasinya berpijak pada falsafah keilmuan Islam.
Hasilnya, lahirlah secara masal produk pendidikan yang tidak saja cerdas secara spritual dan emosional, namun juga secara kognitif (intelektual). Karena dalam sistem pendidikan Islam ke tiga unsur ini ada dalam satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan atau ditambal sulam. Kecerdasan spritual adalah buah dari kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional menjadi buah manis yang diperoleh dari kecerdasan spiritual yang didasari oleh pembentukan kecerdasan intelektual.
Tak heran dalam sistem pendidikan Islam, seorang dokter juga ulama yang tawdhu. Sebutlah Ibnu Rusyd, penulis kitab bidayatul mujtahid, ia seorang dokter tetapi juga ‘ulama (ahli hadist). Demikian pula, seorang dokter juga seorang pengajar alquran, berbudi, dan berbagai sikap luhur lainnya, peduli dan fokus pada persolan Islam dan umatnya, lagi tidak sekadar bergelut dengan problem pribadi.
Hanya, perlu digaris-bawahi, kebijakan pendidikan khilafah merupakan bagian integral seluruh kebijakan khilafah. Baik kebijakan keuangan negara, riset dan industri. Karena itu, upaya menerapakan sistem pendidikan Islam, untuk melahirkan kembali para ilmuwan spetakuler, hanya berakhir sia-sia bila tidak dilakukan perubahan total kebijakan sistem pendidikan saat ini. Mustahil pula hanya dengan mendirikan “sekolah-sekolah Islam” atau program pendidikan karakter, program pendidikan anak usia dini, atau memperluas training kecerdasan spritual atau emosional.
Satu lagi yang istimewa dari sistem pendidikan Islam adalah mampu melahirkan wanita-wanita yang menguasai berbagai bidang ilmu dan keahlian, tanpa mereduksi kesadarannya bertugas di ranah domestik sebagai ummu wa rabbatul bayt. Sekali lagi, semua ini terwujud karena kebijakan pendidikan Islam bagian integral dari kebijakan pembangunan kaum perempuan Negara Khilafah.
Akhirnya secara keseluruhan sistem pendidikan Islam benar-benar menjadi bagian penting bagi keberlangsungan peradaban Islam, yang cahayanya yang suci dan agung dapat dirasakan di seluruh penjuru dunia dalam setiap sudut kehidupan dalam belasan abad. Itulah keagungan cahaya Allah, sistem pendidikan Khilafah,
Khilafah itu sendiri. Sebagaimana firman-Nya dalam QS An Nur: 35, “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus[1039], yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya)[1040], yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu“. Sungguh Dunia sangat merindukan cahaya itu segara kembali. Allahu A’lam.(*)
inilah bukti ketika sistem kapitasis diterapkan, akan menghasilkan generasi yang rusak……….. sungguh miriss,,,,,