Khilafah Jamin Hak Kesehatan Publik

Oleh Fikriyyah Mustaniirah

(Lajnah Maslahiyah DPP MHTI)

Tahun ini, sebagaiman tahun-tahun sebelumnya, program pelayanan kesehatan gratis kembali dijadikan kebijakan utama untuk mengembalikan hak pelayanan si miskin.  Yakni berupa program Jaminan Kesehatan untuk 76,4 juta penduduk miskin dan program Jaminan Persalinan untuk 2,7 juta ibu hamil (menkokesra.go.id). Juga, program pelayanan kesehatan gratis yang didanai dari APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). Adapun bagi si “kaya”, yang direpresentatifkan oleh pasien kelas II, I, dan VIP, tetap harus merogoh kantong dalam-dalam di tengah terampasnya hak pelayanan kesehatan mereka.

Derita Tak Berkesudahan

Seperti biasa, layanan kesehatan gratis tak pernah sepi dari kesengsaraan.  Di RSUDAM, Lampung, misalnya, para pasien jaminan kesehatan (Jamkesda, Jamkesmas, dan jampersal) harus menjalani perawatan di selasar dan lorong-lorong rumah sakit, karena rumah sakit over capacity. (Lampung.pos.com.10/4/12). Sementara itu, seorang batita (3) penderita tumor kepala dirawat di lorong Paviliun Seruni RSUD Jombang karena keluarga belum menyediakan biaya operasi sebesar Rp 50 juta (Antaranews.com 11/4/12). Pasien Jampersal lain, isteri penarik beca motor berusia 41 tahun, gagal mendapatkan pelayanan bersalin yang dibutuhkannya di RSU terbesar Medan, dengan alasan Intensive Care Unit penuh. Padahal kodisinya kritis, sangat lemah dan membutuhkan tindakan operasi (sindo.com, 10/3/12).

Tak hanya itu, berkali-kali terulang, pasien miskin meninggal tanpa mendapat pelayanan kesehatan. Seperti dialami balita (5) yang meninggal setelah dua jam menunggu tapi tak ditangani. Penyebabnya, orang tuanya tidak mampu menyediakan Rp 5 juta yang disyaratkan pihak rumah sakit  (Wasdpa.co.id, 7/4/12). Hal serupa dialami pasien jaminan kesehatan berusia 19 tahun yang terpaksa pulang setelah surat jaminan kesehatannya dinyatakan tidak berlaku.  Padahal kondisinya kritis dan sangat membutuhkan bantuan medis  (Kompas, 10/4/12).

Meskipun jarang diekspos, terampasnya hak pelayanan  kesehatan pasien “kaya”, yaitu dengan harus membayar mahal, tetap saja menyisakan sejumlah penderitaan yang tak dapat dianggap remeh.  Seperti, menjadi setengah miskin atau bahkan jatuh miskin akibat harus membayar tarif pelayanan kesehatan yang tidak sedikit.

Kondisi ini terutama di alami oleh penduduk setengah kaya, yang merupakan popolasi kedua terbesar setelah penduduk miskin di negeri ini.  Kerap pula para pasien “kaya” ini harus mengalah di hadapan buruknya kualitas pelayanan kesehatan.

Pengabaian Hak Pasien

Bagi sebagian masyarakat miskin, berbagai program pelayanan kesehatan gratis, ibarat “oase” di tengah himpitan hidup dan beban penyakit yang tak tertahankan. Hanya, perlu dicatat, setiap pasien berduit atau bukan, sejatinya sama.  Sama-sama manusia, yang menderita bila tidak dipenuhi haknya sebagai orang sakit terhadap pelayanan kesehatan nyaman, aman dan berbagai aspek lain untuk proses kesembuhan.

Sehingga seorang saja pasien yang diabaikan haknya, ditelantarkan nyawanya, apapun status ekonominya, hakekatnya sama saja dengan mengabaikan nyawa semua pasien. Yang demikian karena setiap individu pasien adalah manusia.  Ia berhak atas pelayanan kesehatan berkualitas yang dibutuhkannya.  Sebagaimana sabda Rasulullah saw, yang artinya,”Siapa saja pada pagi hari dalam keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki makanan pada hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.”

Mutlak Rekontruksi Total

Derita tak berkesudahan pasien miskin adalah keniscayaan, selama komersialisasi pelayanan kesehatan tetap dijadikan  fondasi kebijakan.  Hal ini karena harga pelayanan kesehatan yang terus melangit merupakan keniscayaan saat pelayanan kesehatan tunduk pada kepentingan pasar.  Kenaikkan tarif pelayanan kesehatan yang cukup signifikan terjadi pada institusi-institusi pelayanan kesehatan  pemerintah, seiring  berubahnya status institusi tersebut menjadi Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah. Selama 3 tahun terakhir (setelah disahkan UU No 4 tahun 2009 tentang Rumah Sakit) yang melegalkan BLU sebagai bentuk ideal Rumahsakit pemerintah, sudah puluhan RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) berstatus BLUD (Badan Layanan Umum Daerah).  Yang diiringi kenaikan tarif  tentunya.

Ha ini cukup menjadi bukti, bahwa kebijakan pelayanan kesehatan pragmatis. Sekadar merespons fenomena akibat komersialisasi pelayanan kesehatan, berupa termarginalisasinya hak pelayanan kesehatan publik yang dialami puluhan juta penduduk miskin. Di sisi lain, kebijakan ini membebani si kaya di luar kapasitasnya insaniahnya. Ini jelas bukan kebijakan manusiawi.

Pada aspek inilah rekonstruksi total bangunan kebijakan pelayanan kesehatan merupakan keharusan yang tak dapat ditawar lagi. Kembalikan hak pelayanan kesehatan publik.   Caranya, campakkan sistem kehidupan kapitalistik sang biang derita, dan kembali pada pangkuan kehidupan Islam, Khilafah Islam.

Layanan Kesehatan Berkualitas

Pelayanan kesehatan Khilafah dibangun di atas paradigma, bahwa kesehatan merupakan kebutuhan pokok publik, siapapun dia, miskin-kaya, rakyat-penguasa, muslim-non muslim, dan demikianlah faktanya.  Sabda Rasulullah saw, yang artinya, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapai keadaan aman kelompoknya, sehat badanya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya“.

Artinya, dengan alasan apapun, negara tidak berwenang merampas (mengkomersilkan) hak publik tersebut, sekalipun ia orang yang mampu membayar pelayanan kesehatan. Hal ini karena Negara hanya diberi kewenangan dan tanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara.

Sabda Rasulullah saw, yang artinya,”Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala.  Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).  Tugas ini yang tidak boleh dilalaikan Negara sedikitpun, walau hanya kepada seorang warga negara Khilafah.  Yang demikian karena pelaianan tersebut berakibat kemudharatan, yang dibenci Allah swt.  Sabda Rasulullah saw yang artinya, “Tidak boleh membuat mudharat (bahaya) pada diri sendiri, dan tidak boleh pula membuat mudharat pada orang lain“.(HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Kebijakan pelayanan kesehatan yang anti komersialisasi ini, merupakan bagian integral kebijakan Khilafah secara keseluruhan.  Seperti kebijakan keuangan negara, kebijakan pendidikan Kedokteran, kebijakan industri peralatan kedokteran dan obat-obatan.  Yang semua kebijakan tersebut bersifat konstruktif bagi terwujudnya kebijakan pelayanan kesehatan gratis berkualitas bagi setiap individu masyarakat tampa memnadang status ekonominya, dan berbagai status yang lain.

Implementatif

Subhanallah, konsep kebijakan pelayanan kesehatan gratis lagi berkualitas bagi setiap inidividu masyarakat sungguh benar-benar implementatif, baik dari segi kosep dan metodologis (pelaksanaan) mampun fakta empirik (sejarah). Dari segi fakta sejarah, tercatat pada masa kegemilangan peradaban Islam, hampir di setiap kota, termasuk kota kecil sekalipun, terdapat rumah sakit, berikut dengan tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, dan lain-lain) berkualitas lagi memadai.  Disamping tercukupi peralatan medis dan obat-obat yang dibutuhkan.

Di Kordoba saja, yang luasnya lebih sedikit dari Provinsi Banten (Kordoba:13.550 km2, Banten: 8.234,69 km2), memiliki lebih dari 50 rumah sakit. Bila Kordoba dibagi menjadi 7 Kabupaten, maka setiap kabupaten terdapat 7-8 rumah sakit.  Indonesia (1.906.240 km2) yang luasnya 2000 kali luas Kordoba, hanya memiliki 1.320 rumah sakit (DepKes, 2009), 1/76 jumlah yang dimiliki Kordoba, idealnya 100.000 RS.

Tidak hanya itu, rumah sakit keliling tersedia untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan individu masyarakat di pedesaan, jauh dari perkotaan, atau kesulitan mendatangi rumah sakit di perkotaan.  Rumah sakit ini diangkut sejumlah unta, bahkan sampai empat puluh unta. Para dokter rumah sakit keliling mengunjungi pasien satu per satu, dari rumah ke rumah, demikian pula para bidan yang memberikan pelayanan bagi Ibu-Ibu hamil dan bersalin.

Lebih jauh lagi, di Kota-Kota besar, terdapat sejumlah rumah sakit yang didesain untuk pelayanan pasien dan pendidikan. Seperti RS Al Dhudi, di Baghdad, didirikan Adhdu Daulah Ibnu Buwaih, 371 H.  Luar biasa, rumah sakit ini mampu memberikan pelayanan kepada 4000 pasien perhari, bandingkan dengan RSCM, Rumah Sakit Rujukan Nasional, hanya mampu memberikan pelayanan maksimal 2000 pasien perhari.

Selain itu, rumah sakit-rumah sakit Khilafah benar-benar didesain untuk kesembuhan pasien.  Ruangan pelayanan yang nyaman, sejuk, asri dan beraroma segar.  Para pasien dilayani oleh para tenaga kesehatan yang kompeten, professional, berpegang teguh pada etik kedokteran Islam yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.

Aspek insaniah setiap pasien benar-benar terpenuhi.  Jangankan individu yang benar-benar sakit, yang berpura-pura sakit saja diberikan pelayanan yang pantas bagi seorang manusia.  Para pasien, sekalipun gratis, dihormati dan dimuliakan layaknya menghormati dan memuliakan tamu agung.

Inilah fakta sejarah hasil kebijakan pelayanan kesehatan Islam.  Insya Allah akan hadir kembali dalam waktu dekat, mengembalikan hak pelayanan kesehatan public yang terampas.

TQS 24:55, “Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. …“.  Allahu A’lam.(*)

Daftar Pustaka.

  1. Al Maliki.  Politik Ekonomi Islam.  Al Izzah.  Bogor.  2008
  2. Deuraseh, N. The Book of Medicine (Kitab AL_TIBB) of Sahihal-Bukhari Prevention of Illness and Preservation of Health Perspectives. Part Two.Journal of the Bahrain Medical Society. Vol 20.  No 2.  April 2008.
  3. Al-Ghazal, S.  Medical Ethics in Islamic History at a Glance.  JISHIM, 3.  2004.
  4. Yamani, J.  K.  Kedokteran Islam dari Masa ke Masa. Dzikra.  Bandung.  2002.
  5. Al-Ghazali, Sharif Kaf.  The Origin of bimaristans (hospitals) in Islamic medical history.  http://www.islamicmedicine.or/bimaristan.htm.
  6. Ragheb, E.  Hospital in Islamic civilization.  http://en.islamstory.com/hospital-in-islamic-civilization.html.
  7. As Sirjani, R.  Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia.  Al kautsar.  Jakarta. 2011.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*