Tafsir QS Al Balad : Memaknai Ni’mat dan Memilih Petunjuk

Tafsir QS al-Balad [90]: 7-10

أَيَحْسَبُ أَنْ لَمْ يَرَهُ أَحَدٌ * أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ * وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ * وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ *

Apakah Dia menyangka bahwa tiada seorangpun yang melihatnya? Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (QS al-QS al-Balad [90]: 7-10).


Dalam ayat-ayat sebelumnya dijelaskan mengenai kesalahan persangkaan sebagian manusia. Mereka menyangka tidak ada yang berkuasa atas dirinya. Padahal manusia diciptakan dalam keadaan sempit dan berkeluh-kesah. Realitas tersebut jelas menunjukkan kesalahan nyata persangkaan mereka. Ayat-ayat berikutnya masih membeberkan persangkaan yang salah beserta bantahan terhadapnya.


Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Ayahsabu an lam yarahu ahad (Apakah dia menyangka bahwa tiada seorang pun yang melihat dirinya?). Pengertian yahsabu dalam ayat ini, sebagaiamana ayat sebelumnya, bermakna yazhunnu (menduga, menyangka).1 Dijelaskan Ibnu Jarir ath-Thabari, pelakunya adalah orang yang mengatakan dalam ayat sebelumnya: Ahlaktu mâl[an] lubad[an] (Aku telah menghabiskan harta yang banyak). Dengan demikian ayat ini memberitakan: Apakah orang yang mengatakan perkataan tersebut menyangka tidak ada seorang pun yang melihat dia ketika menginfakkan hartanya?2 Qatadah menafsirkan ayat ini: Apakah mereka menyangka Allah tidak melihat dia serta tidak menanyakan tentang hartanya dari mana berasal dan untuk apa dibelanjakan.3

Menurut Ibnu Juzyi al-Kalbi, ayat ini bisa mendustakan perkataan orang yang disebutkan dalam ayat sebelumnya: Ahlaktu mâl[an] lubad[an] (Aku telah menghabiskan harta yang banyak) atau mengisyaratkan bahwa orang tersebut menginfakkan hartanya dengan riya’.4

Sebagaimana ayat sebelumnya, bentuk istifhâm dalam ayat ini juga bermakna inkâri li al-tawbîkh (pengingkaran yang berguna sebagai teguran).5 Artinya, ayat ini menyalahkan dan memberikan teguran kepada orang yang memiliki persangkaan bahwa tidak ada satu pun yang melihat mereka. Pasalnya, Allah Maha Melihat segala perbuatan hamba-Nya, termasuk terhadap mereka (Lihat: QS Ali Imran [3]: 15).

Kemudian dalam ayat selanjutnya dijelaskan tentang berbagai kenikmatan yang dianugerahkan kepada mereka dengan firman-Nya: Alam naj’al lahu ‘aynayni (Bukankah Kami telah memberi dia dua buah mata). Kata al-‘ayn dalam konteks ayat inimenunjuk pada organ tubuh tertentu yang berfungsi sebagai indera penglihatan. Dengan organ tersebutlah manusia bisa melihat dan menyaksikan aneka realitas dan fakta dalam alam semesta.

Ditegaskan ayat ini, bahwa Allahlah yang telah menciptakan dua mata untuk manusia. Dijelaskan Wahbah az-Zuhaili, kalimat istifhâm dalam ayat ini bermakna istifhâm taqrîri (pertanyaan untuk menetapkan), berguna untuk mengingatkan berbagai kenikmatan. Penetapan ini jelas menepis persangkaan salah mereka. Mereka bukan pencipta dua mata tubuh mereka. Mata itu juga tidak menempel dengan sendirinya. Organ sangat penting itu diciptakan Allah SWT.

Tak hanya mata, namun juga: wa lisân[an] wa syafatayn (lidah dan dua buah bibir). Kata al-lisân menunjuk pada satu organ tubuh tertentu yang memiliki khasiat berbicara. Dengan lisan itu manusia bisa mengungkapkan apa yang dalam pikiran dan hati. Lidah juga berfungsi sebagai indera pengecap; bisa merasakan lezatnya aneka makanan dan minuman.6

Adapun kata as-safatayn berasal dari kata asy-syafah (bibir). Kedua bibir tersebut berfungsi untuk membantu manusia dalam berbicara, makan, minum dan meniup;7juga untuk memperindah wajah dan mulutnya.8

Semua itu menunjukkan besarnya kekuasaan Allah SWT atas manusia. Jika Allah SWT berkuasa membuat semua organ tubuh manusia tersebut, maka Dia juga berkuasa atas manusia dan mengetahui semua tindak-tanduk manusia. Ayat tersebut sekaligus mengingatkan manusia tentang besarnya kenikmatan yang telah mereka terima.

Kemudian disebutkan dalam ayat berikutnya: Wa hadaynânhu an-najdayn (dan Kami telah menunjukkan kepada dia dua jalan). Pada asalnya, kata an-najd berarti al-makân al-murtafi’ (tempat yang tinggi). Bentuk jamaknya an-nujûd. Dinamakan an-najd karena jalan tersebut naik atau mendaki setelah ada penurunan. Oleh karena itu, makna an-najdâyn adalah ath-tharîqâni al-‘âliyâni (jalan yang tinggi, mendaki).9 Dipaparkan Fakhruddin ar-Razi, seolah-olah tatkala berbagai petunjuk itu telah terang, maka petunjuk tersebut dijadikan seperti jalan yang mendaki tinggi. Sebab, petunjuk tersebut amat jelas bagi akal sebagaimana layaknya jalan yang mendaki tinggi bagi penglihatan. Ini merupakan penafsiran para mufassir mengenai an-najdyn, yakni dua jalan, sabîla al-khayr wa a-syarr (kebaikan dan keburukan).10

An-Najdayn dalam ayat ini yang berarti ath-tharîqayn (dua jalan) juga dikemukakan banyak mufassir seperti al-Qurthubi, az-Zamakhsyari, Ibnu Katsir, an-Nasafi, al-Baghawi, Ibnu Juzyi, dan lain-lain. Maknanya adalah tharîq al-khayr wa asy-syarr (kebaikan dan keburukan).11 Demikian juga menurut Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, Ali, Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Ikrimah, Abu Wail, Abu Shalih, Muhammad bin Kaab dan ‘Atha’ al-Khurasani.12

Dengan demikian pengertian ayat ini, sebagaimana dinyatakan az-Zujjaj, adalah: Bukankah Kami telah menerangkan kepada dia jalan kebaikan dan jalan keburukan, sebagaimana jelasnya dua jalan yang tinggi.13

Menurut al-Qurthubi ayat ini bermakna: Kami menjelaskan dua jalan tersebut kepada dia dengan mengutus para rasul.14


Memahami Nikmat dan Petunjuk Penggunaannya

Di antara perkara penting yang dikandung ayat-ayat ini adalah bantahan telak terhadap persangkaan sebagian manusia, yakni bantahan terhadap persangkaan bahwa tidak ada satu pun yang melihat perbuatan mereka.

Persangkaan tersebut jelas salah besar. Mungkin ketika melakukan suatu perbuatan, manusia bisa menyembunyikannya dari penglihatan orang lain. Akan tetapi, mustahil manusia bisa menghindar dari penglihatan Allah SWT. Di mana pun manusia berada, Allah SWT senantiasa mengawasi perbuatan mereka (Lihat: QS al-Mujadilah [58]: 7).

Ayat-ayat ini juga telah memberikan bantahan atas persangkaan salah mereka dengan argumentasi yang telak dan tak terbantahkan. Bukankah mata yang melekat pada tubuh mereka dan berguna sebagai indera penglihat diciptakan Allah SWT? Jika Allah SWT berkuasa menciptakan mata buat mereka sehingga mereka bisa melihat, bagaimana mungkin Dia tidak berkuasa melihat semua tingkah-polah mereka?

Dengan mata itu pula, seharusnya manusia bisa menyaksikan dengan jelas berbagai tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT di alam semesta. Alam semesta beserta isinya yang serba teratur, namun lemah dan terbatas jelas membutuhkan al-Khaliq yang menciptakan dan mengaturnya. Semua itu tak mungkin ada dan berjalan dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan dan mengaturnya. Maka dari itu, penglihatan manusia tersebut bisa mengantarkan manusia untuk beriman kepada-Nya. Itulah yang semestinya dilakukan dengan mata mereka.

Ayat-ayat ini juga mengingatkan keberadaan organ tubuh penting lainnya, yakni lidah dan dua bibir. Keduanya juga diciptakan Allah SWT untuk manusia. Dengan kedua organ tersebut manusia bisa mengungkapkan kesan dan kesimpulan dari apa yang dilihat oleh matanya, juga mengungkapkan semua hal yang terpikir dalam akalnya dan terlintas dalam benaknya. Ini merupakan kelebihan yang menjadi ciri yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Meskipun hewan di sekitarnya juga memiliki lidah dan dua bibir, namun organ tersebut tidak bisa digunakan untuk berbicara. Kedua organ tersebut juga berguna sebagai indera pengecap yang dapat merasakan lezatnya aneka makanan dan menjadi pelengkap keindahan tubuh manusia. Sungguh, ini merupakan kenikmatan terkira buat manusia.

Realitas itu seharusnya memudahkan manusia untuk beriman dan bersyukur kepada Allah SWT. Keimanan itu melahirkan ketundukan terhadap semua perintah dan larangan-Nya. Adapun bersyukur atas anugerah kenikmatan-Nya diwujudkan dengan mempergunakannya sesuai dengan petunjuk-Nya. Untuk itu, manusia tidak perlu repot dan bingung. Sebab, Allah SWT telah memberikan petunjuk yang terang, jelas dan gamblang. Dalam ayat ini ditegaskan: Wa hadaynâhu al-najdayn (dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan). Pengertian an-najd adalah jalan naik dan mendaki setelah ada penurunan. Dengan demikian, dua jalan tersebut amat terang dan jelas sehingga memudahkan manusia dalam dalam memilih yang dia kehendaki.

Sebagaimana telah dipaparkan, dua jalan yang dimaksud adalah jalan kebaikan dan jalan keburukan; jalan yang mengantarkan pada kebahagiaan dan kesengsaraan; jalan al-fujûr dan al-taqwâ, seperti disebutkan dalam QS al-Syams [91]: 8; juga sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

Sesungguhnya Kami telah menunjuki dia jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir (QS al-Insan [76]: 3).


Tatkala manusia dikaruniai mata untuk melihat, disertakan pula petunjuk penggunaannya. Apabila digunakan di jalan takwa, seperti belajar, membaca al-Quran, menuntunnya untuk melakukan jihad dan amal shalih lainnya, maka mata tersebut dapat mendatangkan pahala bagi pemiliknya. Sebaliknya, apabila mata itu digunakan di jalan kemaksiatan, seperti melihat perkara yang diharamkan, maka itu bisa mendatangkan dosa bagi pemiliknya. Abu Raihanah ra. Menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

حُرِّمَتِ النَّارُ عَلَى عَيْنٍ دَمَعَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وحُرِّمَتِ النَّارُ عَلَى عَيْنٍ سَهِرَتْ فِى سَبِيلِ اللَّهِ،. قَالَ: وَنَسِيْتُ الثَّالِثَةَ. قَالَ أَبُو شُرَيْحٍ سَمِعْتُ بَعْدُ أَنَّهُ قَالَ: حُرِّمَتِ النَّارُ عَلَى عَيْنٍ غَضَّتْ عَنْ مَحَارِمِ اللَّهِ ، أَوْ عَيْنٍ فُقِئَتْ فِى سَبِيلِ اللَّهِ

“Neraka diharamkan atas mata yang mengeluarkan air mata karena takut kepada Allah. Neraka diharamkan atas mata yang tidak tidur di jalan Allah.” Abu Raihanah berkata, “Aku lupa yang ketiganya.” Abu Syuraih berkata, “Saya mendengar setelah itu beliau bersabda, ‘Neraka diharamkan atas mata yang berpaling dari segala yang diharamkan Allah atau mata yang tercukil di jalan Allah.”’ (HR Ahmad al-Hakim).


Demikian pula dengan lidah dan dua bibir. Kedua organ tubuh tersebut juga dilengkapi dengan petunjuk penggunaannya. Apabila digunakan di jalan ketakwaan seperti berzikir, membaca al-Quran, berdakwah, mengajarkan ilmu yang bermanfaat, amar makruf nahi munkar dan perkataan baik lainnya, maka itu dapat mendatangkan pahala bagi pemiliknya. Demikian pula dengan perkataan yang benar (kalimah haqq) yang disampaikan kepada penguasa zalim. Nabi saw menyebut itu sebagai afdhal al-jihâd (jihad yang paling utama) dan pelakunya yang terbunuh sebagai sayyid al-syuhadâ‘ (penghulu para syahid).

Namun sebaliknya, organ tersebut juga dapat menggelincirkan pelakunya ke dalam neraka apabila digunakan di jalan kemaksiatan, seperti berdoa kepada selain Allah, berdusta, bersaksi palsu, ghibah, memecah-belah umat Islam, dan merusak kehormatan seorang Muslim; juga ketika digunakan untuk mempropagandakan ide-ide kufur seperti sekularisme, kapitalisme, liberalisme, demokrasi, pluralisme, dan lain-lain. Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ

Sesungguhnya ada seorang hamba yang benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk keridhaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu Allah menaikkannya beberapa derajat. Sesungguhnya ada seorang hamba yang benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk kemurkaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka Jahanam (HR al-Bukhari dari Abu Hurairah).


Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan makna “dia tidak menganggapnya penting”, yaitu dia tidak memperhatikan dengan pikirannya, tidak memikirkan akibat perkataannya, serta tidak menduga bahwa kalimat itu akan mempengaruhi sesuatu.
15

Oleh karena itu, manusia harus berhati-hati dalam menggunakan lidah. Rasulullah saw. pernah ditanya oleh Sufyan bin Abdullah al-Tsaqafi, “Wahai Rasulullah, apakah yang paling Anda khawatirkan atasku?”. Beliau memegang lidah beliau sendiri, lalu bersabda, “Ini.” (HR al-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Tak hanya menurunkan petunjuk bagi mata, lidah dan bibir manusia. Allah SWT telah memberikan petunjuk lengkap bagi manusia dalam menempuh kehidupannya. Dengan bekal petunjuk yang jelas, semestinya manusia tidak akan salah dalam memilih jalan hidupnya.

Semoga kita diberi kemudahan untuk memilih dan menempuh jalan ketakwaan, jalan yang mengantarkan pada surga dan ridha-Nya. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Rokhmat S. Labib, M.E.I.]


Catatan kaki:

1 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Mishriyyah, 1964), 64; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihyâ‘ at-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 167.

2 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: Muassah ar-Risalah, 2000), 436.

3 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 167; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ at-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 255.

4 Ibnu Juzyi, At-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Arqam, 1996), 484.

5 Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 243.

6 Lihat: QS al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Ta’wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalam ath-Thayyib, 1998), 644.

7 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 775.

8 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 393.

9 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 540.

10 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 167.

11 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 65; Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 775; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 393; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Ta’wîl, vol.3, 644; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 256; Ibnu Juzyi, at-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2, 484.

12 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 167; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 393.

13 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 540.

14 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 65.

15 Ibnu Hajar al-Asqalani, Fat-h al-Barri,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*