PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono membuat langkah mengejutkan dengan memberikan grasi, pengurangan hukuman, kepada tiga warga negara asing yang menjadi terpidana di Indonesia. Salah satunya kepada terpidana kasus narkotik, Schapelle Corby, warga negara Australia.
Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi di Istana Merdeka, Jakarta, kemarin, membenarkan adanya grasi kepada tiga orang, termasuk Corby. “Ya, benar. Kira-kira Presiden menandatangani dua hari lalu dan sudah dikirim ke Pengadilan Negeri Denpasar,” tutur Mensesneg di Istana Merdeka, Jakarta, kemarin.
Sudi mengatakan Presiden memberikan grasi lima tahun kepada Corby setelah meminta masukan dari berbagai pihak, termasuk meminta pertimbangan dari Ketua Mahkamah Agung dan menteri-menteri terkait.
Pertimbangan lainnya, tukas Sudi, karena pemerintah Australia juga banyak memberikan pengampunan terhadap warga Indonesia yang melakukan kejahatan di ‘Negeri Kanguru’ tersebut. Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin berharap dengan pemberian grasi, pengurangan masa hukuman kepada Corby, pemerintah Australia juga melakukan hal serupa kepada warga Indonesia yang ditahan di Australia.
“Kami rasakan juga berbalas terhadap warga negara kita yang jumlahnya cukup banyak di Australia Utara, terutama sekali anak-anak yang jumlahnya cukup banyak,” ujar dia.
Corby telah mengajukan grasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010. Alasan Corby mengajukan grasi berdasar pada surat keterangan pemeriksaan psikiater Denny Thong pada 26 Mei 2009, yang isinya menyatakan Corby menderita depresi berat.
Atas grasi yang diajukan, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin belum lama ini telah mengusulkan pemberian keringanan hukuman lima tahun kepada Corby. Corby ditangkap pada 8 Oktober 2004 di Bandara Ngurah Rai karena terbukti menyelundupkan 4,1 kilogram mariyuana dari Australia ke Bali.
Di persidangan tingkat pertama di PN Denpasar pada 27 Mei 2005, Corby divonis 20 tahun penjara. Ia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar dan mendapat potongan hukuman lima tahun.
Masih kurang puas, Corby langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Di penghujung persidangan pada 12 Januari 2006, MA justru membatalkan putusan di tingkat banding, sekaligus menguatkan putusan di tingkat pertama.
Terakhir, Corby mengajukan peninjauan kembali (PK), yang juga berujung penolakan oleh MA.
Berbagai kalangan mengkritik keras pemberian grasi kepada Corby. Direktur Setara Institute Hendardi menilai kendati grasi merupakan wewenang presiden, pemberian kepada terpidana narkotik itu bisa menjadi preseden buruk. “Terpidana narkotik yang lain akan meminta hal yang sama,” ujar dia saat dihubungi, tadi malam.
Dalam pandangan Hendardi, pemberian grasi kepada Corby juga menunjukkan bahwa Yudhoyono tunduk terhadap pemerintah negara asing yang kuat. “Ia tunduk pada tekanan Australia.”
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Anti Narkotika (DPP Granat) Henry Yosodiningrat juga menegaskan pemberian grasi itu akan menjadi presiden buruk dalam pemberantasan narkotik. Hal itu juga bertentangan dengan pernyataan Presiden selama ini.
“Presiden menyatakan negara tidak pernah kalah dengan narkoba. Tapi kenyataannya kok demikian. Saya tidak mengerti, jangan-jangan pemerintah tidak mengerti persoalan narkotik di negeri ini. Pemberian grasi itu juga melukai rasa keadilan masyarakat,” ujar Henry dengan nada tinggi. (mediaindonesia.com, 23/5/2012)