[Al-Islam 608]Bendera dan panji telah jadi banyak dan beragam di negeri kaum muslim, khususnya pasca pergerakan rakyat menentang tiran-tiran zalim dan para penguasa di negeri kaum muslim … Maka sebagian mereka pun mengusung bendera “kemerdekaan” atau mempertahankan bendera lama, atau mengusung panjinya sendiri …
Diantara mereka ada yang husnu zhan dengan bendera ini dan itu dan menganggapnya tidak menyalahi syariah … Ada juga yang menyesatkan dan menakut-nakuti masyarakat dengan kemarahan dan terprovokasinya barat kafir jika diusung panji Islam…! Juga ada yang dengan sengaja mengerahkan tenaga mengusung bendera yang menyalahi syariah menyeru kepada negara sipil dan sekuler … dan yang lain-lainnya.
Sebagai penjelasan kepada mereka yang beranggapan bendera mereka tidak menyalahi syara’, dan jika mereka tahu itu menyimpang niscaya mereka tinggalkan dan mereka usung panji Islam … Dan untuk menghapus ilusi kematian mereka bahwa para pengemban kebenaran tidak perlu takut memprovokasi dan mematikan kaum kafir penjajah karena kemarahan mereka… Dan sebagai celaan terhadap orang-orang sekuler dan semisal mereka yang siang malam memerangi panji syariah. Untuk semua itu, kami jelaskan masalah ini.
] لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَى مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ [
agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). (QS al-Anfal [8]: 42)
Daulah Islamiyah “al-Khilafah” memiliki al-Liwâ’ dan ar-Râyah. Hal itu diistinbath dari apa yang ada di Daulah Islamiyah pertama yang didirikan oleh Rasulullah saw di Madinah al-Munawarah sebagai berikut:
1. Al-Liwâ’ dan ar-Râyah secara bahasa untuk menyebut semua al-‘alam (bendera). Di dalam al-Qâmûs al-Muhîth dinyatakan: “ar-Râyah adalah bendera (al-‘alam), bentuk jamaknya ar-râyât, dan al-Liwâ’ adalah bendera (al-‘alam), bentuk jamaknya alwiyah”. Lalu dari sisi penggunaan, syara’ memberi masing-masingnya makna syar’i:
Al-Liwâ’ berwarna putih, bertuliskan Lâ Ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh warna hitam. Al-Liwâ’ diberikan kepada panglima (amir) pasukan atau komandan pasukan dan menjadi pertanda posisinya. Al-Liwâ’ berpindah-pindah mengikuti posisi panglima atau komandan itu. Dalil pemberian al-Liwâ’ kepada amir pasukan:
« أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضٌ »
Nabi saw memasuki Mekah pada waktu Fathu Mekah dan liwâ’ beliau berwarna putih (HR Ibn Majah dari jalur Jabir)
Dan dari Anas ra. dalam riwayat an-Nasai:
« أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيْنَ أَمَّرَ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ عَلَى الْجَيْشِ لِيَغْزُو الرُّوْمَ عَقَدَ لِوَاءَهُ بِيَدِهِ »
Ketika Rasulullah saw mengangkat Usamah bin Zaid sebagai panglima (amir) pasukan untuk memerangi Romawi, Beliau ikatkan sendiri liwâ’-nya.
Ar-Râyah berwarna hitam, bertuliskan Lâ Ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh warna putih. Ar-Râyah ada bersama para komandan divisi pasukan (batalyon, kompi, dan unit lainnya). Dalilnya, bahwa Rasul saw. di mana beliau adalah amir pasukan di Khaybar, bersabda:
« لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلًا يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ… فأعطاها علياً رضي الله عنه»
Sungguh aku berikan ar-Râyah besok kepada seorang laki-laki yang melalui tangannya akan ditaklukkan (benteng), ia mencintai Allah dan Rasul-Nya dan Allah dan Rasul-Nya mencintainya … lalu Beliau memberikannya kepada Ali ra. (Muttafaq ‘alayh).
Jadi Ali kw. pada waktu itu bisa dianggap sebagai komandan divisi atau batalyon tentara. Demikian pula di dalam hadits al-Harits bin Hasan al-Bakri, ia berkata:
«قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ، “فَإِذَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَبِلاَلٌ قَائِمٌ بَيْنَ يَدَيْهِ مُتَقَلِّدٌ السَّيْفَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “، وَإِذَا رَايَاتٌ سُودٌ، وَسَأَلْتُ مَا هَذِهِ الرَّايَاتُ؟ فَقَالُوا: عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ قَدِمَ مِنْ غَزَاةٍ»
Kami tiba di Madinah, “Rasulullah saw sedang berada di atas mimbar dan Bilal berdiri di depan beliau sambil menggenggam pedang”. Dan banyak ar-Râyah berwarna hitam. Aku bertanya: “apa ini?” Mereka berkata: “Amru bin al-‘Ash datang dari peperangan”. (HR Ahmad)
Makna “faidzâ râyâtun sûdun yakni banyak ar-Râyah bersama batalyon, kompi dan unit tentara lainnya. Sementara amir pasukan itu adalah satu yaitu Amru bin al-‘Ash dan al-Liwâ’ bersamanya. Dengan begitu, al-Liwâ’ menjadi bendera amir pasukan, bukan yang lain. Dan ar-Râyah menjadi bendera-bendera bersama tentara.
2. Al-Liwâ’ diberikan kepada amir pasukan dan menjadi bendera di markasnya, yakni mengikuti markas amir pasukan. Sedangkan di medan perang, maka komandan peperangan, baik ia amir pasukan atau komandan lainnya yang ditunjuk oleh amir pasukan, maka kepadanya diberikan ar-Râyah yang dia bawa selama perang di medan perang. Karena itu disebut Umm al-Harb sebab dibawa bersama komandan peperangan di medan perang … Anas ra menuturkan, Rasulullah saw menyampaikan berita gugurnya Zaid, Ja’far dan Ibn Rawahah kepada masyarakat sebelum berita itu sampai kepada mereka:
«أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أَخَذَ جَعْفَرٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أَخَذَ اِبْنُ رَوَاحَةٍ فَأُصِيْبَ»
Zaid mengambil ar-Râyah lalu ia gugur, kemudian Ja’far mengambil (ar-Râyah) lalu ia gugur, kemudian Ibn Rawahah mengambil (ar-Râyah) lalu ia gugur (HR al-Bukhari)
Demikian juga dalam kondisi perang dengan musuh sedang berlangsung, jika komandan pasukan ada di medan perang dan dia Khalifah itu sendiri, maka al-Liwâ’ boleh dikibarkan di medan perang, dan bukan hanya ar-Râyah saja. Di dalam Sirah Ibn Hisyam tentang perang Badar al-Kubra dikatakan bahwa al-Liwâ dan ar-Râyah ada di medan perang… Adapun pada kondisi damai, atau setelah perang selesai, maka ar-Râyah ada tersebar di tengah pasukan dikibarkan oleh divisi, batalyon, kompi dan unit-unit tentara … seperti yang dinyatakan di dalam hadist al-Harits bin Hasan al-Bakri tentang pasukan Amru bin al-‘Ash.
3. Al-Liwâ’ diikatkan dan dililitkan di ujung tombak, diberikan kepada komandan resimen (al-jaysy) sesuai jumlah resimen. Jadi diberikan kepada komandan resimen pertama, kedua, ketiga … atau kepada komandan resimen Syam, Irak, Palestina … atau kepada komandan resimen Himsh, Aleppo, Beirut … begitulah sesuai penamaan resimen. Hukum asalnya al-Liwâ’ itu dililitkan pada ujung tombak dan tidak dikibarkan kecuali karena keperluan. Misalnya di atas Dar al-Khilafah, al-Liwâ’ dikibarkan karena urgensi Dar al-Khilafah itu disebabkan Khalifah adalah panglima militer di dalam Islam. Al-Liwâ’ juga dikibarkan di atas markas para komandan resimen pada kondisi damai agar umat melihat keagungan al-Liwâ’ militernya. Akan tetapi keperluan ini jika bertentangan dengan aspek keamanan seperti dikhawatirkan musuh akan mengetahui markas-markas para komandan tentara, maka al-Liwâ’ dikembalikan ke hukum asalnya yaitu tidak dikibarkan dan tetap dililitkan.
Sedangkan ar-Râyah maka dibiarkan berkibar ditiup angin seperti bendera sekarang. Karena itu, ar-Râyah diletakkan di atas berbagai direktorat dan instansi negara serta direktorat keamanan. Hanya ar-Râyah saja yang dikibarkan di atas berbagai direktorat dan instansi itu, kecuali Dar al-Khilafah. Di Dar al-Khilafah al-Liwâ’ dikibarkan mengingat Khalifah adalah panglima militer. Di situ bersama al-Liwâ juga dikibarkan ar-Râyah (administratif) sebab Dar al-Khilafah adalah pusat instansi negara. Begitu juga berbagai instansi swasta dan masyarakat umum mengusung ar-Râyah dan mereka kibarkan di atas instansi dan rumah-rumah mereka, khususnya pada berbagai peringatan hari raya, saat meraih kemenangan dan sebagainya.
Wahai Kaum Muslim: di dalam pergerakan Anda, maka Anda wajib mengusung ar-Râyah ini tanpa takut di jalan Allah kepada cacian para pencaci, dan tidak terpengaruh dengan klaim-klaim yang disebarkan oleh para penyesat bahwa ar-Râyah ini menjadi simbol kepada Khilafah dan bahwa ini memicu kemarahan barat kafir! Maka hendaknya Anda provokasi mereka dan Anda patahkan punggung mereka. Perang mereka terhadap Islam dan kaum Muslim telah sampai pada tingkat memicu kemarahan setiap muslim yang benar dan mukhlis … Sesungguhnya hukum asalnya adalah kita matikan kaum kafir penjajah karena kemarahan mereka dan bukannya kita terima kemarahan mereka kepada kita, apalagi menerima permusuhan dan serangan mereka terhadap kita, kemudian kita takut memprovokasi mereka! Tetapi yang benar adalah kita balas mereka berlipat ganda dan kita katakan kepada mereka dengan keras :
] قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ [
Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. (QS Ali Imran [3]: 119)
Kita paham bahwa kafir penjajah tak kuasa mendengar kata al-Khilafah. Lalu bagaimana jika Khilafah mengetuk pintu mereka dengan penuh kemuliaan pada hari yang tak lama lagi datang, dari arah yang tak mereka sangka-sangka, atas izin Allah seperti dahulu terjadi pada kelompok-kelompok mereka:
] وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ [
dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. (QS al-Hasyr [59]: 2)
24 Jumadul Akhir 1433 H/15 Mei 2012 M
Hizbut Tahrir
Komentar:
Perjalanan reformasi sejak 1998 dinilai melenceng karena terlalu memberi tempat pada kekuatan-kekuatan lama yang korup dan otoriter. Bercokolnya kekuatan lama itu membuat reformasi pun dibajak (kompas, 22/5).
- Wajar saja, sebab ibaratnya, mobilnya mesinnya tetap bobrok, hanya didempul dan dicat lagi, sementara sopir dan kernetnya juga tetap atau didikan sopir lama.
- Kami sudah prediksi sejak awal hal itu akan terjadi. Sebab reformasi yang ada hanya menumbangkan presiden. Reformasi tidak didukung konsepsi perubahan dan desain sistem ideologis yang akan dibangun.
- Perubahan hakiki harus berupa perubahan sistem secara ideologis menjadi sistem Islam dalam bingkai al-Khilafah. Hanya dengan itu cita-cita masyarakat bisa diwujudkan.