Tolak Toleransi untuk Corby
Oleh Anjar Rositawati
(Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir)
Nama Schapelle Corby (34) pernah menghebohkan Tanah Air karena kedapatan membawa mariyuana atau ganja dari negeri asalnya, Australia, sebanyak 4 kg. Ia ditangkap di Bandara Internasional Ngurah Rai Bali pada 8 Oktober 2004 lalu. Pengadilan Negeri Denpasar memvonis 20 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp 100 juta subsider enam bulan.
Entah ada angin apa, tiba-tiba Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, memberikan grasi berupa pengurangan hukuman selama lima tahun untuk ratu mariyuana ini. Usut punya usut, usulan grasi ini muncul dari Kementrian Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin. Pertimbangannya, ada perlakuan timbal balik terhadap warga negara Indonesia yang sedang ditahan di rumah-rumah tahanan atau penjara Australia (detikNews, 24/04/2012).
Namun, pengurangan hukuman ini terasa istimewa. Apalagi lamanya mencapai lima tahun, grasi terbanyak yang belum pernah diberikan kepada warga negara Indonesia sekalipun. “Ini malah diberikan kepada ratu mariyuana dari negeri asing,” kata Pramono Anung, wakil ketua DPR RI (Metrotvnews.com, 23/05/2012). Lantas ada apa di balik grasi ini?
Ditekan Australia?
Ada beberapa pertimbangan kenapa grasi diberikan kepada Corby. Menteri Sekretaris Negara, Sudi Silalahi mengatakan, grasi merupakan sistem hukum yang sah di Indonesia. Kedua, Corby ‘hanya’ membawa ganja, bukan jenis narkoba lain seperti heroin dan ekstasi. Jumlahnya pun tidak sampai puluhan kilo atau ratusan kilo seperti yang biasa ditangkap polisi yang bisa sampai ton-tonan. “Jadi, beberapa kilo ganja diganjar puluhan tahun, sementara di negara tertentu tidak terjadi kriminalisasi terhadap ganja,” terangnya (detiknews, 22/05/2012).
Wakil Ketua Komisi III DPR, Nasir Djamil menyarankan presiden untuk meninjau kembali grasi untuk Corby. “Bukan semata-mata karena kemanusiaan dan agar pemerintah Australia akan melakukan hal yang sama terhadap para nelayan Indonesia yang divonis pengadilan Australia akibat kasus traficking,” terangnya (tribunnews.com, 26/04/2012).
Banyak yang menduga, ada deal-deal politik antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia terkait grasi Corby. Seperti diketahui, pemerintah Australia tidak pernah diam bila ada warganya yang terlibat konflik atau sedang mendapat konflik di negara lain. Termasuk kasus Corby.
Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional menengarai, ada tekanan dari pemerintah Australia terhadap Presiden SBY. “Presiden SBY tidak boleh terlihat lemah di mata publik Indonesia setelah mengabulkan grasi 5 tahun kepada Schapelle Corby. Ini mengingat publik Indonesia tahu bahwa Australia sudah menekan pemerintah Indonesia sejak lama untuk mengupayakan perlindungan bagi Corby,” (detikcom, Selasa 22/05/2012)
Pemerintah seharusnya bersikap lebih hati-hati dalam memberikan grasi kepada para penjahat narkoba. Mengingat, kasus peredaran narkoba bukanlah perkara biasa, melainkan perkara yang harus diberikan hukuman berat karena mengancam kehidupan manusia umumnya, dan kehidupan generasi muda khususnya.
Sebagai pelaku narkoba Corby pantas mendapatkan hukuman yang berat, tetapi malah diberikan keringanan. Grasi untuk Corby akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Terlebih lagi ia adalah warga asing, Australia. Padahal banyak warga asing lainnya yang mengalami hal serupa tapi tidak mendapatkan grasi tersebut. Demikian pula, warga Indonesia banyak yang tersandung kasus narkoba. Apa jadinya jika para pengedar narkoba rame-rame menuntut keringanan hukuman?
Merusak Generasi
Semua sepakat, narkoba adalah barang memabukkan walaupun bukanlah minuman keras. Sifatnya yang bisa membuat si pemakai tidak sadar diri, menutupi akal sehingga tidak menyadari semua perbuatan yang dilakukannya. Karena sifatnya itulah narkoba termasuk ke dalam khamr. Seperti yang ditegaskan oleh Rasulullah saw, bahwa “Setiap zat yang memabukkan itu khamr, dan setiap zat yang memabukkan itu haram” (HR.Bukhari dan Muslim).
Pada hadist lain juga disebutkan bahwa “Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram” (HR. Ahmad dan Abu Daud). Dari penjelasan hadist ini dapat dipahami bahwa khamr dan narkoba adalah zat yang memabukkan, banyak maupun sedikit. Islam tidak hanya melarang dalam pengkonsumsiannya saja, tetapi juga yang berkaitan dengan pengadaan dan pihak yang mengadakannya.
Dalam hadist Rasulullah saw dijelaskan ada 10 golongan yang dilaknat terkait dengan khamr, yaitu orang yang (1) memeras/pembuat, (2) minta diperaskan, (3) meminum/mengkonsumsi, (4) membawakan, (5) minta dibawakan, (6) memberi minum dengannya, (7) menjual, (8) makan hasil penjualannya, (9) membeli, (10) yang dibelikan (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Di dalam Islam hukuman bagi pelaku jarimah (kejahatan) sangat jelas.
Seseorang yang meminum minuman keras atau khamr dan yang berkaitan dengannya termasuk ke dalam kategori jarimah juga. Pada masa keKhailfahan Umar bin Abdul Aziz, seseorang yang melakukan kejahatan dengan meminum khamr dikenakan hukuman 40 sampai 80 kali cambuk. Lalu bagaimana hukuman untuk pengguna atau pengedar narkoba yang jelas sekali hukumnya seperti khamr, bahkan sejatinya lebih berbahaya dan merusak dari khamr? Jangankan dihukum dera atau cambuk sebanyak 80 kali, dikenakan hukuman penjara saja masih dikurangi pula. Inilah hukum yang bukan berasal dari Allah SWT, sebagai Sang Khaliq tentu Allah yang lebih mengetahui seperti apa dan bagaimana manusia itu. Bila kita mau kembali memakai hukum-hukum Allah dalam segala lini kehidupan, termasuk dalam bermasyarakat dan bernegara, tentu keadilan dan ketentraman yang akan dirasakan.
Bukan seperti hukum yang diterapkan saat ini, yakni hukum buatan manusia, yang selalu berubah-ubah disesuaikan dengan kepentingan dan kemaslahatan dirinya. Hukum yang seharusnya membuat pelaku kejahatan kapok dan insyaf, malah dibuat ringan dan enak. Karena itu, tolak toleransi untuk Corby!(*)