Upaya untuk mendiskreditkan umat Islam di tanah air terus bergulir. Kali ini di ruang Dewan HAM PBB beberapa anggota Dewan HAM PBB dalam Sidang Universal Periodical Review (UPR) 2nd Cycle di Jenewa 23 Mei 2012 menyoroti intoleransi kebebasan beragama di Indonesia. Bahkan, rekomendasi kepada Indonesia untuk mencabut SKB 4 Menteri terkait Ahmadiyah dan kasus GKI Yasmin.
Realita ini kian menunjukkan bahwa tidak ada satupun negeri yang umatnya menduduki posisi mayoritas tetapi selalu didikte secara politis selain umat Islam di Indonesia. Kelompok minoritas, khususnya umat Kristiani dibantu oleh berbagai LSM liberal dan media massa sekuler selalu memainkan isu toleransi antarumat beragama untuk mendudukkan umat muslim yang mayoritas di kursi tertuduh.
Modus yang lazim digunakan oleh umat Kristiani dalam persoalan konflik antar umat beragama adalah persoalan izin pendirian rumah ibadah. Dengan licik, mereka memainkan opini sebagai kelompok minoritas yang tertindas. Dibantu oleh jaringan LSM liberal dan media massa sekuler, kasus ini di-blow up untuk mengundang simpati dari berbagai lapisan masyarakat hingga dunia internasional.
Modus ini digunakan untuk mewujudkan dua ambisi mereka; pertama, menggugat Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang mengatur pendirian rumah ibadah. Sudah sejak lama kalangan gereja keberatan dengan surat keputusan bersama yang mereka anggap menghambat misi penyebaran Kristen di tengah-tengah masyarakat. Seperti dinyatakan JE Sahetapy, seorang tokoh Kristen dari PDIP yang menyatakan, “…sejak tahun 1969 umat Kristiani telah diviktimisasi (dijadikan korban), antara lain melalui SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1969, dan yang kemudian dilanjutkan dengan berbagai surat instruksi dan surat radiogram, yang pada intinya, bagaimana mendiskreditkan dan memojokkan kehidupan beragama/bergereja umat Kristiani.”[i]
Kedua, modus ini bila berhasil, akan memudahkan mereka dalam mendirikan gereja dimanapun dan selanjutnya memuluskan upaya penyebaran misi zending mereka kepada siapa saja termasuk kepada umat Islam. Karena spirit mereka untuk melakukan penyebaran agama Kristen memang sudah menjadi tugas yang mutlak harus dilakukan.
Di masa Orde Baru pernah terjadi, ada upaya mencari “titik-temu” atau Gentlemen’s Agreement antara Islam-Kristen melalui Musyawarah antar-umat Beragama pada 30 November 1967. Namun, musyawarah itu gagal, karena pihak Kristen menolak sebuah klausul: “… dan tidak menjadikan umat yang beragama sebagai sasaran penyebaran agama masing-masing.” Anak kalimat itu dianggap bertentangan dengan perintah Injil: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada seluruh makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.” (Markus 16:15-16).
Memasuki tahun 2012 misalnya, umat Kristiani terus menggunakan sengketa pendirian gereja oleh GKI di komplek Yasmin Bogor yang telah berjalan 3 tahun untuk mendikte umat Islam. Meski terbukti melakukan penipuan terhadap sejumlah warga, pemalsuan tanda tangan warga dan ditolak oleh semua warga muslim sekitar gereja, akan tetapi pihak GKI Yasmin terus memprovokasi masyarakat bahwa mereka mengalami penindasan dan pemasungan beragama.
Niat untuk terus mempolitisasi kasus ini terlihat ketika mereka menolak ruislag lahan oleh pihak Pemkot Bogor. Politik kotor mereka semakin di atas angin karena dibantu oleh media massa sekuler yang terus memberitakan secara sepihak konflik GKI Yasmin.
Ironinya, sejumlah politisi muslim dan tokoh Islam berhaluan liberal juga turut memperkeruh suasana dan ikut-ikutan melawan keinginan warga muslim di Yasmin. Pada tahun 2011 Pengurus Pusat Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI) Dipo juga ikut melaporkan dan menyatakan keprihatinan mereka atas pelarangan pendirian GKI Yasmin kepada Vatikan.
Pendirian gereja bukan satu-satunya isu yang kerap dipakai kalangan liberal dan Kristen untuk memojokkan umat Islam. Sikap umat Islam terhadap ajaran sesat seperti Ahmadiyah juga mereka jadikan menjadi komoditas politik kotor hingga ke tingkat internasional. Seperti dinyatakan oleh Marty Natalegawa, dunia internasional telah menyorot Indonesia dalam kasus pelanggaran kebebasan beragama. “Kami sampaikan dalam konteks yang tepat. Jangan sampai aksi dan ulah sekelompok orang mendefinisikan keseluruhan Indonesia tidak toleran,” kata Marty di kantornya (Tempo.co, 21/5).
Isu Ahmadiyah dan sengketa gereja bukan saja dijadikan amunisi untuk mengusung liberalisme agama dan toleransi umat beragama, tapi juga dijadikan alat oleh kelompok ini untuk proyek deradikalisasi agama. Mereka menekan pemerintah untuk menindak tegas kalangan yang dianggap merusak kerukunan umat beragama, selain menggunakan isu terorisme.
Pada bulan Juni, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) kembali mengungkit kasus pelanggaran toleransi umat beragama. Pihak Elsam menyalahkan pemerintah yang mereka nilai kurang tegas dalam melindungi hak konstitusional warganya. “Pemerintah seharusnya memberi arahan tegas terhadap aparat penegak hukum untuk berbuat adil dalam menjalankan tugasnya dan tanpa terpengaruh kelompok tertentu,” ucapnya (Tempo.co, 3/6).
Maka di awal Juni tahun ini, Presiden SBY mengundang sejumlah tokoh lintas agama untuk membahas kerukunan umat beragama dalam bingkai Pancasila.
Penyesatan Opini dan Serangan Politik
Permainan opini toleransi beragama oleh kelompok liberal dan Kristen adalah sesuatu yang berbahaya. Pertama, selain rendahnya pemahaman umat akan syariat Islam dalam hal toleransi umat beragama, kesadaran politik umat hari ini amat rendah. Umumnya umat tidak paham bahwa isu kerukunan umat beragama telah menjadi permainan culas kaum liberal dan Kristen. Wajar karena umat hari ini masih berada di titik terendah kesadaran politik Islam.
Banyak di antara mereka masih terbuai istilah ‘kerukunan umat beragama’ tanpa mereka menyadari realitasnya. Bak seekor katak yang berada di dalam panci yang dipanaskan bertahap yang tanpa disadarinya mematikannya secara pelan-pelan. Umat tidak sadar bahwa akidah mereka akan tergerus melalui slogan ‘kerukunan umat beragama’.
Begitupula frase ‘tirani mayoritas‘ adalah istilah kosong yang tidak berpijak dari kenyataan. Menarik pernyataan mantan ketua PBNU Hasyim Muzadi soal toleransi umat beragama. Dia mengatakan, “Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara Muslim manapun yang setoleran Indonesia…Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri, pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam. Kalau yang jadi ukuran adalah GKI Yasmin Bogor, saya berkali-kali ke sana, namun tampaknya mereka tidak ingin selesai. Pengurus gereja itu lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan lain dari pada masalahnya selesai. ”
Dia juga mengatakan kalau ukurannya pendirian gereja maka faktornya adalah lingkungan. Di Jawa pendirian gereja sulit, tapi di Kupang (Batuplat) pendirian masjid juga sangat sulit dan belum lagi pendirian masjid di Papua.
Pernyataan Hasyim ada benarnya meski harus lebih dipertajam, bahwa umat Islam sebagai mayoritas justru yang paling banyak mengalami keterpasungan beragama di negerinya sendiri. Misalnya, saat umat Hindu bebas menjalankan Hari Raya Nyepi di candi Prambanan di pulau Jawa yang berada di tengah-tengah umat Islam, tapi umat Islam di Pulau Bali dilarang mengumandangkan azan saat perayaan Nyepi.
Ketua MUI Pusat, Amidhan menyebutkan bagi umat Islam di Bali, Sulawesi Utara, NTT dan Papua tidak mudah mendirikan mesjid. Di Bali bahkan pemda setempat mensyaratkan jumlah 100 orang untuk mendirikan rumah ibadah (vivanews.com, 21/9/2010). Dan umat muslim di sana pun terpaksa menerima peraturan tersebut tanpa melakukan provokasi.
Begitu pula sejumlah perkantoran dan sekolah umum justru memaksakan tatacara peribadatan mereka kepada para pekerja dan siswa mereka yang muslim. STM Grafika Jagakarsa, Jakarta Selatan, misalnya memaksa semua siswa yang muslim untuk berdoa dengan tatacara Kristiani.
Sementara itu di pusat-pusat pertokoan menjelang dan saat perayaan Natal, kita sering menjumpai banyak karyawan mall yang dipaksa oleh pihak manajemen yang rata-rata diduduki non-muslim untuk mengenakan busana ala sinterklas. Padahal saat perayaan Idul Fitri tidak ada paksaan bagi karyawan atau karyawati yang non-muslim untuk mengenakan busana muslim/muslimah.
Beberapa perusahaan bahkan bertindak lebih jauh dengan melarang karyawan mereka yang muslim melaksanakan shalat Jumat, seperti Toko Sony di Pekanbaru, Riau, terang-terangan memberlakukan larangan tersebut.
Pada tahun 2009, sejumlah karyawati berjilbab dilarang bekerja di Rumah Sakit Mitra Internasional (RSMI) Jatinegara, Jakarta Timur. Sebelumnya Rumah Sakit Mitra Bekasi juga memberlakukan larangan berjilbab bagi karyawatinya.
Jadi siapa sebenarnya yang mengalami penindasan? Umat yang minoritas, khususnya umat Kristiani, ataukah umat Islam yang mayoritas? Siapa yang melanggar HAM? Umat Islam ataukah kaum minoritas? Kasus kerusuhan 1998 dan konflik Timor Timur hingga sekarang terus menerus diangkat oleh media massa sebagai pelanggaran HAM serius terhadap warga minoritas.
Berbeda dengan kasus Tanjung Priok yang menewaskan ratusan muslim akibat tindakan represif aparat keamanan tidak pernah lagi dipersoalkan. Demikian pula kasus Talangsari di Lampung yang menewaskan ratusan warga tidak pernah diangkat sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Atau serangan bersenjata oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka) terhadap aparat keamanan TNI dan Polri juga terhadap warga sipil tidak pernah dianggap sebagai serangan teroris maupun pelanggaran HAM. Dunia internasional termasuk Dewan HAM PBB pun tidak pernah mempersoalkan hal-hal tersebut, semata karena korbannya warga mayoritas muslim.
Ke mana juga suara Dewan HAM PBB saat muslimah di beberapa negara di Eropa seperti Prancis dilarang mengenakan busana muslimah? Atau saat Swiss melarang pembangunan menara mesjid? Mengapa mereka bungkam? Atau ketika rakyat Afghanistan, Irak, Pakistan menjadi korban kebiadaban tentara asing, mengapa tidak dipersoalkan?
Benar, isu umat Islam di tanah air intoleran adalah permainan politik kotor kaum liberal dan umat Kristen untuk terus menyerang kaum muslimin agar mereka terperangkap pada sikap inklusif dan tidak lagi menjaga akidah Islam mereka. Lalu mereka menerima ajaran sesat pluralisme bahkan membiarkan proses pemurtadan terus berlangsung. Mahabenar Allah dengan segala firmanNya yang telah mengingatkan kita semua:
] وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ[
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (TQS. al-Baqarah [2]: 120)
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Iwan Januar, LS – HTI]
[i] Adian Husaini, Hendak Kemana (Islam) Indonesia? (2), Media Wacana Surabaya 2005
Ass. Sedih aku mendengarnya, makanya umat Islam harus bersatu dan punya media dan menguasai media