Dr. Fahmi Amhar
Berapakah angka kelulusan Ujian Nasional (UN) di daerah Anda? Di atas 90 persen? Percayakah Anda bahwa semuanya didapat dengan kejujuran? Prof Dr Ir Indra Djati Sidi, mantan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah pernah di suatu acara di Direktorat Pembinaan SMP tahun 2009 menyampaikan bahwa indeks objektivitas UN SMA bidang Matematika IPA hanya 0,383 (dari maksimum 1), sedang untuk Bahasa Inggris cuma 0,411. Jadi meski angka lulus nasional waktu itu mencapai 93,5 persen, dan dengan rerata nilai 7,31, tetapi sudah rahasia umum, bahwa itu hasil bohong-bohongan, yang sayangnya dilakukan sistemik oleh pemerintah daerah, dinas pendidikan setempat dan para guru! Hasilnya adalah “lulusan dodol”, hasil didikan “guru dodol” yang diurus oleh “penguasa dodol”.
Semula, UN diadakan untuk memetakan kualitas sekolah. Sekolah yang hasil UN-nya masih rendah, perlu lebih diperhatikan kelengkapan sarananya, mungkin gurunya perlu diberikan diklat penyegaran, bahkan ekonomi orang tua siswa perlu ditingkatkan. Namun ketika UN dijadikan alat ukur kelulusan siswa dan alat ukur keberhasilan daerah, maka penguasa daerah menghalalkan segala cara agar daerahnya tampak kinclong, minimal pada nilai UN.
Padahal sekalipun UN didapatkan dengan jujur dan bermartabat, tetap saja UN baru mengukur sedikit dari kompetensi anak didik. Terlalu banyak hal yang masih belum terukur dengan UN, misalnya kreativitas, integritas, kemampuan menaklukkan tantangan dan sebagainya.
Jika pendidikan terus dengan sistem yang membiarkan terjadinya “kedodolan” ini, maka tak perlu heran bahwa 25 tahun mendatang, boleh jadi tingkat butu huruf sekunder di Indonesia mencapai 30-40 persen. Seperti apa negara seperti itu? Seperti Eropa!
Eropa abad 9 – 12 M memiliki tingkat buta huruf 95 persen! Bahkan Kaisar Karl dari Aachen di usia tuanya konon masih berusaha mempelajari “ketrampilan yang sulit dan langka” itu! Di biara-biara hanya sedikit pendeta yang mampu membaca. Di biara St Gallen Swiss pada 1291 bahkan tak ada seorangpun dapat membaca dan menulis. Pada saat yang sama, jutaan anak-anak di desa dan kota Daulah Khilafah duduk di atas karpet dan mengeja huruf-huruf Alquran, menulisnya, hingga menghafal surat-surat itu, lalu memulai mempelajari dasar-dasar gramatika bahasa Arab (nahwu dan sharaf).
Keinginan seorang Muslim untuk menjadi Muslim yang baik, adalah awal semua ini. Karena setiap Muslim mesti mampu membaca Alquran. Di sinilah jurang antara Timur dan Barat. Untuk kitab suci Nasrani, hanya pendeta yang memiliki akses, membaca dan mengerti bahasa kitab suci. Namun sejak 800 M, para pengkhutbah dalam bahasa Latin sudah susah dimengerti orang kebanyakan, sampai-sampai sinode gereja memerintahkan menggunakan idiom awam, karena yang menikmati sekolah (berbahasa Latin) hanya selapis tipis rohaniwan.
Ini berbeda dengan Daulah Khilafah yang sangat berkepentingan agar rakyatnya cerdas. Pendidikan benar-benar menjadi urusannya. Anak-anak semua kelas sosial mengunjungi pendidikan dasar, dengan biaya yang terjangkau semua orang. Karena negara membayar para gurunya, orang-orang miskin mendapat tempat cuma-cuma. Di banyak tempat malah sekolah sama sekali gratis, misalnya di Spanyol. Selain 80 sekolah umum Cordoba yang didirikan al-Hakam-II pada 965 M, masih ada 27 sekolah khusus untuk anak-anak miskin. Di Kairo, al-Mansur Qalawun mendirikan sekolah untuk anak yatim, dan menganggarkan setiap hari ransum makanan yang cukup dan satu stel baju untuk musim dingin dan satu stel baju untuk musim panas. Bahkan untuk orang-orang Badui yang berpindah-pindah, dikirim guru yang juga siap berpindah-pindah mengikuti tempat tinggal muridnya. Tak ada lagi celah dalam jejaring sekolah seperti ini.
Namun pendidikan di Daulah Khilafah tidak terbatas pada pendidikan dasar. Para mahasiswa tinggal di kamar-kamar lantai atas gedung kampus. Mereka juga mendapat makanan lengkap cuma-cuma, bahkan uang saku. Di bawah tanah terdapat dapur, gudang dan tempat mandi. Di lantai dasar ada ruang-ruang belajar dan perpustakaan. Di situlah dipelajari Alquran, hadits, bahasa Arab, sejarah, sosiologi, geografi, logika, matematika dan astronomi. Melalui pertanyaan dan debat, mahasiswa dilibatkan dalam proses pembelajaran. Para mahasiswa tingkat lanjut dan alumni membantu mereka belajar. Mereka seperti “lebah yang sedang meracik madu ilmu dari ribuan bunga pengetahuan”, tulis Sigrid Hunke, sejarawan Jerman dalam Allah Sonne ueber dem Abendland.
Sebagian petani dari desa menitipkan anak mereka ke seorang guru di kota, bersama uang atau hasil bumi untuk biaya hidupnya. Mereka berharap anaknya akan tumbuh menjadi seorang faqih yang kelak diterima sebagai qadhi atau bahkan syukur-syukur menjadi mujtahid Khalifah. Anak-anak titipan ini akan menjadi “ajudan” dari sang guru. Sebagai balas jasa, sang guru akan merawatnya jika si anak sakit, bahkan siap menjual keledai satu-satunya jika dia perlu membeli obat.
Namun jalan umum untuk belajar adalah di masjid-masjid. Siapa saja boleh datang dan pergi, laki ataupun perempuan. Dan siapa saja boleh menginterupsi para guru untuk bertanya atau membantah. Ini memaksa para guru untuk mempersiapkan materinya dengan seksama. Sebenarnya, siapapun yang merasa mampu boleh mengajar. Namun audiennya yang selalu siap mengkritik, mencegah orang-orang yang belum matang atau baru setengah matang dalam ilmu untuk memimpin kalimat.
Di masjid-masjid juga biasa didengarkan kalimat dari para ulama yang sedang dalam perjalanan yang singgah di kota itu, terutama ketika musim haji. Dengan demikian para mahasiswa selalu mendapatkan masukan. Bahkan juga cepat tahu bila ada karya yang “dicuri” mentah-mentah (plagiarisme). Untuk mengungkap karya orang lain, sanad atau rawi wajib disebutkan. Dan untuk itu perlu ada ijazah (lisensi) tertulis dari gurunya, bahwa dia layak untuk menjadi sanad dari pengetahuan tersebut. Inilah mengapa gelar sarjana di timur tengah adalah Lc. dari kata Licentiate – berlisensi untuk menyampaikan.
Dunia Islam memberi inspirasi seluruh manusia untuk belajar, karena belajar adalah satu-satunya jalan untuk mengenal Tuhan dan mendapatkan hikmah kehidupan.