Chiang Mai, Thailand – Massa yang membunuh sekelompok Muslim yang sedang naik bus melalui bagian barat Myanmar pada tanggal 3 Juni menunjukkan kebejatan yang menjadi ciri khas negara militer itu. Berita melaporkan bahwa yang melatarbelakangi insiden tersebut diduga merupakan tanggapan terhadap pemerkosaan oleh sekelompok geng dan pembunuhan atas seorang gadis Buddha oleh tiga pria Muslim beberapa hari sebelumnya, dan hal ini melukiskan bahwa sepuluh korban pengeroyokan kemudian dikencingi sebelum bus yang ditumpangi mereka dibakar.
Hal yang sama mengejutkan adalah komentar yang beredar di internet setelah pembantaian itu. “Membunuh Kalars adalah baik!” kata seseorang, dengan menggunakan ejekan merendahkan yang telah menjadi cara populer dan biasa untuk menyebut kaum Muslim keturunan Asia Selatan. Walaupun jika orang yang dituduh memperkosa sudah ditangkap tidak banyak artinya.
Serangan itu adalah insiden yang jarang terjadi, namun reaksi yang ada menunjukkan betapa tingginya tingkat kebencian masyarakat terhadap kehadiran Muslim di Myanmar pada skala yang lebih luas. Sikap permusuhan ini juga dianut oleh tokoh-tokoh senior pemerintahan – yang merupakan perwakilan Myamnar di PBB, Ye Myint Aung, yang pernah menggambarkan Rohingya, minoritas muslim di negara bagian Arakan yang menjadi sasaran perlakuan kejam, sebagai ” raksasa yang jelek”, sedangkan sejak 1982 pemerintah telah menghalangi mereka untuk mendapatkan kewarganegaraan, dan mengklaim mereka sebagai “imigran Bengali yang ilegal “. Penganiayaan dan perendahan martabat terhadap kelompok itu telah begitu berlarut-larut sehingga Medicins San Frontieres menggambarkan mereka sebagai salah satu kelompok minoritas dunia “yang paling terancam punah”.
Sementara banyak kelompok etnis Myanmar semuanya telah mengalami perlakuan mengerikan di tangan pemerintah militer, yang telah berusaha untuk membawa negara itu “di bawah satu bendera”, ketakutan terhadap umat Islam adalah hal yang istimewa. Di situs jurnal The Voice, yang mengeluarkan permintaan maaf setelah dibombardir dengan ancaman setelah melaporkan liputannya atas pembantaian itu, seorang pengunjung menulis: “Kita harus membunuh semua Kalars di Burma atau mengusir mereka karena jika tidak maka Buddhisme akan tidak ada lagi”.
“Orang lain”
Perlakuan terhadap Muslim yang dianggap sebagai ‘orang lain’ tetap ada meskipun ada dorongan negara untuk merangkul dunia luar dan segala sesuatu yang ditawarkan. Ada sesuatu yang kontradiksi ketika keinginan penduduk untuk menjadi pemain global, yang akan melihatnya lebih berinteraksi dengan non-Myanmar, dan etnis non-Buddha. Di Negara Bagian Arakan, di mana ketegangan antara umat Buddha dan umat Muslim sering berubah menjadi kekerasan, kemunafikan juga tampak jelas dalam upaya oleh rakyat Arakan untuk mendorong opini publik melawan Rohingya atas nama “nasionalisme”. Mereka adalah orang Arakan yang sama yang, ironisnya, menuduh pemerintah berusaha secara agresif mengasimilasi rakyat Arakan kedalam kehidupan cara Burma.
Itulah perlakuan atas sekitar 300.000 orang Rohingya yang hingga sekarang tinggal di Bangladesh, yang pada gilirannya melihat mereka sebagai imigran gelap dari Myanmar dan juga menyangkal kewarganegaraan mereka. Mereka adalah lambang kaum yang tidak memiliki kewarga negaraan, dan menghabiskan hidup mereka di kamp-kamp tidak resmi di mana kondisi mereka terkenal sangat miskin (hanya 28.000 orang yang terdaftar oleh PBB). Ketidakpuasan mereka telah menjadikan mereka matang bagi kelompok-kelompok militan Islam dan pelaku perdagangan manusia. Banyak dari mereka yang berusaha melakukan perjalanan laut berbahaya dari Bangladesh ke Malaysia dan di luar wilayah itu untuk mencari pekerjaan – pada Desember tahun lalu, sebuah kapal bermuatan lebih dari 60 orang yang kesulitan di lepas pantai selatan Myanmar ditahan oleh polisi Myanmar, ironisnya atas tuduhan imigrasi.
Tuduhan bahwa pemerintah telah berupaya untuk memperlemah, atau “Menjadikan Mereka Orang Burma”, atas 135 kelompok etnis Myanmar yang berbeda telah terjadi selama beberapa dekade, dan praktek nyata atas dilembagakannya pemerkosaan perempuan suatu etnis oleh oleh pasukan Myanmar, maupun pemaksaan pembelajaran bahasa Myanmar di sekolah-sekolah etnis.
Dalam bagian utara negara bagian Arakan, di mana mayoritas Rohingya tinggal, dan di mana orang-orang asing dilarang masuk, praktek semacam ini resmi dilakukan: kebijakan pemerintah menetapkan bahwa bayi-bayi Rohingya yang lahir di luar nikah ditempatkan pada daftar hitam yang melarang mereka untuk masuk sekolah dan menikah. Seorang pasangan Rohingya harus membuat permohonan terlebih dulu sebelum mencoba untuk menikah; seringkali adanya penolakan oleh pemerintah, serta kebijakan yang ketat untuk memiliki hanya dua anak hanya diperuntukkan bagi Rohingya, telah menyebabkan kelompok-kelompok HAM menuduh pemerintah mencoba untuk secara perlahan-lahan memusnahkan penduduk ini.
Rasisme atau diskriminasi agama?
Naypyidaw menggunakan premis “manajemen migrasi ilegal” dan “kontrol pertumbuhan penduduk” untuk membenarkan penganiayaan terhadap kelompok ini. Namun, penyebutan “imigran” tidak sesuai dengan bukti bahwa partisipasi politik muslim di era modern di negara bagian Arakan kembali ke tahun 1930-an, sementara kota Arakan, Mrauk U, pada puncak keemasannya di abad ke 17 merupakan jalur dagang utama di Asia, yang diperintah oleh sultan-sultan Muslim.
Hal ini juga bukan ukuran yang konsisten, mengingat ada jutaan orang Cina yang bermigrasi ke Myanmar dalam beberapa dekade terakhir untuk menjadi pemain kuat dalam perekonomian. Apakah kemudian ada masalah dengan penduduk dengan kulit lebih gelap yang sering merupakan kaum Muslim di Myanmar, atau apakah agama mereka bertentangan dengan ajaran-ajaran Buddha?
Tampaknya pada sebagian orang yang tahu, satu penyebab utama keprihatinan adalah bahwa permusuhan ini terjadi di seluruh spektrum politik Myanmar. Di zaman Pemerintah pasca kolonial sipil U Nu di awal tahun 1950an, mereka mengusir Kongres Muslim Burma dan menjadikan Budha agama negara, lalu muncullah diktator pertama Myanmar, Ne Win, yang menggunakan propaganda anti-Muslim yang kuat selama pengusiran massal orang-orang India pada tahun 1960an. Dia mencap puluhan ribu orang yang dibawa untuk bekerja oleh Inggris sebagai kaki tangan kolonial, dan mengeksploitasi sentimen anti-Islam untuk melarang Muslim menjadi tentara. Masalah kunci yang sama yang memicu kerusuhan anti-Cina yang terkenal pada akhir 1960an dan 1970an adalah bahwa Myanmar adalah negara yang dirugikan karena pekerjaan akan diambail orang-orang asing – yang juga mendorong kerusuhan anti-India dan anti-Muslim pada tahun 1930 dan 1938.
Propaganda Ne Win mungkin masih memiliki efek, mengingat tingkat kebencian dan kecurigaan terhadap umat Islam yang tetap, khususnya di bagian barat negara itu. Nicholas Farrelly, seorang spesialis Asia Tenggara pada Australia National University, berpendapat bahwa bagaimanapun hal ini serupa dengan sikap yang dimiliki oleh banyak umat Buddha di tempat lain di wilayah itu terhadap Muslim:
“Secara umum, mereka menemukan kebiasaan asing, kurangnya integrasi yang menjengkelkan, dan da’wah mereka tidak disukai. Ketika kami membandingkannya dengan kelompok-kelompok lain, Muslim Myanmar tidak bisa mengecap pendidikan atau prestise internasional yang banyak dikaitkan dengan minoritas Kristen di negara itu.. Sementara Kachin dan Karen yang Kristen telah menderita perlakuan yang mengerikan, saya pikir setidaknya ada beberapa arus utama orang Budha Myanmar yang menghormati budaya dan agama mereka. Namun penghormatan seperti itu jarang diberikan kepada Muslim.. ”
Sebuah Negara Myanmar Yang ‘Terbuka’, Namun Rasis?
Dalam era terbukanya negara Myanmar yang dilakukan dengan hati-hati, ketidakmampuan orang Myanmar untuk berdebat atas masalah ini secara rasional adalah mengkhawatirkan. Oposisi Liga Nasional untuk Demokrasi, dipandang oleh dunia luar sebagai kekuatan pendorong bagi perubahan di Myanmar, juga enggan membahas sekitar masalah ini – seorang pejabat partai mengatakan kepada BBC awal tahun ini bahwa “bahkan dalam organisasi kami pertanyaan atas Rohingya belum terselsaikan” . Ko Ko Gyi, aktivis pro-demokrasi terkemuka, mengatakan pekan lalu bahwa Rohingya “bukan ras beretnis Myanmar… Ini telah menjadi perhatian nasional karena melanggar kedaulatan kita”. Apakah dia juga berpikir bahwa Thailand, misalnya, harus memegang sikap yang sama terhadap ratusan ribu pengungsi dari Burma yang tinggal di wilayahnya?
Aung San Suu Kyi, yang telah dikritik karena gagal untuk bisa mengatasi “masalah etnis” yang lebih luas di Myanmar, mendesak mayoritas Buddha untuk “memiliki simpati terhadap minoritas” atas pembunuhan tanggal 3 Juni, tetapi menolak untuk berdebat atas masalah ini. Dia membenarkan hal ini dengan mengatakan bahwa partainya “harus secara hati-hati menghindari hal yang bisa memperburuk situasi” – yang mungkin saja benar, tapi apa yang juga bisa dipertaruhkan adalah risiko kehilangan dukungan dari penduduk Arakan beragama Budha.
Bahkan di antara komunitas monastik yang dihormati, yang sering dianggap sebagai pembela atas kesetaraan di Myanmar, terjadi kontroversi. Suara Demokrasi Burma melaporkan pernyataan yang dirilis oleh biarawan berpengaruh dan mantan tahanan politik, Ashin Virathu, yang mengatakan: “Saya lihat bahwa umat Islam merupakan persentase yang besar dari para pelaku kasus pemerkosaan dan pembunuhan”. Hal ini adalah “masuk akal”, lanjutnya, bahwa “dari sisi korban [perkosaan] hal ini dilihat sebagai penghinaan terhadap rakyat mereka dan agama [Buddha] “.
Sekarang, meskipun pemerintah mengumumkan penyelidikan atas pembunuhan itu, kerusuhan ras telah meletus di barat Myanmar dan Presiden Thein Sein pada hari Minggu mengumumkan keadaan darurat. Sedikitnya delapan orang tewas, yang sebagian diduga dilakukan oleh tentara pemerintah yang menembaki kerumunan orang.
Di bawah permukaan
Namun perbedaan ketegangan rasial antara masa sekarang dan masa masa lalu yang meningkat ini adalah bahwa belum ada masuknya umat Islam yang besar dalam beberapa tahun terakhir – mungkin hal ini menunjuk pada ketegangan di dalam masyarakat Myanmar yang telah terjadi selama bertahun-tahun, yang belum terselesaikan dan hanya menunggu pemicu.
Seseorang berharap masa mengerikan ini akan membawa kepada pertanyaan menyeluruh atas hal apakah di balik krisis dan pembantaian ini, yang sering menyebabkan diskusi masalah ini ini menjadi dihindari. Karena itu sedikit orang yang mengakui bahwa xenophobia dan ketakutan kepada “yang lain” muncul di Myanmar, yang merupakan hal yang tidak tertandingi.
Karenanya, sensus yang berlangsung pada tahun 2014 – yang merupakan yang pertama dalam 25 tahun – pada saat ini tampaknya tidak mungkin menyertakan sekitar 800.000 Rohingya. Kebijakan diskriminatif seperti itu merupakan penyakit utama atas citra internasional Myanmar yang harus dirubah, tetapi sebagian besar merupakan hal tabu untuk diungkap – sementara para pengamat enggan untuk memulai pembicaraan soal ini, mengingat konsekuensi yang menyertai tuduhan rasisme.
Tapi bukti adanya permusuhan yang mendarah daging di kalangan warga sipil di sana perlu diakui. Pembantaian itu bukanlah merupakan per tanda yang pertama – laporan BBC tahun lalu yang membawa peta yang menggambarkan negara Arakan sebagai rumah Rohingya memicu kegemparan, dan forum online lagi menjadi saluran diskusi yang getir, termasuk seruan untuk memboikot secara nasional atas BBC dan demonstrasi yang terjadi di luar kedutaan Inggris di Yangon.
Jika Myanmar benar-benar ingin bergabung dengan komunitas global, hal ini harus terbuka untuk diperdebatkan. Harus ada pengakuan bahwa ketidaknyamanan yang amat sangat itu ada di antara penduduk Myanmar yang selama puluhan tahun telah merasakan rasa sakit atas sikap antipati dan isolasi. Mengambil pendekatan sensitif tapi frontal bagi masalah ini, dan bukan bertindak malu-malu yang ditunjukkan bahkan oleh tokoh-tokoh kuat gerakan pro-demokrasi, mungkin bisa menjadi langkah pertama. (translated by rz;Aljazeera.com)
Francis Wade adalah seorang jurnalis lepas dan analis yang meliputi wilayah Myanmar dan Asia Tenggara. Dia bisa di follow di Twitter: @Francis_Wade
kondisi kaum muslim dinegeri minoritas memang itu adanya…
menderita, dianiaya, dizolimi, dimatikan…
siapa yang mampu menolong… hanya SANG KHALIFAH yang mampu menolongnya… wujudkan SANG KHALIFAH…ALLAHU AKBAR