KAIRO – penguasa militer Mesir secara resmi membubarkan Parlemen hari Jumat, media pemerintah melaporkan, dimana pasukan keamanan ditempatkan di sekitar bangunan dan diperintahkan untuk melarang siapa saja, termasuk para anggota parlemen, memasuki ruang parlemen tanpa pemberitahuan resmi.
Menurut situs resmi surat kabar Al Ahram, hal itu meningkatkan ketegangan lebih lanjut menyusul putusan pengadilan pada hari Kamis yang membatalkan anggota legislatif Mesir pertama yang terpilih secara demokratis. Hal ini terjadi pada saat akan dilakukannya pemilihan presiden pada akhir pekan ini.
Ikhwanul Muslimin, kelompok Islam yang mendominasi parlemen, menolak putusan Mahkamah dan kewenangannya itu untuk membubarkan legislatif. Saad el Katatni, yang merupakan Jubir Ikhwanul di Parlemen, menuduh pemerintah yang dipimpin militer mendalangi putusan itu.
Tampak waktunya sudah diatur untuk merusak pencalonan Mohamed Morsi dari Ikhwanul Muslimin agar bisa bersaing dalam pemilihan presiden putara kedua dengan Ahmed Shafik, seorang mantan Jenderal Angkatan udara dan PM di era Bapak Mubarak. Namun, Ikhwan mengeluarkan pernyataan pada hari Jumat yang mendesak pengikutnya untuk pergi ke tempat pemungutan suara dan “mengisolasi perwakilan rezim sebelumnya melalui kotak suara.”
Pihak berwenang mendirikan pos-pos pemeriksaan dan banyak kelompok orang bergerak di sekitar kota untuk mempersiapkan kerusuhan.
Keputusan yang dikeluarkan pada Kamis oleh Mahkamah Agung Konstitusi, yang merupakan sebuah panel hakim yang diangkat oleh Mubarak, membubarkan Parlemen dan membiarkan mantan PM untuk mencalonkan diri sebagai presiden, yang menunjukkan perjuangan dari sisa-sisa kekuatan elite yang lama untuk memblokir kelompok Islam untuk berkuasa.
Para penguasa militer tidak mengeluarkan sebuah pernyataan mengenai keputusan itu. Tapi situs Web surat kabar pemerintah Al Ahram melaporkan bahwa para jenderal mengatakan pemilihan presiden tahap kedua masih akan berlangsung sesuai jadwal dan bahwa para penguasa militer akan mengambil alih tanggung jawab legislatif dari parlemen setelah pemilu. Keputusan itu mengingatkan peristiwa yang telah terjadi di seluruh wilayah itu selama beberapa dekade, ketika kaum elit sekuler menumpas kelompok Islam siap yang memenangkan pemilu, yang paling terkenal adalah saat pembubaran kelompok Islam di Parlemen Aljazair yang mengakibatkan perang saudara 20 tahun lalu.
Banyak analis dan aktivis mengatakan bahwa mereka takut keputusan itu merupakan langkah menuju didirikannya kembali sebuah otokrasi dukungan militer, meskipun belum jelas apakah kepemimpinan militer bersedia mengambil risiko terjadinya kerusuhan baru dengan menekan kekuatan-kekuatan politik negara yang paling kuat.
Dalam sebuah pernyataan, sayap politik Ikhwan mengatakan bahwa keputusan pengadilan itu “menegaskan bahwa rezim sebelumnya belum menyerah dan tidak akan menyerah dengan mudah.”
“Dari perspektif demokrasi, ini merupakan hasil terburuk yang dapat dibayangkan,” kata Shadi Hamid, direktur peneliti pada Brookings Doha Center di Qatar. “Ini adalah pengambilan kekuatan habis-habisan oleh militer.”
Jika keputusan itu dilaksanakan, siapa pun yang menang pemilihan presiden akan mendapat kekuasaan mandat dari Parlemen dan bisa mempunyai pengaruh signifikan atas pemilu untuk membentuk pemerintahan baru. Presiden terpillih baru juga akan berkuasa tanpa adanya sebuah konstitusi permanen yang mendefinisikan kekuasaan atau tugas-tugasnya. Sebuah perkumpulan penulis naskah konstitusi yang beranggotakan 100 orang yang ditunjuk oleh Parlemen termasuk puluhan anggota parlemen lain dapat juga dibubarkan. Dan dalam hal apapun, para jenderal yang berkuasa diharapkan bisa keputusan mereka sendiri selama penyusunan konstitusi tersebut.
Pemilihan presiden tanpa adanya konstitusi ataupun parlemen adalah seperti “pemilihan seorang kaisar” dengan kekuatan lebih besar dari sang diktator yang digulingkan, kata parodi, Mohamed ElBaradei, pemenang Hadiah Nobel diplomat dan mantan calon presiden, dalam komentar online-nya.
sumber: www.nytimes.com (15/6/2012)
Dulu FIS di Aljazair pernah mengalami hal ini, demikian pula HAMAS di Palestina mendapat perlakuan yang serupa. Belum cukupkah bukti-bukti tersebut untuk dijadikan pelajaran???
Katanya hanya keledai yang terperosok dua kali ke dalam lubang yang sama, lalu mengapa manusia (umat Islam) terus menerus terperosok ke dalam “lubang” yang sama (demokrasi)? Apakah manusia (umat Islam) itu lebih dungu bin bodoh daripada keledai???????