Oleh Jason Pack dan Fred Kemas
14 Juni 2012
Saat Suriah memasuki keadaan yang disebut oleh Kepala Penjaga Pasukan Perdamaian PBB sebagai Perang Sipil Berskala Penuh, para pengamat khawatir bahwa kejatuhan Bashar al-Assad bisa memicu kekacauan yang lebih besar. Sejarah terkini menunjukkan bahwa kepergian tiran paling mengerikan dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut atas stabilitas dan peningkatan penderitaan manusia di suatu negeri.
Intervensi internasional yang disalahpahami adalah untuk menjatuhkan Assad – terutama jika dia tidak memiliki dukungan regional – dengan mudah bisa dilakukan untuk melancarkan perang semua lawan semua.
Rencana Annan terbaru tergantung pada dukungan dari “kelompok kontak” termasuk Rusia, Cina, dan Iran untuk membantu memindahkan Assad ke pengasingan. Transisi dengan model Yaman adalah jalan terbaik bagi Suriah, tetapi hal ini harus didorong terutama oleh para aktor regional seperti Arab Saudi, Qatar, dan Turki, bukan Barat dan PBB seperti yang dianjurkan Perancis.
Wilayah Afrika Utara dan kawasan Timur Tengah – baik sebelum dan sesudah Revolusi Arab – telah melihat alasan yang berbeda bagi penggulingan diktator. Saat masyarakat internasional berhati-hati dalam melihat masa depan Suriah, maka ita harus belajar dari masa lalu.
Di Irak – dimana negara itu disalahpahami sebagai buatan kerajaan Inggris setelah Perang Dunia I – pelengseran Saddam Hussein oleh AS dari kekuasaannya segera menyebabkan konflik berkepanjangan yang mengakibatkan ratusan ribu kematian, migrasi besar-besaran, dan terorisme sektarian . Integritas negara Irak tetap diragukan, dimana wilayah Kurdi Utara yang telah mencapai semi-otonomi dan ketegangan hubungan Sunni / Syiah menyertai politik Baghdad.
Diktator yang tersingkir seperti Hussein – dan Assad – baik oleh kekuatan eksternal atau pemberontakan internal, menjatuhkan, tetapi juga merusak mekanisme satu-satunya yang diselenggarakan oleh negara secara bersama-sama.
Di sisi lain, negara-negara seperti Tunisia dan Mesir telah bergulat dengan perpecahan dan bahkan kekerasan pasca-revolusi yang memunculkan ketidakpastian, tetapi negara-negara itu lebih baik disatukan oleh dasar-dasar historis yang lama. Perpecahan multi-sektarian di Suriah dan warisan kolonialisme Prancis telah memberikan hak istimewa bagi kaum minoritas Suriah – termasuk sekte Alawi yang berkuasa yang membentuk negara modern.
Tentara elit Assad tetap setia, dan jajarannya hampir sepenuhnya adalah kaum Alawit. Selain Angkatan Darat, sebagian besar penduduk – terutama kelompok-kelompok minoritas seperti Kristen, Druze, dan Ismailiyah – tetap setia secara pasif kepada Assad. Oposisi Suriah sedikitpun tidak mencoba untuk melakukan hal bahkan untuk suatu sandiwara persatuan – yang merupakan hal penting bagi Dewan Transisi Nasional Libya untuk berhasil memperoleh dukungan asing dan memperoleh pengakuan diplomatik.
Mengingat kenyataan ini, dan melihat transisi yang sedang berlangsung di Libya, Irak, Mesir, dan Tunisia, contoh terbaik untuk transisi di Suriah tampaknya adalah Yaman.
Menoleh ke Yaman – yang banyak disebut sebagai negara gagal – sebagai sebuah model untuk hal apa pun mungkin tampak berlawanan dengan kenyataan. Wakil presiden Yaman, Abd al-Rab Mansur Hadi menjadi penjabat presiden, dimana Saudi sebagian besar mengantarkan transisi dan lembaga negara Yaman agar tetap utuh.
Pemilu yang diadakan pada Februari 2012, dimenangkan secara telak oleh al-Hadi, yang mengawasi pembentukan konstitusi baru dan seharusnya akan menjabat hanya dua tahun hingga pemilu yang benar-benar bebas dapat dilakukan.
Intervensi internasional dan regional di Timur Tengah tidak perlu dilakukan. Namun, konsensus ini kemungkinan akan menyerukan lebih banyak sanksi terhadap rezim Assad, karena sebagian besar negara setuju bahwa intervensi militer dari luar akan sulit dan bahkan kontra-produktif.
Menteri Luar Negeri Hillary Rodham Clinton baru-baru ini menuduh Rusia mengirimkan helikopter tempur kepada rezim Assad. Pertama, jalan menuju perdamaian di Suriah membutuhkan “solusi non-militer yang dipaksakan.” Hal ini akan menjadi transisi politik yang didorong oleh kekuatan-kekuatan luar dengan dukungan internasional yang luas.
Rencana non-militer semacam ini sesuai dengan proposal Annan terbaru bagi Assad yang akan diberikan tempat untuk pengasingan, tapi diperlukan satu unsur kunci: diplomasi harus dipimpin oleh aktor-aktor regional, bukan PBB atau Barat. Transisi ber-gaya Yaman kemudian akan bisa mempertahankan struktur negara Suriah – bahkan dengan memasukkan banyak kelompok elit yang korup dan melakukan pembunuhan selama masa transisi – bagi kelangsungan dan stabilitasnya. Pengganti Assad – yang merupakan tokoh sementara, mungkin berasal dari dalam rezim sebelumnya – yang akan tunduk pada pengawasan yang intens dan kontrol eksternal untuk memastikan perilakunya agar tetap baik.
Dengan keluarnya Assad, dukungan internasional dan regional, dan stabilitas yang relatif ada, Suriah bisa bergerak menuju reformasi dan mungkin, di suatu hari, akan membentuk demokrasi perwakilan. (RZ)
(catatan redaksi : analisis diatas bukan mewakili pandangan Hizbut Tahrir)