11 Juni 2012
oleh Sharique Naeem
Kelahiran Zona Eropa dianggap sebagai model yang sukses bagi persatuan. Zona Eropa (Eurozone) berusaha untuk mengakumulasi kekuatan ekonomi dan politik Eropa untuk menjadi satu blok. Dengan kerja yang teliti selama bertahun-tahun, pembentukan blok ini banyak menghasilkan keuntungan bagi para pebisnis dan investor, menjanjikan untuk mempromosikan baik perdagangan maupun perjalanan melalui beberapa keseragaman hukum dan kemudahan mobilitas di seluruh zona, dan kesatuan ekonomi ini juga selalu menyiratkan ‘keseluruhan’ kekuatan politik dalam pengambilan keputusan dalam berbagai peristiwa dunia.
Di dunia Muslim, perdebatan tentang peran dan pentingnya persatuan sekarang memiliki titik referensi tambahan, yakni Uni Eropa. ‘Organisasi Konferensi Islam’ yang dikenal sebagai OKI terutama telah menjadi titik fokus diskusi tentang kesatuan negara-negara Muslim. OKI telah bertahun-tahun bertindak sebagai ventilasi bagi pendapat politik negara-negara Muslim. Platformnya menyediakan sarana bagi negara-negara mayoritas Muslim untuk bersatu, dan mendiskusikan berbagai isu, mulai dari isu politik hingga perniagaan dan perdagangan. Selama bertahun-tahun, OKI juga telah mengeluarkan beberapa resolusi yang menyuarakan pendapat negara-negara Muslim. Namun, OKI, meskipun mengekspresikan keinginan bagi kesatuan yang lebih besar, hanya membuat sedikit kemajuan dalam mengartikulasikan suatu peta jalan untuk mencapainya. Pembentukan Uni Eropa dan adopsi yang dilakukannya atas mata uang tunggal telah banyak dikagumi oleh para akademisi dan pembuat opini di dunia Muslim, yang melihatnya sebagai contoh bagi umat Islam untuk bisa menirunya.
Uni Eropa (EU) pada hari ini merupakan sebuah serikat independen dari negara-negara bangsa, yang merangkul sebuah model pemerintahan yang sama yakni Demokrasi yang sesungguhnya merupakan negara-negara kapitalis. Di sisi lain, dunia Muslim memiliki berbagai jenis pemerintahan, dari mulai kediktatoran-dengan kekuasaan Monarki atau kekuasaan para jenderal-hingga demokrasi. Sementara model pemerintahan di Uni Eropa, yaitu Demokrasi mendapatkan dukungan masyarakat setempat dan stabilitas yang lebih besar, rezim-rezim di dunia Islam tetap mencengkeram di atas ketidakstabilan politik pada berbagai tingkat.
Pada hari ini, saat dunia Muslim merindukan persatuan, sangat penting untuk secara kritis mengevaluasi model persatuan yang dapat ditampilkan sebagai alternatif yang dapat diadopsi. Saat ini, terutama sering dibahas dua model spesifik persatuan, yang pertama adalah Uni Eropa dan kedua adalah sebuah negara Islam, yakni Khilafah.
Uni Eropa terutama merupakan perserikatan yang dilakukan dengan sukarela dari negara-negara berdaulat, dimana negara-negara anggotanya menerapkan demokrasi, dan di mana pemilu dapat mempengaruhi keputusan politik yang dibuat oleh negara yang bersangkutan. Keputusan-keputusan itu mungkin dibuat secara independen untuk memberi manfaat atau efek pada negara-negara anggota lainnya. Oleh karena, esensi dari serikat ini adalah menciptakan situasi ‘win-win’, di mana kepentingan umum adalah apa yang mengikat negara-negara anggota. Berlawanan dengan model ini, Negara persatuan Islam adalah terpusat (tersentralisasi). Negara Daulah bukanlah sebuah negara serikat (union) atau federasi. Anggota ‘negara’ secara efektif menggabungkan diri dalam Negara Islam, dan karenanya menjadi sebuah ‘Wilayah’ (Provinsi). Sebuah Wilayah, tidak bisa memilih untuk turun dari pemerintah pusat, dan karenanya hal ini memastikan bahwa untuk mengejar kepentingan-kepentingan lokal tidak bisa mengorbankan kepentingan keseluruhan Negara.
Mata uang merupakan faktor kunci dalam setiap model persatuan. Mata uang yang sama di Eropa saat ini, Euro, yang diadopsi oleh negara-negara anggota, digunakan secara paralel sebagai mata uang lokal. Meskipun hal ini mendatangkan keuntungan, ini juga menciptakan kompleksitas. Negara Islam memiliki mata uang tunggal yang didukung oleh emas (dan perak), dan karenanya nilainya tidak rentan, tidak seperti mata uang FIAT. Mata uang tunggal memastikan bahwa kekayaan seluruh negara memiliki suatu representasi, dan bahkan tidak tunduk pada ketidakseimbangan internal.
Dalam model Uni Eropa, yang didasarkan pada kesatuan negara demokrasi, kepatuhan terhadap aturan-aturan serikat dapat dihentikan, jika warga dari negara manapun tidak lagi bisa mematuhinya. Dalam negara Islam, ‘Wilayah’ (Provinsi) tidak memiliki status independen, dan karenanya kepatuhan terhadap aturan adalah hal yang wajib.
Di dunia pada hari ini, dengan perdagangan global dan perniagaan seperti saat ini, seringkali perekonomian negara-negara saling berhubungan. Saling keterkaitan ini diperkuat ketika negara-negara saling membantu melalui pinjaman, dana talangan (bail-out), investasi dll. Sebagai contoh, suatu masalah saat ini di Eropa dapat memiliki efek kepada AS, dan karena alasan ini calon-calon presiden pada tahun pemilihan ini sangat ingin untuk menyelesaikan krisis. Dalam pertemuan puncak G8 yang terakhir, pada pembicaraan bilateral dengan Obama, David Cameron, Perdana Menteri Inggris, menyatakan bahwa dia merasakan “tumbuhnya perasaan yang mendesak bahwa tindakan-tindakan perlu diambil” yang berkaitan dengan krisis zona euro. Sebaliknya, Negara Islam, akan berusaha untuk memiliki ekonomi kuat yang tidak akan banyak tergantung pada negara-negara besar lainnya. Negara Islam tidak akan terlibat dalam pinjaman berbasis bunga dengan negara-negara lain; Negara akan menghindari setiap usaha investasi di bidang saham atau bentuk ekonomi lainnya, dan tidak akan memberikan bantuan – misalnya dalam bentuk dana talangan (bail-out)- untuk ekonomi negara lainnya yang berdasarkan prinsip-prinsip kapitalis.
Dalam negara serikat, negara-negara berdaulat mengejar kepentingan mereka sendiri bersama dengan kepentingan bersama. Namun, kepentingan-kepentingan satu negara anggota dapat mencelakakan negara-negara yang lain. Misalnya Jerman, yang memiliki ekonomi di Eropa yang relatif lebih besar, yang mengenakan penghematan ketat, membuat langkah-langkah kriteria bagi pinjaman International kepada negara dengan ekonomi yang relatif kecil di zona tersebut, seperti Yunani. Menurut para kritikus, kebijakan ini memicu pengangguran di Yunani, dan mendorongnya untuk bangkrut dalam waktu dekat, sementara di Italia dan Spanyol keduanya telah ditambahkan ke dalam negara-negara yang memasuki krisis disamping yang sudah ada. Negara Islam, di sisi lain, tidak rentan terhadap kebijakan yang condong di satu sisi dan bias tersebut. Akumulasi kekayaan negara dimanfaatkan dengan efektif, dan berbagi atas dasar kebutuhan. Sebuah ‘Wilayah’ yang kaya tidak bisa memaksakan kebijakannya pada Wilayah yang miskin atau kurang kaya dengan mempengaruhi pusat. Hal ini memastikan bahwa pada umumnya dan khususnya pada saat-saat krisis, negara kesatuan akan bertindak sebagai ‘satu negara untuk semua dan semua untuk satu’ (one for all and all for one).
Dalam serikat, ada kemungkinan bahwa rakyat mungkin memilih pemerintahan baru, yang mewakili suara pemilihnya dengan memilih untuk mengabaikan janji-janji yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya. Dalam skenario seperti itu, pusat tidak bisa memaksanya agar bisa mematuhi janji pemerintah sebelumnya. Contohnya di Spanyol, pemerintahan baru, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mariano Rajoy menyatakan bahwa pemerintahnya tidak merasa terikat oleh ‘program penyesuaian’ yang disepakati oleh pemerintahan sebelumnya. Sikap ini dicela. Namun, pada dasarnya sikap itu membawa beban berat; dan ‘Program Penyesuaian’ bagi Spanyol sedang dipertimbangkan untuk dibuat lebih ringan. Secara struktural, Khilafah tidak rentan terhadap kelemahan tersebut, karena khalifah memiliki kewenangan hukum untuk memastikan, menyatakan untuk merger, dan menyesuaikan dengan aturan-aturan yang disepakati.
Uni Eropa secara teknis dirancang dengan asumsi bahwa negara-negara anggota tidak akan mempertimbangkan keluar dari perserikatan, karena biayanya akan lebih tinggi, dibandingkan dengan manfaat jika berada dalam perserikatan. Namun, peristiwa terakhir, terutama dalam kasus Yunani, menunjukkan bahwa asumsi ini tidak mungkin terus-menerus benar. Sebuah negara yang terbebani (hutang), yang tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada perserikatan dapat mempertimbangkan untuk keluar supaya lebih menguntungkan. Dalam sebuah Negara Islam, beban (kebutuhan warga-negara) dibagi secara horizontal di antara negara-negara yang bersatu.
Daniel Gros, Direktur Studi Kebijakan Eropa yang berbasis di Brussel, baru-baru menulis mengenai krisis yang dihadapi Uni Eropa bahwa “Pasar keuangan bereaksi sekuat mungkin karena investor mengakui bahwa” kedaulatan “dalam negara yang berhutang adalah sebuah negara pemilih yang hanya dapat memutuskan untuk tidak membayar. Sebaliknya, model persatuan Islam, yaitu Kekhalifahan , mewujudkan sistem politik dan ekonomi yang menyediakan lingkungan yang stabil bagi para investor.
Dalam Editorial baru-baru ini taggal 21 Mei 2012, MA Niazi (Editor Surat Kabar The Nation), telah membuat titik yang valid ketika menyatakan bahwa ” sepertinya tidak ada alasan yang hakiki mengapa Khilafah tidak dapat dibangun. Hal ini bukan seperti seandainya rakyat Indonesia memiliki tanduk di kepala mereka, atau rakyat Aljazair bernapas dengan nitrogen, dan bukan dengan oksigen. Kami telah memiliki pengalaman hidup dalam federasi dengan negara-negara lain, jadi mengapa kita tidak bisa memiliki sebuah kekhalifahan “.
Hari ini, sementara ada potensi yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi dan kekuasaan politik, banyak orang di dunia Muslim yang tetap terperosok dalam sejumlah masalah besar. Diskusi tentang perlunya kerjasama yang lebih besar sering dibatasi oleh pengelompokan dalam OKI atau lainnya, yang sejauh ini gagal untuk menyelesaikan. Saat perdebatan bagi kesatuan yang lebih besar mendapatkan momentumnya, sangat penting bagi para intelektual, para pembuat opini dan pemegang kekuasaan kunci untuk mendekati topik ini dengan ketulusan, dan dengan kritis mengevaluasi semua model persatuan yang disajikan untuk itu. (RZ Sumber : www.newcivilisation.com)
Referensi:
[1] Uni Eropa-http :/ / www.aljazeera.com/indepth/opinion/2012/06/201263112548566574.html
[2] G8 – http://www.aljazeera.com/video/americas/2012/05/2012519173652632938.html