Oleh: Luky B Rouf (Lajnah Dakwah Sekolah DPP HTI)
Menteri Kesehatan (Menkes) yang baru, Nafsiah Mboi sudah resmi dilantik oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah sepekan menjabat Menkes, mantan Sekretaris Eksekutif Komite Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional ini mengeluarkan pernyataan kontroversi terkait rencananya meningkatkan kampanye penggunaan kondom untuk kelompok seks berisiko. Terutama pada kalangan remaja. Menurut Menkes, kampanye penggunaan kondom selaras dengan MDG’s poin 6, yaitu memerangi HIV/AIDS.
MDGs (Millenium Development Goals) atau Tujuan Pembangunan Milenium adalah sebuah paradigma pembangunan global, yang dideklarasikan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York pada bulan September 2000. Dalam Deklarasi tersebut disepakati mengenai sebuah paket arah pembangunan global yang dirumuskan dalam 8 tujuan (goals). Salah satunya, pada tujuan ke-6 adalah memerangi HIV/AIDs, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya.
Kebijakan Cabul dan Bodoh
Penyebaran HIV terutama pada kaum muda telah mencapai trend yang mengkhawatirkan. Anak muda berumur 15-24 tahun adalah kelompok paling rentan terhadap HIV. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan di Indonesia pada tahun 2009, jumlah orang yang terinfeksi HIV berkisar 314.500 orang dengan rata-rata usia 15-49 tahun. Menurut laporan UNAIDS tahun 2008, Indonesia menjadi salah satu negara di Asia dengan penularan yang paling cepat.
Hasil penelitian UNAIDS tahun 2009 di Thailand, Srilanka, Filipina, Pakistan, Nepal, Malaysia, Indonesia, India, Kamboja dan Bangladesh menunjukan sekitar 43% infeksi HIV baru terjadi di kalangan perempuan yang menikah. Kondomisasi tidak menyelesaikan akar masalah penularan virus HIV/AIDS yakni seks bebas yang terjadi di kalangan remaja yang kian memprihatinkan. Pada 2000, Joni Rasmanto, SKM, M.Kes mengeluarkan data tentang prilaku seks bebas di kalangan remaja di Jawa Barat (Jabar) dan Bali. Dalam penelitian, terungkap 6,9 persen remaja di Jabar usia 12-17 tahun sudah melakukan hubungan intim. Lalu di Bali, 5,1 persen remaja berusia 15-19 tahun sudah making love. Sementara angka nasional aborsi pada 2000 mencapai 1.982.880 kasus.
Berdasarkan hasil survei perubahan perilaku yang dirilis Kementerian Kesehatan, malah 55 persen dari keseluruhan infeksi baru HIV dan kasus AIDS disebabkan oleh hubungan seks heteroseksual. Artinya dengan memberikan kondom (apalagi gratis) justru akan memicu makin meningkatnya pederita AIDs. Sehingga tepat sekali jika dikatakan bahwa program kampanye kondomisasi dari seorang menteri kesehatan, mengindikasikan kepada ketidakmengertian tentang akar permasalahan, serta sekadar melanggengkan intervensi asing kepada negeri ini.
Terlebih lagi efektifitas kondom untuk mencegah penularan HIV/AIDS masih diragukan. Seperti disampaikan oleh Direktur Jenderal WHO, Hiroshi Nakajima pada tahun 1993. Bahkan J. Mann dari Harvard University pada 1995 mengungkapkan hasil penelitiannya yang mengungkap, tingkat keamanan kondom hanya 70 persen. Artinya, 30 persennya lagi tidak aman. Penggunaan kondom hanya dapat mereduksi risiko penularan, tetapi tidak dapat menghilangkan sama sekali risiko penularan (transmisi) virus HIV/ AIDS.
Program MDGs bukanlah sebuah bentuk bantuan yang tanpa pamrih yang diprogramkan negara-negara maju. Melainkan MDGs adalah sebuah bentuk kelanjutan intervensi ekonomi, politik dan kesehatan kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Harapannya Indonesia tetap terlilit hutang untuk menjalankan program MDGs ini. Ibaratnya, serupa dengan menggemukkan sapi, tapi toh nantinya sapi itu akan diperah susunya bahkan disembelih dagingnya.
Intervensi dalam program penanggulangan HIV/AIDS makin nyata jika disimak dalam laporan pemerintah Indonesia untuk United Nation General Assembly Special Session (Ungass) On Aids, disebutkan bahwa total anggaran HIV dan AIDS tahun 2008 yang berasal APBN berkisar 39,03 % (Rp 178.572.978.000) dari total Rp 457.479.945.000. Dengan demikian, 60,97 % (Rp 278.907.147.000) dana HIV dan AIDS berasal dari sumber dana asing. Sehingga hal ini menunjukkan dengan pasti bahwa negeri kita belum akan terlepas dari jerat kapitalisme-sekularisme, atau malah semakin erat jeratannya, jika penanggulangan HIV/AIDS dengan menjalankan program MDGs.
Kondomisasi adalah solusi pragmatis yang sangat menyesatkan. Bukannya mencegah, malah menambah parah. Karena kondom itu dirancang bukan untuk mencegah virus HIV/ AIDS. Sebagaimana dituturkan oleh M. Potts, Presiden Family Health International, salah seorang pencipta kondom. “Kami tidak dapat memberitahukan kepada khalayak ramai sejauh mana kondom dapat memberikan perlindungan pada seseorang. Sebab, menyuruh mereka yang telah masuk ke dalam kehidupan yang memiliki risiko tinggi (seks bebas dan pelacuran) ini untuk memakai kondom sama saja artinya dengan menyuruh orang yang mabuk memasang sabuk ke lehernya.”
Senyatanya program dan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS sudah dilaksanakan oleh menteri-menteri sebelumnya. Bahkan untuk mensosialiasikan kondom, telah dikeluarkan kebijakan untuk pengadaan ATM kondom. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan tersebut bukan menghentikan laju angka pengidap HIV/AIDS. Artinya kebijakan tersebut, terbukti telah gagal. Jika terbukti telah gagal dan mengulangi kegagalan, maka lebih tepat jika diibaratkan serupa keledai yang pernah jatuh di sebuah lubang, dan keledai tersebut ingin mengulanginya. Itulah keledai bodoh.
Memberikan kemudahan akses pada remaja untuk mendapatkan kondom sama dengan melegalkan seks bebas. Akibatnya, kampanye kondom akan semakin meningkatkan pergaulan seks bebas. Hal ini pernah diungkapkan oleh Mark Schuster dari Rand, sebuah lembaga penelitian nirlaba, dan seorang pediatri di University of California. Berdasarkan penelitian mereka, setelah kampanye kondomisasi, aktivitas seks bebas di kalangan pelajar pria meningkat dari 37% menjadi 50% dan di kalangan pelajar wanita meningkat dari 27% menjadi 32% (USA Today, 14/4/1998).
Penyakit HIV/AIDS adalah salah satu dampak dari pergaulan bebas (free sex) yang dianut oleh masyarakat sekular. Dan penanggulangan HIV/AIDS mengikuti program MDGs yang notabene produk Kapitalisme-sekularisme hanya bentuk tambal sulam masalah yang tidak akan menyentuh penyelesaian akar masalahnya. Pakar AIDS, R. Smith pada 1995, menyatakan sebagaimana tercantum dalam harian Republika 12 November 1995. Setelah bertahun-tahun meneliti tentang AIDS dan penggunaan kondom menyimpulkan: “Menggunakan kondom untuk mencegah AIDS sama saja dengan mengundang kematian.”
Islam Terbukti Benar
Fenomena mewabahnya HIV/AIDS seharusnya makin menyadarkan kita bahwa setiap pelanggaran terhadap syariah-Nya akan menimbulkan bencana buat manusia. Bukan hanya pelakunya saja. Oleh karenanya, wajar jika dalam Islam setiap pelaku pelanggaran harus dikenakan sanksi, meskipun secara sekilas tampak bahwa perbuatan tersebut merupakan urusan privat. Kasus HIV ini menjadi bukti amat jelas kebenaran syariat Islam. Ketika urusan seks dibebaskan kepada setiap individu untuk memenuhinya, pada akhirnya akan menjadi problem sosial yang melibatkan seluruh masyarakat.
Dalam pemenuhan seksual, Islam telah memberikan seperangkat aturan mengenai hubungan seks yang dihalalkan. Di luar yang diperbolehkan, hubungan seks dikatagorikan sebagai perbuatan zina yang diharamkan. Kepada pelakunya tidak hanya diancam siksa neraka. namun juga hukuman amat berat di dunia. Bagi mereka yang belum pernah menikah, harus dicambuk seratus kali dihadapan khalayak. Khalifah pun berhak menambah hukuman itu dengan pengasingan selama setahun. Sementara bagi yang sudah pernah menikah harus dirajam dengan batu hingga mati.
Perilaku homoseksual juga dilarang. pelakunya juga diancam sanksi berat, yakni harus dibunuh baik sudah menikah ataupun belum. Sedangkan pelaku bisnis haram atau menyebarluaskan pornografi akan dikenakan sanksi ta’zir, yang hukumannya diserahkan kepada qadhi (peradilan).
Di samping itu, Islam pun menutup segala jalan yang mengakibatkan munculnya kebebasan seksual yang berbahaya. Islam melarang pria wanita berinteraksi secara bebas kecuali dalam hal-hal yang dibolehkan oleh syari’i. Diwajibkan pula berpakaian yang menutup aurat dan tidak tabarruj (berhias berlebihan di ruang publik), yang memungkinkan munculnya hajat seksual lawan jenisnya. Islam juga melarang wanita berduaan dengan laki-laki yang bukan mahromnya (khalwat). Dengan seperangkat aturan itu, kehidupan masyarakat akan tenteram, suci dan terhindar dari berbagai penyakit seksual. Termasuk pula HIV/AIDS yang menakutkan.
Program kondomisasi terhadap remaja harus secara tegas ditolak, sebab program tersebut secara tidak langsung akan berakibat pada legalisasi seks bebas dikalangan kawula muda dan merupakan jalan tol kehancuran generasi bangsa ini. Kebijakan penanggulangan HIV/AIDS tidaklah berdiri sendiri, melainkan melibatkan unsur lain yang komprehensif. Sementara penanggulangan HIV/AIDS dengan menjalankan program MDGs yang notabene produk Kapitalisme-sekularisme adalah bentuk tambal sulam masalah yang tidak akan menyelesaikan masalah akarnya. Satu-satunya solusi dan harapan untuk menyelesaikan persoalan HIV/AIDS adalah Islam dengan syariahnya dan khilafah institusinya. Wallah a’lam bi al-shawab.