Sekarang sudah 18 bulan sejak Musim Semi Arab dimulai. Pemberontakan-pemberontakan itu berhasil mengakhiri pemerintahan brutal Hosni Mubarak di Mesir, Ben Ali di Tunisia hingga Libya Kolonel Gaddafi, sementara Basher al Assad masih hendak terus menggenggam kekuasaannya. Pemilihan umum telah terjadi di sejumlah negara dimana kita melihat partai-partai Islam memperoleh kemenangan secara signifikan, sedangkan kaum sekularis menderita kekalahan. Perdebatan dan diskusi tentang konstitusi baru dan peran Islam terus mendominasi Musim Semi Arab.
Apakah sekarang Musim Semi Arab mencapai kesudahannya ketika berhasil menggantikan diktator-diktator yang didukung Barat dengan pemerintahan Islam?
Di Tunisia, Maroko dan Mesir, para pemilih yang berjumlah jutaan telah dengan jelas menyatakan penentangan mereka terhadap nilai-nilai liberal sekuler dan ada keinginan kuat bagi pemerintahan Islam. Namun partai-partai yang sama berusaha keras untuk menunjukkan mandat Islam mereka kepada massa dalam kampanye pemilunya, dan sekarang berusaha lebih keras untuk menunjukkan sikap lunak mereka kepada Barat. Memang sikap mereka yang terburu-buru untuk menenangkan apa yang disebut sebagai opini internasional, mereka telah meninggalkan kepura-puraannya menjadi politisi Islam. Dalam melakukannya, mereka bersikap pragmatis, pintar dan cerdas secara politik. Namun, apa yang telah mereka tunjukkan adalah oportunisme, standar ganda dan bahwa mereka tidak lebih berprinsip daripada rekan-rekan sekuler mereka. Ketika berkaitan dengan penerapan politik Islam, mereka mengungkapkan hambatan-hambatan konstitusional dan perlunya menjaga kaum minoritas. Ketika berkaitan dengan penerapan ekonomi Islam, mereka mengungkapkan perlunya menghindari ketakutan investor internasional dan para wisatawan. Ketika berkaitan dengan penerapan kebijakan luar negeri Islam, mereka mengungkapkan perlunya menampilkan kesan moderat dan memenuhi tuntutan Barat. Memang, seperti itulah kehati-hatian mereka, kelemahan dan keinginan mereka untuk menyenangkan Barat, dan mereka kini hanya menjadi politisi Islam dalam hal nama saja. Realitas pada saat ini adalah bahwa kelompok-kelompok Islam yang mendekam di sel-sel penyiksaan milik penguasa seperti Mubarak yang menggembar-gemborkan ‘Islam adalah solusi’, pada saat ini benar-benar mencegah umat dari pemerintahan Islam.
Jadi apa yang salah dengan kelompok-kelompok Islam?
Kelompok-kelompok Islam, baik Ennahda di Tunisia maupun Partai Keadilan dan Kebebasan (FJP) dari Ikhwanul Muslimin di Mesir telah membuat satu kesalahan strategis satu persatu. Partai-partai Islam telah memenangkan pemilu yang cacat sejak awal. Pemilu adalah untuk parlemen yang merupakan peninggalan dari semua hal yang salah di dunia Muslim. Partai-partai Islam itu alih-alih mengubah dan mengganti sistem tersebut, mereka malah masuk dalam sistem yang korup dan menggantikan Ben Ali dan Hosni Mubarak dengan diri mereka sendiri dalam mempertahankan sistem yang korup dan sekuler.
Sementara banyak dari kelompok-kelompok Islam yang sekarang berkuasa, yang mengorbankan banyak hal di masa lalu dan menerima banyak kebrutalan dari para penguasa diktator, membuat perhitungan politik mereka yang berakar pada mitos. Mereka percaya bahwa sistem Islam hanya dapat diimplementasikan secara bertahap. Sementara kelompok-kelompok yang telah mencapai kekuasaan tidak memiliki banyak hal dalam pengembangan kebijakan dan mereka berpendapat bahwa solusi Islam tidak siap untuk menghadapi masalah-masalah seperti kemiskinan, pengangguran dan masih dalam pengembangan. Mereka juga percaya kebohongan bahwa penerapan Islam akan bisa menakut-nakuti kaum minoritas, menakut-nakuti investor dan menakut-nakuti masyarakat internasional.
FJP tidak lagi memakai slogan mereka “Islam adalah solusi ‘ dan telah membuat pernyataan-pernyataan kebijakan yang kontradiktif karena mereka terus-menerus kembali mundur dalam upaya untuk menenangkan semua orang. Saad al-Husseini, anggota Partai Kebebasan dan Keadilan Mesir dan eksekutif biro partai itu mengatakan dalam sebuah wawancara, bahwa pariwisata sangat penting bagi Mesir dan menekankan bahwa minum dan menjual alkohol adalah dilarang dalam Islam. Namun, ia kemudian menambahkan, “Namun hukum-hukum Islam juga melarang memata-matai tempat-tempat pribadi dan hal ini berlaku juga untuk pantai… saya ingin ada 50 juta turis yang akan melakukan perjalanan ke Mesir meskipun mereka datang dengan telanjang.”
Keengganan mereka untuk menerapkan Islam dalam keseluruhan resiko memberikan kesan bahwa sistem Islam tidak bisa memecahkan masalah-masalah pada hari ini. Umat yang berjumlah jutaan yang memilih partai-partai Islam itu menginginkan Islam. Memang hal itu seperti menggurui umat, dimana puluhan juta memilih mereka karena solusi Islam dan bahwa mereka tidak siap menghadapi konsekuensi dari solusi yang mereka pilih.
Inilah sebabnya mengapa pemilu ini cacat sejak awal. Demokrasi pada kenyataannya memungkinkan terpilihnya kelompok-kelompok dan individu-individu yang dapat membuat aturan-aturan yang dapat mereka jalankan bersama. Setelah bekerja selama beberapa dekade bagi pelaksanaan Islam, kelompok-kelompok Islam yang berkuasa sekarang di ambang pintu membuang-buang kesempatan yang ada.
Bagaimana situasi di Suriah?
Umat Islam bangkit melawan pemerintahan brutal Bashar al-Assad meskipun mereka menggunakan taktik brutal penindasan untuk memadamkan pemberontakan. Rezim Assad melanjutkan tindakan kerasnya dengan harapan bisa mengakhiri pemberontakan, sementara perlawanan bersenjata kurang memiliki kekuatan, senjata dan logistik untuk bisa meluncurkan serangan berkelanjutan ke Damaskus. Masyarakat internasional melanjutkan terus retorikanya untuk melawan rezim Suriah, tetapi tidak bertindak apapun.
Saat pembunuhan meningkat, sebagian orang di Suriah mengharapkan bantuan internasional untuk melawan rezim dan hal menjadikan solusi krisis di tangan internasional. Masyarakat internasional mengajukan sejumlah solusi untuk mengakiri krisis. AS telah menggeser posisi dari yang awalnya mendukung Assad sebagai seorang ‘pembaharu potensial’ sekarang terang-terangan menjadi pengecam rezim itu- tetapi tidak melakukan apapun untuk mengacaukan kepentingan utama mereka.
Masyarakat internasional kini secara terbuka mendukung pihak oposisi yang terus gagal mempersatukan dan bergabung menjadi satu kekuatan yang dapat membentuk pemerintahan Suriah di masa depan. Dengan berkedok mendukung, AS memanfaatkan dukungan negara-negara dalam menciptakan kondisi yang akhirnya akan menjadikan landasan bagi Suriah tanpa al-Assad, tapi menjadi sebuah negara yang terus melayani kepentingan AS. AS baru-baru ini menggeser sikapnya berkaitan dengan intervensi militer dari yang awalnya menyerukan negosiasi dan menolak seruan dilakukannya intervensi sekarang secara terbuka menyerukan intervensi militer. Dalam pernyataan pentingnya pada bulan Mei 2012, Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Martin Dempsey mengatakan: “Pentagon siap melakukan opsi intervensi militer untuk mengakhiri kekerasan di Suriah.” Namun, AS telah gagal dalam membangun seorang pemimpin alternatif penggati al-Assad.
Dukungan internasional bagi Dewan Nasional Suriah (SNC) telah dirusak oleh pertengkaran internal dan perebutan kekuasaan. Dewan Nasional Suriah diciptakan sebagai sebuah koalisi tujuh kelompok oposisi dengan tujuan memberikan alternatif yang kredibel bagi pemerintahan al-Assad dan berfungsi sebagai satu titik kontak bagi masyarakat internasional. Berbicara kepada AFP setelah Dewan Nasional Suriah menerima pengunduran dirinya sebagai pemimpin, Burhan Ghalioun mengatakan adanya jurang dalam jajarannya, “Kami tidak sampai hati mengorbankan rakyat Suriah. Kami tidak menjawab kebutuhan-kebutuhan revolusi dengan cukup dan cepat,” kata Ghalioun kepada AFP.
AS awalnya terjebak dengan posisinya bahwa Assad adalah seorang reformis dan harus diberi waktu melakukan reformasi, ketika negara-negar Eropa menyerukan penggulingannya. Namun saat pembantaian yang dilakukan rezim itu terungkap ke seluruh dunia, posisi mereka menjadi tidak bisa dipertahankan dan Amerika Serikat berusaha untuk menampilkan Dewan Nasional Suriah (SNC) dan Komite Koordinasi Daerah (LCC) sebagai alternatif-alternatif. Namun, kelompok-kelompok itu memiliki sedikit dukungan dari massa dan pemberontakan terus terjadi. AS terus menunda pergantian kekuasaan hingga mereka bisa membangun sebuah alternatif bagi al-Assad. AS bisa menggunakan Rusia dan misi pengamat dari Liga Arab untuk menunda pergantian kekuasaan yang sesungguhnya. Dengan memanfaatkan dukungan Rusia bagi rezim Suriah, AS menampilkan negara-negara Eropa dan dirinya di satu sisi yang menyerukan al-Assad untuk hengkang sementara Rusia dan Cina di sisi lain berusaha mempertahankan Assad. AS melakukan ini sambil menjaga al-Assad berkuasa karena mereka masih mencoba untuk membangun Suriah tanpa Assad.
Resolusi PBB nomor 2042 – dimana Kofi Annan memimpin gencatan senjata adalah upaya terbaru untuk mengatasi krisis. Rencana ini tidak berguna sebagaimana gencatan senjata sebelumnya. Tugas pengamat adalah menginformasikan kepada masyarakat internasional atas tindakan yang tidak dapat mereka terima di wilayah yang diamati. Masalah di Suriah bukanlah bahwa dunia tidak menyadari kekerasan, tetapi mereka tidak mampu atau bersedia mengambil langkah-langkah untuk mengakhirinya. Rezim Bashar al Assad telah menunjukkan bahwa mereka bersedia melakukan apapun yang perlu dilakukan untuk mengalahkan oposisi. Philip Gourevitch, penulis dan wartawan AS mengatakan dalam sebuah blog di New Yorker: “Dalam kehidupan nyata, PBB telah secara efektif menutupi operasi militer berdarah oleh rezim Suriah dengan mengirim Kofi Annan, seorang mantan sekjen PBB yang lemah ke Damaskus. Rencana perdamaian Annan yang dibuat bersama Assad pada akhir Maret merupakan gelembung-gelembung sabun, dan pengamat militer PBB yang seharusnya memonitor menjadi tidak berguna – atau bahkan lebih buruk: ketika mulai terjadi pembantaian di Houla, rezim itu mengatakan kepada para pemantau PBB untuk menjauh, yang memang dilakukan pengamat PBB, sehingga membawa kenangan buruk atas peristiwa pada pertengahan tahun sembilan puluhan, dimana rakyat Bosnia dan Rwanda diberikan janji-janji palsu perpanjangan perlindungan di bawah bendera PBB sebelum akhirnya mereka ditinggalkan kepada para pembunuh mereka. ”
AS sekarang secara terbuka menyerukan intervensi militer sebagai pilihan karena kepentingannya sedang terusik. Kepentingannya dipertaruhkan saat umat di Suriah menolak perpanjangan tangan Amerika dan sedang bekerja untuk menggantikan Assad dengan pemerintahan Islam yang tulus. Rezim Assad belum mampu memadamkan pemberontakan di Homs, Hama, dan Idlib-yang telah mencapai wilayah pinggiran Damaskus – tempat bercokolnya rezim. Hal ini membuat AS serta rezim al-Assad khawatir sehingga terjadi pembantaian seperti Qubair dan Houla karena rakyat Suriah akan menggantikan Assad dengan pemerintahan yang tulus dan bukan pemerintahan boneka. Dalam perkembangan terakhir kita melihat bahwa bukan rakyat Suriah melainkan AS dan Eropa yang terus-menerus menyoroti kemungkinan perang saudara. Jika terjadi perang saudara akan merupakan perang antara Sunni dan Alawi dan akan membelokkan tujuan untuk menggulingkan rezim Assad. Hal ini tidak hanya akan memberi AS lebih banyak waktu untuk membangun rezim pasca al-Assad – suatu strategi AS yang digunakan di Irak- melainkan juga akan menjadi dalih intervensi asing. Ini sudah dapat dilihat saat Barat menuduh gerilyawan asing yang mendukung Tentara Pembebasan Suriah sekaligus menodai perjuangan FSA seperti yang dilakukan dengan Sunni di Irak yaitu dengan mengatakan mereka dibantu oleh al Qaeeda.
Mengapa Arab Saudi, Yordania dan sebagian besar negara-negara Teluk tidak melihat adanya pemberontakan massa?
Hubungan antara para penguasa dan rakyat di negara-negara itu berbeda jika dibandingkan dengan hubungan antara para penguasa dan rakyat di Libya, Suriah dan Mesir. Di Libya, Suriah dan Mesir, para penguasanya memerintah dengan tangan besi, mendirikan apa yang dinamakan sebagai polisi negara dan hubungan sosial dipertahankan melalui dinas rahasia. Faktor-faktor ini tidak ada di negara-negara Teluk, Saudi dan Yordania.
Di Yordania, protes rakyat telah dibatasi sebagai seruan untuk melengserkan Perdana Menteri. Raja Abdullah telah menolak berbagai pemerintah untuk bertanggung jawab atas protes jalanan itu. Sejak kemerdekaan Yordania pada tahun 1946, istana telah menunjuk lebih dari 60 perdana menteri, termasuk tiga orang sejak kerusuhan pecah di Arab tahun 2011. Raja Abdullah membubarkan Pemerintahan Perdana Menteri Samir Rifai dan kemudian memasukkan Marouf al-Bakhit, seorang mantan jenderal AD, yang bertanggung jawab membentuk kabinet baru dan melembagakan reformasi. Protes masih terus berlanjut, hingga menyebabkan Raja Abdullah memecat Bakhit dan kabinetnya, lalu menunjuk AWN Shawkat Al-Khasawneh untuk memimpin pemerintah baru dan lembaga reformasi baru. Sejauh ini, Raja Abdullah berhasil menanggulangi protes rakyat dengan terus-menerus membubarkan pemerintah dan hal ini telah menenangkan rakyat.
Di Arab Saudi telah terjadi protes di wilayahnya saat pemberontakan kaum Syiah dan hal ini telah menyebabkan sebagian penduduk untuk mendukungnya di kota-kota seperti Qatif, al-Awamiyah, dan Hofuf. Untuk menanggulangi pemberontakan, monarki itu memberikan banyak uang bagi warganya sebesar $ 10.7 milyar. Ini termasuk pendanaan untuk mengimbangi inflasi yang tinggi dan untuk membantu pengangguran bagi kaum muda dan bagi warga negara Saudi yang belajar di luar negeri, serta sebagai pinjaman. Sebagai bagian dari skema itu, pegawai pemerintah di Saudi mendapat kenaikan gaji sebesar 15%, dan uang tunai disediakan untuk pinjaman perumahan. Tidak ada reformasi politik yang diumumkan sebagai bagian dari paket itu. Mufti Besar Arab Saudi juga mengeluarkan fatwa yang menentang petisi dan demonstrasi, dimana fatwa itu menyertakan “ancaman besar terhadap perbedaan di dalam negeri.”
Negara-negara Teluk tidak melihat banyak protes selain di Bahrain dan Oman. Negara-negara kota seperti itu menenangkan pemberontakan dengan membuat beberapa reformasi, merubah kabinet dan memperbaiki ekonomi. Sementara banyak dari mereka yang memiliki pemerintahan monarki, mereka tidak memerintah dengan tangan besi. Sementara Bahrain terus menekan penduduk yang mayoritas Syiah, Oman merupakan satu-satunya negara Teluk dimana terjadi protes yang signifikan. Sultan melanjutkan kampanye reformasinya dengan membubarkan beberapa kementerian, menyiapkan yang baru, memberikan kemudahan bagi mahasiswa dan pengangguran, memecat sejumlah menteri, dan me-reshuffle kabinetnya tiga kali. Selain itu, diciptakan hampir 50.000 pekerjaan di sektor publik, termasuk 10.000 pekerjaan baru di Kepolisian Oman. Upaya pemerintah sebagian besar telah menenangkan demonstran, dan di Oman belum ada demonstrasi yang signifikan sejak Mei 2011, saat protes yang semakin keras di Salalah berhasil ditundukkan.
Apakah pemberontakan di Bahrain merupakan perjuangan sektarian?
Mayoritas penduduk Bahrain adalah Syiah – yakni lebih dari 70% nya, namun pemerintahnya adalah Sunni dan sangat terkait dengan Arab Saudi. Secara ekonomi, penduduk Syiah di sana tidak bernasib sebaik penduduk Syiah di negara-negara lain di kawasan itu dan ketegangan antara pemerintah dan masyarakat telah lama ada.
Krisis di Bahrain terjadi antara monarki dan kaum Syiah. Hal ini karena adanya pengabaian dan penindasan oleh monarki yang menindas kaum muslimin hingga memaksa banyak orang untuk turun ke jalan. Secara historis, strategi kolonial yang dipakai adalah dengan menempatkan kaum minoritas sebagai pernguasa atas mayoritas, sehingga mereka akan selalu membutuhkan bantuan asing. Inggris meninggalkan minoritas kaum Sunni untuk berkuasa atas mayoritas kaum Syiah di Irak, juga di Suriah dimana minortitas Alawi ditempatkan pada kekuasaan atas mayoritas kaum Sunni.
Masalah di Bahrain adalah campur tangan asing dan penguasa yang bermuka dua, sektarianisme dalam beberapa kasus telah memicu mereka untuk mempertahankan status quo.
Mengapa kita tidak melihat pemberontakan di Pakistan?
Pakistan belum menjadi pemerintahan diktator yang brutal seperti telah terjadi di Libya, Suriah dan Mesir. Sejak era Musharraf, Pakistan telah bergerak sedemikian rupa, seperti yang dapat terlihat dengan tewasnya banyak orang yang tampaknya terkait dengan terorisme, ini adalah sebuah fenomena yang relatif baru. Pemerintahan di Libya, Mesir dan Suriah ada di tangan para diktator brutal dan satu-satunya cara untuk mengubahnya adalah melalui pemberontakan.
Tidak seperti di Libya, Mesir dan Suriah, Pakistan memiliki sistem politik yang tidak dikontrol oleh sebuah klan tunggal, disana terdapat pusat-pusat kekuasaan yang berbeda, dimana dua keluarga secara historis mendominasi sistem politik. Para pemilik tanah yang feodal, industrialis, keluarga-keluarga kaya dan tentara, semua adalah pusat kekuasaan yang mempertahankan arsitektur politik Pakistan. Sementara itu kaum oportunis, faksi-faksi dan individu dan kelompok-kelompok Islam telah memasuki proses politik untuk kepentingan pribadi mereka. Proses politik di Pakistan melibatkan segmen masyarakat yang jauh lebih luas dibandingkan dibandingkan dengan di Libya, Mesir dan Syria dan hal ini telah menjadi garis hidupnya.
Untuk saat, perubahan di Pakistan adalah menjadikan sistem politik, yakni parlemen untuk lebih demokratis atau mensahkan beberapa hukum Islam. Itulah sebabnya mengapa belum ada pemberontakan di negara ini meskipun perekonomian memburuk dan pemadaman listrik telah menjadi hal biasa.
Bagaimana situasi saat ini di Mesir?
Sejak Nasser merebut kekuasaan pada tahun 1952, militer membangun arsitektur politik Mesir. Sistem ini terus menjadikan tentara bertanggung jawab atas isu-isu strategis seperti kebijakan Luar Negeri, dan Pertahanan. Pada beberapa kesempatan, sebagian aspek kebijakan dalam negeri diserahkan kepada parlemen untuk ditangani. Namun Nasser, Sadat dan Hosni Mubarak berkuasa dengan kuat. Pemilihan parlemen yang telah berlangsung sejak tahun tahun 1950an pada kenyataanya telah menjadi hiasan belaka karena semua kekuatan tetap di tangan militer, yang telah mengambil pos kepresidenan dalam sebagian besar sejarah Mesir.
Namun, Musim Semi Arab menantang arsitektur politik ini dan tentara melihat kepentingan mereka mulai terancam, kemudian melengsengkan Mubarak dari kekuasaannya. SCAF – Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata – yang merupakan kepemimpinan militer Mesir, telah mengawasi transisi kekuasaan sejak itu. Pemilihan presiden dan pemilu untuk parlemen pada bulan November 2011 adalah sistem yang sama seperti yang dibangun Nasser pada tahun 1950. Namun, pada kesempatan ini berwajah sipil. Apa yang telah terjadi di Mesir merupakan kelanjutan dari sistem lama dengan wajah baru.
Pemilihan ini berlangsung dalam suatu lingkungan, di mana kekuasaan presiden tidak didefinisikan dan konstitusi negara juga belum ditulis. Jadi hasilnya adalah tidak berguna karena kekuatan partai pemenang pemilu bahkan tidak didefinisikan. Skenario ini bukanlah sebuah kecelakaan. SCAF telah menunda penulisan konstitusi negara untuk memastikan kepentingan mereka selalu tetap terlindungi.
Tindakan SCAF menjelang pemilihan presiden dengan mengeluarkan keputusan konstitusional memberikan diri mereka kekuasaan yang luas atas konstitusi masa depan, anggaran pemerintah, kebijakan luar negeri dan hak memveto undang-undang, yang jelas menunjukkan bahwa para jenderal tidak berniat menyerahkan kekuasaan dalam waktu dekat. Mereka bahkan membawahi peradilan, yang sangat dipengaruhi oleh militer hingga mereka membubarkan parlemen.
SCAF melengserkan Hosni Mubarak dan masih mempertahankan kekuasaannya. Hal ini dilakukan untuk memastikan kekuatannya tidak lenyap dengan memutuskan kekuasaan presiden. Mesir masih memiliki tentara yang mendominasi kekuasaan dan sekarang mendominasi seorang presiden – perubahan yang terjadi hanyalah bahwa Hosni Mubarak tidak lagi berkuasa.
Presiden baru Muhaamed Mursi, akan perlu membuat kesepakatan dengan militer agar tetap berkuasa, sambil menenangkan rakyat Mesir yang memilih dia karena janji Islam. Suatu kebuntuan antara tentara dan rakyat mungkin terjadi.
Bagaimana situasi saat ini di Tunisia?
Sejak pemilu bulan Oktober 2011 dimana Ennahda menang dengan 38% total suara, tidak cukup menjadikannya mayoritas. Majelis Konstituante memiliki mandat satu tahun untuk menyusun konstitusi. Sejak itu, Ennahda telah menarik kembali landasan mereka untuk kembali pada Islam. Mereka telah menyatakan tidak akan mendukung untuk menjadikan syari’at sebagai sumber utama perundang-undangan dalam konstitusi baru dan akan menjaga sifat sekuler negara. Sikap Ennahda pada sebuah masalah telah mempertentangkan negara itu sejak pemberontakan dimulai.
Ennahda, yang muncul sebagai partai terbesar dalam pemilu demokratis pertama di Tunisia telah menyatakan pihaknya akan terus menjaga pasal pertama konstitusi 1956 dalam hukum konstitusi baru yang sedang dirancang. Ayat ini mengabadikan pemisahan agama dan negara, dimana dinyatakan bahwa: “. Tunisia adalah negara, yang merdeka dan berdaulat, agama adalah Islam, bahasanya adalah bahasa Arab dan merupakan sebuah republik.” “Kami tidak akan menggunakan hukum untuk memaksakan agama, ” kata pemimpin Ennahda, Rachid Ghannouchi, kepada wartawan setelah komite konstituen partai memilih mempertahankan ayat konstitusi. Ayat tersebut, tambahnya,” merupakan objek konsensus di antara semua elemen masyarakat; yang melestarikan identitas Tunisia sebagai negara Arab-Muslim sementara menjamin prinsip-prinsip negara demokratis dan sekuler.” Islam adalah agama resmi Tunisia sementara konstitusi menetapkan presiden harus seorang Muslim, negara itu kebanyakan sekuler.
Bagaimana situasi saat ini di Libya?
Saat ini Libya tidak memiliki tentara yang sepenuhnya mapan. Pasca jatuhnya Gaddafi dan rezimnya, Libya tidak memiliki otoritas politik terpusat. Negara ini masih berjuang untuk pulih dari perang panjang selama berbulan-bulan melawan Gaddafi, dan baik NTC maupun pemerintahan transisi yang terbentuk pada November 2011 menyatakan memiliki wewenang dan legitimasi. Kekuatan tetap di tangan milisi bersenjata, dan tidak satupun dari mereka yang cukup kuat untuk mulai bertindak sebagai kekuatan militer nasional. Masyarakat internasional telah lama memandang NTC sebagai cikal bakal negara Libya di masa depan. Laporan media telah menggambarkan bagaimana pemerintahan interim teknokratis sedang melakukan negosiasi kontrak-kontrak dengan perusahaan-perusahaan barat.
Namun pada saat ini, jumlah NTC memiliki tantangan yang paling mendasar bagi pembentukan negara: membangun keamanan dalam negeri. Pembentukan Tentara Nasional Libya yang masih berlangsung merupakan pusat tekanan atas NTC untuk menyelesaikan tugas ini.
Pemilu yang dijadwalkan pada bulan Juni 2012 telah ditunda karena NTC mempunyai sedikit wewenang. Libya sekarang dikendalikan oleh jaringan milisi bersenjata, dengan banyak dari mereka mewakili suku-suku yang kuat. Kelemahan pemerintah pusat berarti mereka dapat beroperasi dengan mendapat kebebasan hukuman (impunitas). Beberapa kota telah melakukan eksperimen politik mereka sendiri. Pada bulan Februari 2012, kota Misrata secara sepihak mengadakan pemilu sendiri.
Libya sangat cepat menjadi negara seperti Irak ketika AS menginvasi negara itu.
Kesimpulan
Musim Semi Arab di ulang tahunnya yang 18 bulan berada mungkin dibajak oleh partai-partai Islam untuk kepentingan mereka sendiri. Setelah banyaknya rakyat yang dikorbankan di jalanan dalam melawan diktator brutal, umat di wilayah itu memilih partai-partai Islam karena mereka mewakili Islam. Partai-partai Islam itu tampaknya sekarang memiliki keraguan atas penerapan Islam dan selalu menemukan alasan untuk tidak menerapkan Islam.
Saat umat menggulingkan para penguasa diktator, kelompok-kelompok tersebut harus ingat bahwa mereka juga dapat dengan mudah terlempar. Kelompok-kelompok semacam ini sekarang menemukan diri mereka berkuasa dan sekarang harus mengembangkan kebijakan bagi masalah kedaerahan seperti pengangguran, pembangunan dan kemiskinan – Ini akan menjadi ujian sesungguhnya bagi mereka, memenangkan pemilu hanyalah awal. (RZ)
Sumber:www.khilafah.com