Topeng Demokrasi Tidak Bisa Menyembunyikan Belenggu Kemiskinan Perempuan Indonesia

Hidup di dalam sistem demokrasi sangat mahal bagi kaum perempuan. Tidak terkecuali di Indonesia, negeri yang dianggap sebagai model demokratis terbaik dari negeri muslim. Realitas menunjukkan perempuan Indonesia masih terbelenggu oleh kemiskinan. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Gumelar, pertengahan Mei lalu menyatakan saat ini diperkirakan ada sekitar 7 juta perempuan di Indonesia yang berperan sebagai kepala keluarga dan mereka hidup dibawah garis kemiskinan dengan pendapatan dibawah US$ 1 dollar. Jumlah ini mewakili lebih dari 14% dari total jumlah rumah tangga di Indonesia. Bahkan menurut aktifis LSM Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), sebenarnya jumlah perempuan kepala keluarga di Indonesia datanya jauh lebih besar melebihi yang tercatat oleh pemerintah, yakni mencapai 10 juta orang.

Belenggu kemiskinan yang membelit perempuan Indonesia juga ditunjukkan dengan tingginya angka buruh migran perempuan low skilled yang mencapai 7 juta jiwa di luar negeri. Kemiskinan adalah faktor terbesar yang memaksa perempuan Indonesia bekerja ribuan kilometer di negeri orang tanpa adanya jaminan perlindungan dari negara. Hal ini memacu masalah lain yaitu problem kekerasan pada buruh migran, bahkan sampai meregang nyawa jauh dari sanak saudara. Menurut Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care, tindak kekerasan dan pembunuhan terhadap TKW meningkat setiap tahunnya, untuk data tahun 2009 saja angka TKW yang menjadi korban kekerasan sudah sebesar 5.314 orang.

Fenomena mengerikan ini menunjukkan kegagalan sistem demokrasi sekuler dalam memenuhi hak-hak ekonomi perempuan, yang memaksa perempuan untuk bermigrasi ribuan kilometer hanya demi mempertahankan standar dasar kehidupan. Demokrasi memiliki konsekuensi yang mahal dan kejam bagi perempuan. Apalagi kondisi ini justru melanda Indonesia, negeri yang dipandang oleh pemerintah AS sebagai negara yang paling berhasil melangsungkan demokratisasi di antara negeri-negeri muslim lainnya.

Sejumlah pemimpin Barat telah memuji Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia Muslim dan contoh bagaimana Islam dan demokrasi dapat dikombinasikan dengan baik. Sebagai contoh, pada bulan Desember 2010, Presiden Obama menyampaikan pidato untuk audiens sekitar 6.000 orang di Universitas Indonesia, Jakarta, di mana ia menggambarkan “transformasi demokratis yang luar biasa” di Indonesia dan toleransi beragamanya yang mampu  berdiri sebagai contoh untuk negara berkembang lainnya. Dia juga berkomentar bahwa AS memiliki kepentingan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai pasar untuk produk Amerika dan juga sebagai sekutu dalam penyebaran demokrasi. Nada yang sama juga dimainkan oleh Perdana Menteri Inggris David Cameron ketika ia mengunjungi Jakarta pada bulan April 2012. Dia secara khusus menyatakan bahwa penghormatan Indonesia terhadap demokrasi dan kelompok-kelompok minoritas agama harus menjadi contoh bagi negara-negara Muslim lainnya. AS dan negara Barat lainnya memang memiliki misi untuk menyebarkan sistem demokrasi di seluruh dunia, mengklaim bahwa itu adalah sistem tertinggi yang digunakan untuk mengatur masyarakat secara efektif dan mengamankan kebutuhan masyarakat dan hak.

Kebohongan pemerintah Barat tentang demokrasi harus dibedakan dari realitas nyatanya. Pujian terhadap demokratisasi Indonesia jelas hanya propaganda ambisius dari agenda kapitalistik-sekuler mereka. Topeng manis demokrasi yang menutupi Indonesia tidak bisa menghapuskan ataupun menyembunyikan belenggu kemiskinan yang menimpa perempuan Indonesia. Wajah sebenarnya dari demokrasi adalah sistem gagal yang tidak mampu untuk memelihara urusan umat manusia secara efektif.

Di sisi lain upaya kalangan feminis melalui jalur perundangan berbasis gender di Indonesia dengan memasukkan hak-hak perempuan dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan dan hukum hampir selalu menemui jalan buntu. Meski Indonesia sudah memiliki beberapa undang-undang berbasis gender dan bahkan saat ini sedang membahas Rancangan UU Keadilan dan Kesetaraan Gender, namun undang-undang ini sudah bisa dipastikan hanya memiliki pengaruh yang sangat kecil di bawah gurita sistem politik yang berpihak untuk kepentingan elit politik, dan tidak berkutik di bawah disfungsi sistem ekonomi yang mengkonsentrasikan kekayaan negara di tangan segelintir orang dan memiskinkan sebagian besar rakyat.

Secara sistemik demokrasi melahirkan negara korporasi yang terbentuk dari simbiosis mutualisme elit politik dan pemilik modal yang tidak akan pernah berpihak pada rakyat, termasuk perempuan. Sistem ini menjadikan uang atau modal sebagai panglima. Sebagai contohnya adalah lebih dari 80% migas Indonesia dikuasai perusahaan asing begitupun kekayaan alam Indonesia lainnya. Sementara angka kemiskinan terus meningkat, angka korupsi yang juga meningkat, kemudian juga konflik sosial di tengah-tengah masyarakat yang juga cenderung meningkat.

Perempuan Indonesia akan memiliki kisah yang berbeda 180 derajat, jika negeri ini menerapkan sistem Khilafah Islam. Karena Khilafah sangat kredibel dan telah teruji dalam waktu yang lama dalam menangani kemiskinan, sekaligus tetap menjaga kehormatan perempuan. Ini adalah sebuah sistem yang akan menerapkan secara komprehensif hukum-hukum ekonomi Islam yang ditentukan oleh Allah (Swt), Zat yang memiliki semua pengetahuan tentang cara terbaik untuk menjamin kebutuhan umat manusia dan mengatur urusan masyarakat. Ini adalah sebuah sistem yang memiliki warisan sejarah untuk menciptakan kemakmuran ekonomi dan pemberantasan kemiskinan pada negeri-negeri yang diperintahnya.

Khilafah, berkewajiban untuk memberlakukan jaminan pemenuhan nafkah (kebutuhan dasar) terhadap perempuan, termasuk standar yang baik pada layanan pendidikan, kesehatan dan perlindungan/keamanan. Bahkan Islam mengatur bahwa perempuan secara finansial akan selalu dipelihara oleh kerabat laki-laki mereka. Bagi pria yang tidak memiliki pekerjaan, negara harus berusaha maksimal untuk menciptakan kesempatan kerja termasuk menyediakan bunga bebas hibah untuk mereka yang tidak memiliki modal untuk memulai usaha, atau memberikan tanah / lahan pertanian sehingga mereka dapat mengolahnya dan menjadi mata pencaharian untuk memelihara diri dan keluarga mereka. Bagi pria yang secara fisik tidak dapat mencari nafkah atau untuk para wanita yang tidak memiliki kerabat laki-laki untuk mempertahankan mereka, negara memiliki kewajiban untuk menanggung mata pencaharian mereka.

Hal ini sesuai dengan sabda Nabi (saw​​), “Imam adalah penggembala (ro’in), dan ia bertanggung jawab untuk orang-orang yang digembalakannya” dan, “Jika seseorang mati (di kalangan umat Islam) meninggalkan harta, maka harta akan pergi ke ahli warisnya; dan jika ia meninggalkan utang atau tanggungan, kami akan mengurus mereka”. Demikian juga Rancangan Konstitusi Hizbut Tahrir untuk negara Khilafah yang menyatakan, “Negara menjamin dukungan yang memadai bagi mereka yang tidak memiliki dana, tidak ada pekerjaan dan penyedia tidak. Negara bertanggung jawab untuk perumahan dan memelihara penyandang cacat dan cacat.

Konsekuensinya dalam Khilafah,perempuan tidak akan bermigrasi ribuan kilometer hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokoknya. Saatnya perempuan Indonesia kembali pada Islam dan meninggalkan sistem demokrasi. Sistem Khilafah adalah satu-satunya yang mampu menangani dengan kredibel dan memberikan solusi praktis untuk berbagai masalah politik, ekonomi dan sosial yang saat ini menimpa perempuan di seluruh negeri-negeri Muslim dan di seluruh dunia, termasuk perempuan Indonesia.

Fika Monika Komara

Member of Women’s Section, South East Asia

Central Media Office, Hizb ut-Tahrir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*