Beberapa masjid dilempari batu hingga sekarang dan tidak ada tindakan apa-apa.
Sejak tahun 1968 warga Muslim Satuan Brigade Mobil Polda Papua tidak memiliki tempat ibadah. Padahal jumlah kaum Muslimin Korps Baret Biru yang beralamat di Jalan Raya Abepura 1, Abepura, tersebut berjumlah sekitar 70-75 KK.
Berkali-kali, personel satuan elite kepolisian yang beragama Islam mengusulkan agar dibangun sebuah masjid, namun tidak pernah digubris. Alhamdulillah, 38 tahun kemudian tepatnya pada 2006, saat mereka dipimpin oleh komandan satuan yang beragama Islam Kombes Pol Irwanto, harapan mereka dikabulkan.
Namun sayang, ketika Polda Papua dijabat oleh Irjen Pol Tomy Yakobus, pembangunan pun dihentikan. Lantaran Kapolda yang non Muslim itu mengintruksikan penghentian sementara pembangunan masjid dengan alasan akan adanya pelebaran dan pembangunan Markas Brimob.
“Entah berkaitan atau hanya kebetulan Kombes Pol Irwanto pun dimutasi,” ujar salah seorang nara sumber yang tidak mau disebutkan namanya kepada Media Umat, Kamis (14/6) di Masjid Al Muhajirin Brimobda, Papua.
Sehingga, masjid yang direncanakan dibangun dua lantai dan baru rampung pemasangan rangka dan tembok lantai satu tersebut langsung dihentikan pada April 2007. Hingga sekarang rangka lantai dua dan rangka kubah tetap dibiarkan hingga berlumut.
Idealnya, masjid tersebut dibangun dua lantai, lantaran yang beribadah di masjid ini cukup banyak, bukan hanya yang berada di dalam kompleks saja tetapi juga warga Muslim sekitar. Tapi alih-alih dilanjutkan kembali pembangunannya, justru rangka lantai dua akan dirobohkan.
“Sampai saat ini tidak ada kelanjutan dari info tentang pembangunan kembali, bahkan ada rencana untuk meratakan lantai dua yang tidak jadi dibangun, dengan alasan tidak ada biaya,” tambahnya.
Begitulah nasib minoritas Muslim Papua di tengah-tengah mayoritas non Muslim yang tidak toleran. Ketika non Muslim yang tidak toleran ini berkuasa, maka ia melakukan kebijakan yang mengada-ada untuk menghambat pembangunan masjid.
Dilempari Batu
Intoleransi terhadap minoritas Muslim dialami juga oleh umat Islam warga Perumahan Organda, Padang Bulan, Abepura, Jayapura, Papua. Setelah perjuangan yang panjang dan alot akhirnya mereka mengantongi izin untuk membangun. Warga Muslim Organda yang berjumlah 60 KK ini pada 2007 akhirnya dapat membangun masjid.
Namun demikian, sejak masjid dibangun hingga sekarang teror pelemparan batu terus dilakukan oleh mereka yang tidak suka dengan pembangunan tempat ibadah bagi umat Islam ini.
“Pelemparan itu kadang terjadi saat azan dikumandangkan atau saat pelaksanaan shalat kadang berturut-turut tiga hari, kadang seminggu sekali, kadang sebulan sekali,” ujar Ustadz Ahyar, imam dan pengurus Masjid Al Ikhlas Organda kepada Media Umat, Kamis (14/6) di Masjid Al Ikhlas Organda.
Teror pelemparan batu pun terjadi di masjid lainnya. Ini dialami di masjid At Taqwa. Masjid yang dibangun dari tanah wakaf Muhammadiyah Kota Jayapura ini, mendapatkan izin setelah perdebatan yang cukup alot dengan pemuka agama non Muslim.
Menurut Ustadz Mahmud Nuhuyanan, imam dan pengurus Masjid At Taqwa, masjid ini dibangun sekitar tahun 1982 dan dipakai untuk shalat lima waktu dan shalat Jumat untuk warga yang berada di sekitarnya.
Namun sejak 2005 hingga sekarang, sering menjadi sasaran pelemparan batu ketika saat azan shalat dikumandangkan.
Di samping masjid ini, ada tanah yang cukup luas milik Yayasan Muhammadiyah. Namun ketika akan dibangun pondok pesantren, tokoh-tokoh masyarakat non Muslim menolaknya.
“Bahkan rumah seorang sesepuh Muhammadiyah yang tinggal di situ dilempari batu hingga kaca depan rumahnya hancur,” ujarnya kepada Media Umat, Kamis (14/6) di Masjid At Taqwa.
Akhirnya, pada 2010 terjadi kesepatan dengan tokoh non Muslim bahwa pesantren batal didirikan dengan syarat tidak boleh ada lagi pelemparan batu ke masjid.
Namun pada 2012, masjid dilempari lagi hingga memecahkan salah satu kaca pintu. Kejadian -kejadian pelemparan batu telah dilaporkan ke polisi dan juga ke Korem namun tidak ditanggapi.
Sikap tidak toleran juga dilakukan non Muslim ke Yayasan Ponpes Al Muttaqin, Bumi Perkemahan (Buper), Waena, Jayapura, Papua. Pelemparan batu diduga dilakukan oleh orang yang benci dan tidak suka terhadap pendirian Ponpes ini.
Bahkan pada momen hari Paskah, tahun lalu, pihak Gereja Kristen Indonesia (GKI) yang terdiri dari gabungan unsur Persekutuan Anggota Muda (PAM) dan Persekutuan Anak dan Remaja (PAR) secara resmi melayangkan surat agar masjid yang berada di kompleks Ponpes mematikan pengeras suara azan.
Menurut Ustadz Yatiman, Pimpinan Yayasan, hubungan yayasan dengan warga sekitar yang non Muslim baik. “Yang tidak baik hanya dengan elite pendeta, terutama pendeta dari suku luar Papua yakni Manado dan Jawa yang sering memprovokasi pendeta asli Papua untuk menolak keberadaan yayasan,” ungkapnya kepada Media Umat, Kamis (14/6) di Yayasan Al Ponpes Al Muttaqin.
Modus teror dengan lemparan batu juga menimpa Masjid Nurul Iman, Polimak, Jayapura. “Hal itu terjadi sejak tahun 1998 hingga tahun kemarin, bahkan toa untuk azan pun pernah dicuri meski hanya sekali,” ujar Ketua DKM Masjid Nurul Iman Ustadz Subiakto Bakri kepada Media Umat, Kamis (14/6) di Masjid Nurul Iman.
Intoleransi di NTT
Nasib serupa dialami pula oleh minoritas Muslim di NTT. Di Kupang, misalnya. Sejak tahun 1990, pembangunan tempat ibadah untuk warga minoritas Muslim di Kelurahan Batu Plat Kecamatan Alak selalu dihalangi.
“Walikota Kupang sudah memberikan izin cuman ada segelintir warga di sekitar yang non Muslim masih mempersoalkan walaupun surat-surat persayaratan sudah terpenuhi,” ujar Ketua MUI Kupang Abdul Fatah Ahmad kepada Media Umat, Rabu (13/6) di kediamannya.
Karena sudah mengantongi izin, pembangunan masjid dimulai. Namun baru saja dipasang pondasi, menjelang Pemilukada 2008 kondisi jadi tidak kondusif , akhirnya pembangunan masjid terhenti.
“Alhamdulillah Pemilukada selesai, Walikota sudah membolehkan secara lisan,” ujarnya. Namun pembangunan masjid masih tertunda menunggu kondisi lingkungan kondusif.
Menurut Abdul Fatah, selain penolakan pembangunan masjid, non Muslim pun melakukan pencopotan pengeras suara azan dan amplifire masjid. “Hal itu terjadi beberapa tahun lalu di Masjid Al Ikhlas, Bonipoi,” ungkapnya.
Intoleransi di Kalteng
Sekretaris Umum MUI Provinsi Kalimantan Tengah H Syamsuri Yusuf menyatakan intoleransi terjadi di kantor-kantor instansi pemerintah. “Di kantor-kantor instansi pemerintah masih ada yang menolak keberadaan atau pembangunan mushala,” ujarnya kepada Media Umat, Kamis (14/6) di kediamannya.
Selain itu toleransi salah yang mengarah pada upaya sinkretisme juga terjadi. Seperti dalam kasus pembangunan Masjid Raya Darussalam yang di SK-kan oleh Gubernur Kalimantan Tengah. Dalam SK tersebut dimasukkan pula orang-orang dari non Muslim. Ada juga seruan untuk melaksanakan buka puasa bersama di gereja oleh Kepala Kesbanglinmas pada Kamis, 7 Juni 2012. Serta seruan-seruan lain seperti ucapan “Selamat Natal” ataupun ucapan salam dalam semua agama.[]Joko Prasetyo dari kontributor daerah