KONSTITUSI kita memang menjamin pemegang kekuasaan negara untuk aktif dalam percaturan internasional demi tercapainya perdamaian abadi dan keadilan sosial. Namun, langkah itu tetap harus dalam prinsip-prinsip persamaan derajat tanpa ketertundukan.
Celakanya, apa yang kita saksikan belakangan ini terkait dengan keikutsertaan Indonesia dalam sebagian forum internasional ialah kesan latah. Sekadar ikut demi meraih citra global.
Salah satunya ialah keikutsertaan dalam G-20. Alih-alih memperoleh manfaat ekonomi yang sangat besar, Indonesia justru harus terbebani ini-itu demi memantapkan posisi di forum yang berisi sejumlah negara maju dan negara berkembang tersebut.
Kasus terakhir ialah kesepakatan antarnegara anggota G-20 untuk memberikan kontribusi modal kepada Dana Moneter Internasional (IMF) dalam konferensi tingkat tinggi di Meksiko, pekan lalu. Jepang siap berkontribusi US$60 miliar, China US$43 miliar, Singapura US$4 miliar, dan Indonesia US$1 miliar (sekitar Rp9,5 triliun).
Kontribusi itu dimaksudkan untuk memperkuat permodalan IMF yang nantinya akan disalurkan kepada negara-negara yang terkena imbas krisis ekonomi.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro yakin benar bahwa kontribusi dalam bentuk pembelian surat berharga IMF tersebut tidak merugikan negara. Hal itu disebabkan, menurut Bambang, uang yang dikeluarkan bukan dari APBN, melainkan dari cadangan devisa.
Dengan logika itu, pemerintah yakin uang yang dikeluarkan tetap menjadi aset negara serta bagian dari pengelolaan devisa. Rencana itu sedang dalam pertimbangan pemerintah dan keputusan ada di tangan presiden.
Pertimbangan lain membantu IMF ialah ekonomi Indonesia dinilai relatif bagus sebagai emerging market dan merupakan negara dengan kapasitas ekonomi terbesar di ASEAN.
Pertanyaannya, benarkah negeri ini berlimpah uang? Bukankah untuk membangun infrastruktur dan memenuhi segala kebutuhan pemerintah sering kekurangan dana dan untuk itu harus berutang?
Negara ini masih butuh banyak alokasi anggaran untuk pertahanan, keamanan, infrastruktur, dan kesejahteraan rakyat. APBN pun bahkan didesain untuk defisit agar rupa-rupa kebutuhan bisa dicukupi.
Data Ditjen Pengelolaan Utang Kemenkeu per Mei 2012 menunjukkan total utang pemerintah Indonesia mencapai Rp1.944,14 triliun. Itu berarti utang pemerintah naik Rp140,65 triliun dari posisi di akhir 2011 yang mencapai Rp1.803,49 triliun. Utang pemerintah itu terdiri dari pinjaman Rp639,88 triliun dan surat berharga Rp1.304,26 triliun.
Memang benar, rasio utang itu masih 26,5% jika dibandingkan dengan produk domestik bruto Indonesia sebesar Rp7.226 triliun. Namun, utang yang terus membengkak jelas situasi yang membahayakan untuk jangka panjang.
Karena itulah, di tengah kondisi keuangan negara yang tidak bisa dikatakan aman untuk jangka panjang, kontribusi US$1 miliar kepada IMF jelas berlebihan. Langkah itu harus ditinjau ulang.
Janganlah demi mengejar citra kejayaan di panggung global, pemangku kepentingan di negeri ini menutup mata atas kondisi di dalam negeri.
Apalah artinya hebat di mata G-20, tapi faktanya jumlah orang miskin masih lebih dari 29 juta orang. (mediaindonesia.com, 4/7/2012)