LSM bekerja, semua karena faktor proyek, untuk dapat duit dan dapat makan.
Begitu Dewan HAM PBB mengeluarkan rekomendasi, beberapa LSM langsung buka suara. Mereka ramai-ramai mendukung hasil sidang tersebut. Tercatat KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Setara Institute, Wahid Institute, AHRC (Asian Human Rights Commission), ICTJ (International Center for Transitional Justice), PGI (Persekutuan Gereja Indonesia) serta Protection International (PI) menyambut baik rekomendasi tersebut.
Tidak hanya itu, mereka mendesak pemerintah untuk merealisasikan rekomendasi-rekomendasi tersebut dalam turunan yang lebih konkrit. Mereka pun bersedia menjadi mitra pemenuhan itu.
Di luar itu, ‘kompor-kompor’ pun tak ketinggalan. Center for Strategic and International Studies (CSIS) misalnya. Lewat Ketua Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips J Vermonte mengatakan, negara gagal menghormati dan melindungi komponen mendasar hak asasi yang menjadi basis demokrasi (Kompas, Rabu 6/5/2012). Perspektif lain, masyarakat juga gagal melindungi dan menegakkan semangat pluralisme sebagai basis demokrasi yang sehat.
Mereka berani bicara dengan alasan data. Data utamanya adalah hasil survei Setara Insitute. Namun, bagi yang jeli menilai isi survei itu, orang bisa melihat bahwa survei itu memang ‘by design’ dan pijakannya adalah murni pandangan Barat.
Dalam survei tahun 2010 tentang ‘Toleransi Sosial Masyarakat Perkotaan’, pertanyaannya sangat tendensius pro Barat. Misalnya, mempertanyakan sikap terhadap anggota keluarganya yang pindah agama. Sikap menolak langsung disimpulkan sebagai intoleran. Keluarga yang melarang anggota keluarganya menikah dengan orang yang berbeda agama juga dianggap intoleran. Demikian pula dalam survei tentang keberagamaan publik dan sikapnya terhadap Ahmadiyah, sikap ketidaksetujuan terhadap Ahmadiyah, juga langsung dicap intoleran. Kenapa? Karena itu semua tidak sesuai dengan prinsip hidup Barat!
Pertanyaan berikutnya, mengapa LSM itu rela menjadikan prinsip Barat sebagai landasannya? Menurut Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming, itu semua karena faktor proyek, untuk dapat duit dan dapat makan. “Kalau tidak begitu tidak makan mereka. Karena mereka didirikan dan dibentuk untuk menggonggong, dana yang mereka terima dari pendonornya ya memang tujuannya untuk itu,” tandasnya kepada Media Umat.
LSM Komprador
Selama ini LSM-LSM itu dikenal liberal dan memihak Barat. Ketua Badan Pekerja Setara Institut Hendardi, dikenal sangat pro Barat. Sepak terjangnya terekam dalam kemerdekaan Timor Timur dari Indonesia. Dia adalah orang LSM yang berada di balik kemerdekaan Timtim bersama Bonar Tigor Naipospos. Setara Institute memperoleh dana negara Barat dan lembaga donor asing.
Tak jauh berbeda dengan Setara adalah CSIS. Lembaga think-tank ini sangat pro terhadap Amerika. Pendirinya adalah orang-orang yang memiliki hubungan kedetakan dengan Amerika. Tak heran, CSIS menjadi kepanjangan tangan Amerika dalam mengendalikan Indonesia melalui penyusunan kebijakan pemerintah selama Orde Baru. Jatuhnya Orba tak melunturkan kedekatan mereka ke negara adidaya ini.
Di luar itu ada Wahid Institute. LSM yang didirikan oleh Abdurrahman Wahid ini dikenal mengemban ide-ide liberal. Lembaga ini memfokuskan pada ide-ide pluralisme, di mana mereka berupaya keras menanamkan pemikiran bahwa semua agama adalah benar. Dana asing pun mengalir ke LSM tersebut.
Sementara PGI, lembaga itu membawa misi Protestan untuk melaksanakan misi misionasinya. Lembaga ini memiliki kedekatan dengan asing karena kesamaan misinya. Tak mengherankan, PGI tak berjalan sendiri tapi masuk jaringan Kristen internasional.
Di luar itu lembaga-lembaga HAM dan hukum pun tak lepas dari pengaruh Barat. Rata-rata mereka didanai asing. Sumber keuangan YLBHI ini pada masa-masa awal berdirinya hingga tahun 2004 sebagaian besar berasal dari Belanda, Swedia, Belgia, Amerika Serikat, Kanada dan Australia, dalam jumlah ratusan juta hingga milyar rupiah, tergantung proyek dan agenda yang sedang dikerjakan oleh negara-negara Barat tersebut.
Bertolak Belakang
Apa yang disampaikan komprador pengusung HAM bahwa kaum Muslim intoleran, justru bertolak belakang fakta. Duta Besar Inggris untuk Indonedia, Mark Canning mengatakan, Indonesia telah mencapai prestasi luar biasa dalam hal berdemokrasi (Republika, Kamis 7/6/12). Begitu pula dengan Juru Bicara Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia, Ray Marcelo. Ia mengapresiasi toleransi antarumat beragama di Indonesia.
Data yang dikeluarkan Kementrian Agama (Kemenag) Republik Indonesia pun membantah data intoleransi mereka. Pertumbuhan rumah ibadah dari 1977-2004 terjadi peningkatan. Gereja Kristen dari 18.977 buah menjadi 43.909 buah (naik 131,38 persen); gereja Katolik dari 4.939 menjadi 12.473 (naik 152,8 persen); Pura Hindu dari 4.247 menjadi 24.431 (naik 475,25 persen); dan Vihara Budha dari 1.523 menjadi 7.129 (naik 368,09 persen). Bandingkan dengan sedangkan masjid hanya bertambah 64 persen dari 392.044 menjadi 643.843.
Tak salah bila ada yang mengatakan para pengusung HAM ini sejatinya adalah para antek Barat yang ingin melakukan proses westernisasi (pem-Barat-an) di Indonesia. [] (mediaumat/Humaidi)