BADAN Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan kabar gembira. Jumlah penduduk miskin Indonesia terus menurun dari waktu ke waktu meskipun tidak secara signifikan.
Menurut BPS, Senin (2/7), warga miskin telah berkurang 890 ribu jiwa, yakni dari 30,1 juta jiwa pada Maret 2011 menjadi 29,13 juta jiwa pada Maret 2012 atau turun 0,53%. Di perkotaan, jumlah orang miskin berkurang 399.500 orang dan di perdesaan 487 ribu orang.
Berdasarkan angka mutlak, penduduk miskin di Indonesia masih terpusat di Pulau Jawa. Berdasarkan angka relatif atau persentase, penduduk miskin tertinggi ada di Maluku dan Papua, sedangkan terendah ada di Kalimantan.
BPS juga mencatat faktor pendorong penurunan angka kemiskinan itu, antara lain penaikan upah buruh harian tani dan bangunan, penggelontoran raskin, dan pemberian pelayanan kesehatan gratis.
Bukan kali ini saja BPS melontarkan data tentang penurunan jumlah penduduk miskin Indonesia. Hal itu telah dilakukan berulang kali. Data yang dibuka ke publik antara lain menyebutkan berkurangnya jumlah orang miskin sebesar 1%.
Ada dua persoalan menyangkut data BPS itu. Pertama, data BPS itu mencerminkan pemerintah gagal menurunkan kemiskinan di negeri ini. Turun 1% bukanlah prestasi. Kedua, benarkah data BPS betul? Apakah jumlah orang miskin versi BPS itu mencerminkan realitas sesungguhnya?
Sudah lama muncul gugatan tentang kriteria yang digunakan BPS untuk memotret kemiskinan. Hingga kini BPS masih mematok golongan miskin ialah mereka dengan pengeluaran sekitar Rp8.000 per orang per hari.
Kriteria BPS itu jelas masih jauh dari ukuran yang dikeluarkan Bank Dunia, yakni sebesar US$2 per orang per hari atau sekitar Rp19 ribu per orang per hari.
Itulah sebabnya, banyak pihak menilai kriteria BPS untuk mengukur kemiskinan sudah tidak rasional. Celakanya, justru data BPS itulah yang digunakan pemerintah untuk menanggulangi persoalan kemiskinan.
Tidak mengherankan bila kemudian timbul jurang yang menganga begitu lebar antara fakta dan data tentang kemiskinan. Di beberapa daerah, angka kemiskinan malah naik. Misalnya di Yogyakarta, jumlahnya naik sekitar 181 ribu orang dan di Riau bahkan melonjak 483 ribu jiwa.
Fakta juga masih memperlihatkan begitu membeludaknya warga miskin berebut zakat yang dikeluarkan para dermawan pada saat hari-hari besar. Begitu pula, masih banyak warga yang mengadu nasib di negeri orang.
Keakuratan dan kredibilitas pemetaan kemiskinan jelas sebuah kebutuhan dan keharusan, termasuk perlunya pendekatan komprehensif. Kemiskinan tentu tidak bisa dilepaskan dari laju pertumbuhan penduduk masih sangat tinggi, yakni 1,5% per tahun.
Karena itu, penyimpangan pemetaan hanya membuat perkara kemiskinan tidak pernah terselesaikan. Celakanya, pemerintah lebih percaya dan bangga akan data dan angka-angka, tapi membutakan mata sekaligus mengabaikan realitas kemiskinan yang mendera hidup rakyat sehari-hari.(mediaindonesia.com, 5/7/2012)