Jumlah penduduk miskin Indonesia per-Maret 2012 dibandingkan Maret 2012 berkurang dari 30,02 juta orang menjadi 29,13 juta orang (http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan_02jul12.pdf). Angka yang sering dipublikasikan di berbagai media tersebut sebenarnya belum dapat mewakili angka kemiskinan sesungguhnya di Indonesia karena : Pertama, menurut BPS angka tersebut merupakan perhitungan makro dengan sampel hanya sekitar 68.000 rumah tangga dari sekitar 61 juta rumah tangga di Indonesia (http://bimakab.bps.go.id/files/miskin.pdf). Ini berarti hanya menggunkan sampel sekitar 0,1115 persen yang tentunya belum dapat mewakili sampel data secara makro di Indonesia. Kedua, itu pun dengan patokan angka kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang tidak rasional, dengan patokan Rp 230.000 per kapita penduduk per bulan. Lalu bagaimana orang yang hanya menghasilkan Rp 270.000 sebulan? Itu kan berarti dia hanya punya Rp 9.000 sehari, apakah cukup uang sebesar itu untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya dalam sehari? Ketiga, kebutuhan pokok berupa Keamanan, Kesehatan dan pendidikan masih banyak ditanggung oleh warganya sendiri. Sehingga patokannya semestinya bukan rupiah (kuantitatif) namun gabungan antara kualitatif dan kuantitatif.
Dalam Islam, patokan kategori tidak miskin adalah kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang rasional yaitu kemampuan keluarga dalam memenuhi memenuhi kebutuhan individu keluarganya berupa sandang, pangan dan papan secara layak. Itu pun dengan asumsi rakyat sudah tidak menanggung biaya pendidikan, keamanan dan kesehatan, karena Negara Khilafah menjamin penuh kebutuhan pokok individu masyarakatnya di bidang kesehatan, keamanan dan pendidikan. (Sholah)