Libya: Masa Depan Yang Tidak Pasti

Minggu, 8Juli, 2012 08:38

Oleh Adnan Khan

Rakyat Libya menuju ke TPS-TPS pemilu pada tanggal 7 Juli di negara yang melakukan pemilu pertama dalam sejarah dan sejak tersingkirnya Muammar Gaddafi. Pemilu itu adalah untuk pemilihan perdana menteri, kabinet dan otoritas konstituen yang akan bertugas untuk merancang konstitusi baru.

Pasca jatuhnya rezim Gaddafi, Libya tidak memiliki otoritas politik terpusat. Negara ini masih berjuang untuk pulih dari perang panjang berbulan-bulan melawan Gaddafi, dan baik Dewan Transisi Nasional (NTC) maupun pemerintahan transisi yang terbentuk pada November 2011 belum pernah menjadi suatu otoritas, dan memiliki legitimasi sesungguhnya. Kekuasaan tetap di tangan para milisi bersenjata, dan tidak satupun dari mereka yang cukup kuat sendiri untuk mulai bertindak sebagai kekuatan militer nasional. Masyarakat internasional telah lama memandang NTC sebagai cikal bakal negara Libya di masa depan. Laporan media telah menggambarkan bagaimana pemerintahan interim teknokratis sedang melakukan negosiasi kontrak dengan perusahaan-perusahaan barat.

Sejak November 2011, NTC menganggap bahwa diantara tantangan-tantangan tugas yang paling dasar mendasar dari pembentukan negara adalah membangun keamanan dalam negeri. Pembentukan Tentara Nasional Libya seharusnya menjadi pusat usaha NTC untuk menyelesaikan tugas ini, namun sejauh ini, semua upaya yang mengancam milisi-milisi untuk bersikap tunduk tidak mencapai apa-apa.

Sebuah pemilu digelar pada Januari 2012 dan membuat Dewan Nasional yang berkuasa tidak dapat memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan masa depan dan dengan demikian pemerintah masa depan akan berisi oleh para politisi yang bukan orang-orang di era Gadhafi maupun anggota dewan masa transisi, yang terus dengan lemah memegang kekuasaan regional Libya.

Sementara barat ikut campur tangan dalam menggulingkan Gaddafi, setelah kepergiannya pada tahun 2011, Barat meninggalkan Libya seperti mereka meninggalkan Afghanistan setelah kekalahan Soviet di tahun 1989. Libya saat ini dikontrol oleh jaringan milisi bersenjata, dengan banyak yang mewakili suku-suku yang kuat. Kelemahan pemerintah pusat berarti mereka bisa beroperasi tanpa bisa dihukum.

Politik Regionalisasi

Di bawah Gaddafi, Libya diperintah dari Tripoli, namun penduduk secara efektif terbagi dan diperintah dari perspektif administrasi dalam tiga wilayah, Tripolitania di Barat, Provinsi timur Cyrenaica dan wilayah selatan Fezzan. Hampir tidak ada infrastruktur yang dibangun untuk menghubungkan mereka, menjaga mereka agar tetap terpisah adalah strategi Gaddafi.

Kejatuhan Gaddafi awalnya dimotori dari Timur di Benghazi, yang kemudian menyebar ke wilayah Barat negara itu. Banyak suku, klan dan milisi bekerja dengan cara terdesentralisasi untuk menggulingkan Gaddafi. Sejak itu pemerintah pusat yang lemah masih belum mampu menyatukan negara itu atau melakukan fungsi-funsi dasar pemerintahan.

Suku-suku dan klan-klan yang diabaikan dan ditekan secara brutal oleh Gaddafi sekarang memiliki ketidakpercayaan yang sangat besar terhadap NTC. Ini dikarenakan kerahasiaan keanggotaan, pertemuan-pertemuan rahasia dan distribusi pendapatan energi. Akibatnya, setiap kelompok dan wilayah di Libya ingin mempertahankan wilayah semi-otonomi de fakto yang dinikmati saat ini dan akan menolak usaha-usaha otoritas pusat untuk mengendalikan dari dalam, terutama jika itu hal berarti menyerahkan kewenangan yang lebih kepada Tripoli.

NTC, sejak dijatuhkannya Gaddafi, telah berbasis di Tripoli, meskipun banyak anggotanya, terutama yang berasal dari kubu mantan pemberontak seperti Benghazi dan Misurata, terus bekerja dari kampung halaman mereka. Perwakilan-perwakilan daerah itu telah mempertahankan hubungan yang kuat dengan baik komunitas mereka maupun dengan milisi-milisi lokal, dengan membangun jaringan patronase mereka sendiri melalui posisi mereka di NTC saat ini.

Sementara itu, telah terjadi peningkatan dukungan bagi dewan-dewan kota lokal yang terpilih di benteng-benteng bekas pemberontak, di mana pengaruh Tripoli dan lembaga-lembaga birokrasi mendapat sedikit guncangan. Dewan Kota Benghazi diumumkan pada bulan Maret 2012 yang akan mengambil kontrol harian di kota dalam masalah administrasi. Anggota dewan kota Benghazi mengelola proyek infrastruktur lokal dan isu-isu keamanan dan menyelesaikan perselisihan dengan pesaing-pesaing regional – yang bebas dari NTC dan dengan dukungan dari kaum milisi lokal.

Milisi regional terbesar Libya adalah Zentan, Misurata dan Benghazi. Pihak keamanan NTC tidak mampu mencegah serangan-serangan milisi pemberontak atau untuk meyakinkan para pemimpin milisi regional agar meletakkan senjata mereka atau bergabung dengan pasukan keamanan dewan. Brigade Al-Awfea mengambil alih Bandara Tripoli pada tanggal 4 Juni dan berlangsung hingga hari berikutnya, ketika NTC melakukan negosiasi resolusi. Hanya beberapa bulan sebelumnya, pada bulan April, dewan harus mengamankan bandara internasional, yang telah diambil alih oleh milisi Zentan, dan bandara dalam kota, Benita, yang telah jatuh di bawah kendali Souq al-Jomaa, sebuah milisi yang berasal dari pinggiran Tripoli dengan nama yang sama.

Kegagalan pemerintah pusat untuk menyajikan suatu visi besar kepada negara itu telah menyebabkan ketidak berdayaan otoritas pusat. Akibatnya, banyak wilayah Libya yang telah beralih ke dalam kekuasaan politik lokal untuk menjaga hukum dan ketertiban. Apapun hasil dari pemilu ini, Barat mengawasi sumber-sumber daya negara energi yang mereka dambakan. Sejak jatuhnya Gaddafi, NTC telah memerintah negara itu dan telah gagal dalam menyatukan negara dan menciptakan perubahan dibanding pendahulunya.

Siapa pun yang menang dalam pemilu, kebijakan berikut perlu diupayakan:

• Perubahan Konstitusi. Tidak diragukan lagi Islam menyatukan mayoritas rakyat Libya – 99% dari penduduknya adalah Muslim. Dengan demikian wajar bahwa konstitusi baru itu didasarkan pada Quran dan Sunnah. Islam memberikan seseorang rasa memiliki tujuan yang baru dan hal ini adalah hal yang sama bagi sebuah bangsa yang memulai lagi dari awal setelah 42 tahun kekuasaan yang brutal. Hanya Islam yang dapat menyatukan rakyat yang terpecah antara mereka yang mendapatkan bantuan dari rezim sebelumnya, klan dan suku-suku daerah dan pimpinan sementara yang mencakup para profesional dari Benghazi dimana pemberontakan dimulai.

• Representasi, akuntabilitas dan supremasi hukum. Konstitusi harus dengan jelas menyatakan kewajiban partai politik dan pembentukan Majelis umat. Mekanisme ini akan memungkinkan representasi, akuntabilitas serta penanggulangan perselisihan secara terorganisir dan terkontrol.

• Ekonomi, pekerjaan dan pertumbuhan. Cadangan minyak Libya adalah milik umat menurut aturan Islam yang didapat dari penjualan properti publik dan karena itu harus digunakan untuk menciptakan lompatan pembangunan ekonominya. Libya memiliki 46 miliar barel minyak, yang terbesar ke-8 di dunia. Ini merupakan kekayaan minyak yang harus digunakan untuk mengembangkan industri lokal dan beragam industri manufaktur yang akan menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.

• Keamanan / pertahanan yang Independen. Menurut Syariah, kedaulatan tidak ada kecuali sebuah bangsa dapat mengamankan perbatasannya dan melakukannya sendiri. Kelompok-kelompok pemberontak dan berbagai milisi bersenjata harus berkoalisi menjadi kekuatan militer yang koheren. Gangguan militer Barat harus dihilangkan.

• Hubungan Luar Negeri Dibangun Atas Perjanjian Bilateral. Barat telah menggunakan para penguasa agen, penjualan peralatan militer, pinjaman dan bantuan sebagai alat kunci untuk menjaga pengaruh politik dan ekonomi di wilayah tersebut. Masing-masing hal itu perlu diubah. Perjanjian bilateral harus didasarkan dalam hubungan luar negeri untuk tujuan mengejar kepentingan bangsa dan dakwah dengan mengikuti contoh Nabi Muhammad SAW ketika ia mendirikan Negara Islam pertama di Madinah. (RZ)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*