Ironi Negeri Agraris

Di tengah melimpahnya sumber daya alam di negeri ini, Indonesia mencatatkan defisit neraca perdagangan komoditas pertanian. Sungguh kenyataan yang menyedihkan.

Lebih menyedihkan lagi karena defisit neraca perdagangan komoditas pertanian itu semakin melebar sejak 2006 dan tidak ada tanda-tanda pemerintah berhasil menghentikannya, apalagi membalikkan keadaan menjadi surplus.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) melansir neraca perdagangan Indonesia khusus komoditas pertanian pada 2006 mengalami defisit US$28,03 juta. Defisit itu terus makin menganga hingga pada 2011 yang mencapai US$5,509 miliar. Itu artinya defisit tumbuh luar biasa cepat, yaitu hampir 200 kali lipat hanya dalam tempo enam tahun.

Pertanyaannya, mengapa Indonesia yang menyandang predikat sebagai negeri agraris mengalami defisit komoditas pertanian sedemikian dahsyatnya? Apakah karena alasan kuantitatif, yaitu produksi pertanian Indonesia kurang banyak untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri sehingga harus mengimpor? Atau karena alasan kualitatif, yaitu mutu produk pertanian negeri ini buruk dan karena itu keok dihajar persaingan di pasar internasional?

Atau, jangan-jangan lebih tragis, di tengah liberalisasi perdagangan dunia, produk pertanian lokal gagal menjadi raja di rumah sendiri karena terlibas oleh produk impor. Cerita jeruk dari China yang mendominasi pasar dalam negeri dan menggeser popularitas jeruk pontianak dan medan hanyalah satu dari banyak cerita sedih perihal tersingkirnya produk pertanian lokal di negeri sendiri.

Semua itu bukan lagi cerita baru. Celakanya, fakta itu tidak membuat pemerintah tergerak dan bergerak membalikkan keadaan.

Komoditas impor di pasar justru semakin melimpah dan bervariasi. Sebut saja dari beras, jagung, singkong, bawang merah, cabai, dan beragam buah-buahan impor semuanya ada di pasar.

Perut anak bangsa ini bahkan sudah demikian bergantungnya pada produk impor. Berbasiskan kenyataan itu, angka defisit neraca perdagangan komoditas pertanian yang dilansir Bappenas sesungguhnya hanyalah penegasan betapa salah urusnya sektor pertanian RI.

Terus terang harus dikatakan pemerintah tidak punya grand strategy untuk membuat negara agraris ini memiliki ketahanan pangan yang tangguh dan berkepanjangan.

Lihatlah, sekadar contoh, betapa pemerintah membiarkan lahan-lahan pertanian yang produktif digusur industri properti. Menilik semua kenyataan yang menyedihkan itu, sebaiknya nama Kementerian Pertanian diubah saja menjadi kementerian impor pertanian.

Menterinya dikasih gelar bapak importir komoditas pertanian[] Media Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*