Sinyal Presiden Baru Mesir : Tidak Akan Ada Perubahan Dramatis Dalam Kebijakan Soal Gaza

GAZA CITY, Jalur Gaza – Presiden baru Mesir memegang kunci atas blokade Gaza, tetapi dia memberikan sinyal bahwa dia tidak akan terburu-buru membantu pemerintahan Hamas di wilayah itu dengan mencapai kesepakatan perbatasan dengan mereka, meskipun mereka adalah sesama anggota Ikhwanul Muslimin di wilayah itu.

Perjanjian perbatasan bilateral antara Mesir dan Hamas bisa mengurangi kemungkinan didirikannya sebuah negara Palestina, yang terdiri dari Tepi Barat dan Gaza, berdampingan dengan Israel.

“Saya pikir mereka (orang Mesir) tidak siap untuk itu,” kata ekonom Palestina dan pemimpin bisnis Samir Hulileh.

Hamas merasa gembira atas terpilihnya Morsi di Mesir pada bulan Juni, dan berharap pemimpin Mesir itu akan membatalkan larangan perjalanan dan perdagangan yang telah berlaku bertahun-tahun dan telah dengan hebat memukul perekonomian Gaza.

Namun sekarang Morsi menghindari hubungan dengan Hamas, dengan memfokuskan diri pada hubungannya dengan militer Mesir yang sangat kuat dan dengan Amerika Serikat, yang memberikan $ 1,3 miliar bantuan militer tahunan kepada Mesir.

Di Gaza, para pejabat Hamas mengatakan bahwa setelah Morsi menempati jabatannya, mereka berharap dia akan merubah lintas perbatasan Gaza-Mesir, yang sekarang hanya terbuka bagi penumpang terpilih, untuk menjadi rute kargo dengan zona perdagangan bebas.
Garis hidup baru yang  baru itu bisa menjadikan Hamas tetap berkuasa selama bertahun-tahun, dengan menghidupkan kembali ekonomi yang terpukul akibat adanya penutupan perbatasan oleh Israel dan pendahulu Morsi yang pro-Barat, Hosni Mubarak, yang diberlakukan setelah Hamas mengambil alih Gaza melalui kekerasan pada tahun 2007.

Salah seorang pejabat senior Hamas mengatakan bahwa Gaza sekarang memiliki kesempatan untuk menjadi wilayah semi-independen dengan mengandalkan hubungan yang erat dengan Mesir dan memotong hubungannya yang terakhir dengan Israel. Pejabat itu berbicara tanpa bersedia disebut namanya karena dia mengungkapkan pandangan pribadi.

Israel mungkin akan menyambut hubungan yang lebih erat antara Mesir dan Gaza, karena hal ini bisa meringankan tanggung jawabnya lebih lanjut terhadap wilayah pantai. Namun, para pejabat Israel bersikeras bahwa tidak ada perubahan dalam kebijakan saat ini dengan mengisolasi wilayah itu dan mengekang Hamas.

Israel, yang menarik diri dari Gaza pada tahun 2005 setelah 38 tahun pendudukan, masih mengontrol sebagian besar perbatasan darat Gaza, termasuk beberapa wilayah penyeberangan, dan membatasi akses melalui udara dan laut.

Di antara mereka yang paling terkena dampak atas kesepakatan Mesir-Gaza adalah Presiden Palestina Mahmoud Abbas, yang hanya diberikan otonomi terbatas di beberapa bagian Tepi Barat setelah Hamas merebut Gaza darinya.

Suatu ikatan perdagangan yang kuat dengan Mesir bisa mematahkan hubungan terakhir Gaza dengan Tepi Barat,  dan mengurangi upaya Abbas untuk mendirikan sebuah negara di kedua wilayah tersebut, bersama dengan Yerusalem timur.

“Ini adalah langkah yang sangat berbahaya,” kata pembantu Abbas Mohammed Ishtayeh, soal permohonan bantuan Hamas kepada Mesir. “Ini akan menjadi akhir dari solusi dua negara,” katanya.

Bagi Hamas, hal ini mungkin mendapat sedikit perhatian. Kelompok-kelompok Islam memandang bahwa negara seperti itu akan merupakan suatu langkah sementara menuju suatu entitas Islam di seluruh Palestina, yakni suatu wilayah antara Laut Tengah dan Sungai Yordan yang mencakup Israel.

Morsi telah mengisyaratkan bahwa tidak akan ada perubahan radikal dalam waktu dekat.

Pemimpin Mesir itu mengulangi pertemuan dengan dengan Menteri Luar Negeri AS Hillary Rodham Clinton pada akhir pekan dan mengatakan bahwa dia akan menghormati semua kewajiban internasional Mesir.

Dia juga menghindari perlakuan istimewa terhadap Hamas. Pada Minggu ini, dia akan menerima Abbas di Kairo, sementara para pemimpin Hamas masih menunggu undangan mereka.

Namun, berlanjutnya peran Mesir dalam blokade Gaza adalah sangat tidak populer di Mesir, dan Morsi telah menjanjikan suatu kebijakan baru.

Posisi Pribadi

Juru Bicara Ikhwanul Muslimin Mahmoud Ghozlan mengatakan bahwa Morsi tidak akan membantu “Gaza yang terjepit”.  Ghozlan berbicara tentang cara untuk mengurangi lalu lintas penumpang kendaraan di Rafah perbatasan Gaza-Mesir, dan mengirim lebih banyak pasokan kemanusiaan.  Tapi dia mengelak ketika ditanya tentang tuntutan utama Hamas agar Mesir mengizinkan perdagangan reguler.

Morsi ingin mencabut blokade, namun khawatir melanggar protokol internasional, kata pejabat keamanan Mesir yang mengenal baik kebijakan Gaza, saat berbicara tanpa menyebut nama.

Protokol itu termasuk kesepakatan perbatasan yang ditengahi oleh Amerika Serikat setelah tahun 2005 penarikan Israel dari Gaza, ketika pasukan Abbas masih menguasai wilayah itu. Perjanjian tersebut dimaksudkan untuk mengatasi kekhawatiran Israel bahwa Gaza akan dibanjiri dengan senjata dan kaum militan.

Suatu pengaturan yang rumit telah dikerjakan yang memungkinkan Israel untuk mengawasi perbatasan dengan kamera remote. Perjanjian itu tidak berisi ketentuan bagi perdagangan penuh antara Mesir-Gaza. Sebaliknya, Mesir mengirim barang-barangnya melalui kargo yang dikelola oleh Israel dengan menyeberang ke Gaza.

Hal ini juga membantu melindungi kesatuan pabean antara Israel, Gaza dan Tepi Barat, yang merupakan suatu komponen dari perjanjian perdamaian Israel-Palestina pada pertengahan 1990-an.

Sejak blokade diberlakukan pada tahun 2007, Gaza telah mengimpor ratusan juta dolar barang melalui terowongan penyelundupan bawah tanah di bawah perbatasan dengan Mesir – yang merupakan suatu sumber utama pendapatan pajak bagi Hamas.

Penutupan perbatasan dan penyelundupan berarti kesatuan pabean hanya ada di atas kertas. Namun, itu adalah salah satu ikatan resmi terakhir antara Gaza dan Tepi Barat, karena Israel sebelumnya melarang hampir semua perjalanan antar wilayah.

Jika Morsi membolehkan perdagangan Mesir-Gaza, hal ini akan secara resmi memecah kesatuan pabean dan memungkinkan Israel untuk “membongkar” Gaza, kata Ron Pundak, seorang mantan negosiator perdamaian Israel. Bahkan tujuh tahun setelah penarikannya, Israel sangat bertanggung jawab bagi Gaza karena mereka menguasai akses.

“Tidak diragukan lagi, hal ini akan dijadikan dalih bagi Israel untuk mengklaim bahwa tidak ada lagi pendudukan de jure atas luar perbatasan Gaza,” kata Pundak. “Ada orang di Israel yang akan berkata, ‘Selamat tinggal Gaza, kamu bukan masalah kita lagi.”

Sentimen seperti itu didorong oleh sejarah kekerasan. Hamas telah menewaskan sejumlah penduduk Israel dalam pemboman dan penembakan, dan telah menembakkan ribuan roket dan mortir dari Gaza. Tiga tahun lalu, Israel membunuh ratusan warga Gaza dalam perang yang bertujuan untuk menghentikan serangan roket.

Bulan lalu, seorang mantan pejabat keamanan Israel, Giora Eiland, menyerukan perubahan dramatis. Dia mengatakan bahwa Israel harus mengakui Gaza sebagai negara “de facto”, meskipun mereka bermusuhan.

Hal ini akan memungkinkan Israel untuk memutuskan semua hubungan, katanya. Jika terjadi serangan dari wilayah itu, Israel akan menikmati kelonggaran yang lebih untuk membalas, kata Eiland.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel Yigal Palmor mengatakan bahwa Hamas terus menimbulkan resiko keamanan besar bagi Israel, sebagian karena wilayah itu menerima senjata dan dana dari musuh lama Israel, Iran. “Bahkan jika kita menutup perbatasan, Gaza tidak akan lenyap,” katanya. (RZ)
Sumber : Associated Press  (16 Juli 2012)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*