Sistem Islam Atasi Pergaulan Bebas
Pergaulan bebas rupanya masih menjadi persoalan paling rumit khususnya bagi remaja. Setidaknya mungkin itulah bentuk keprihatinan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pada peringatan Hari Anak Nasional beberapa hari lalu. Saking prihatiannya, menteri yang baru diangkat tersebut pun kembali melontarkan pernyataan nyeleneh, yaitu pacaran ‘sehat’. Menurut beliau, dalam berpacaran harus saling menjaga, tidak melakukan hal-hal yang berisiko. Masa remaja adalah masa yang tepat untuk membekali informasi, penguatan mental, dan iman dari keluarga, sekolah dan lingkungan sekitar, sebelum mereka mulai aktif secara seksual (antaranews.com, 13/07/2012). Sebelumnya beliau juga telah menyampaikan sebuah kebijakan kontroversi, yaitu kondomisasi yang ditentang keras oleh hampir seluruh komponen umat Islam.
Berkaitan dengan penanggulangan masalah pergaulan bebas ini, beberapa waktu lalu, LPOI (Lembaga Persahabatan Ormas Islam) juga mengusulkan solusi berupa dilakukannya program-program pencegahan dalam bentuk pendidikan, pencerahan dan pembinaan akhlak/budi pekerti. Menurut lembaga ini, cara terbaik pemberantasan HIV/AIDS adalah melalui penanaman nilai-nilai agama, keimanan dan ketaqwaan di kalangan masyarakat khususnya remaja. (kompas.com, 28/6/2012).
Yang menjadi persoalan, benarkah pacaran ‘sehat’ mampu menanggulangi pergaulan bebas remaja? Di samping itu, ketika penanaman nilai-nilai agama di kalangan remaja digalakkan, sejauh mana efektifitasnya untuk mencegah mereka dari pergaulan bebas? Dan bagaimana sebenarnya mengatur perilaku remaja agar terhindar dari penyakit sosial yang akan menyengsarakan kehidupan mereka dan masyarakat tersebut? Tulisan berikut menggambarkan hal-hal yang seharusnya dilakukan umat Islam dalam menyelesaikan problem pergaulan bebas di kalangan remaja sehingga apa yang dikhawatirkan dari generasi masa kini dapat diatasi.
Kerusakan Akibat Gaul Bebas
Tidak bisa dipungkiri, tingginya angka penderita HIV/AIDS dan kehamilan tak dikehendaki di kalangan remaja sejatinya diakibatkan oleh maraknya pergaulan bebas. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), bila tahun-tahun sebelumnya penyebab utama HIV/AIDS adalah narkoba suntik, sekarang ini telah bergeser ke perilaku seks bebas dengan proporsi sekitar 55 persen. Padahal, diketahui bahwa pelaku seks bebas sebagiannya adalah remaja (muda-mudi). Survey yang pernah dilakukan menyebutkan separuh gadis di Jabodetabek tak perawan lagi. Sedangkan di Surabaya, remaja perempuan lajang yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54 persen, di Medan 52 persen, Bandung 47 persen, dan Yogyakarta 37 persen (BKKN. go. id , 2010).
Kondisi tersebut tentu sangat memprihatinkan. Namun, haruslah dipahami bahwa bencana yang menimpa remaja di negeri ini bukanlah tanpa sebab manusia. Sebab Allah SWT berfirman dalam Surat Ar Ruum yang artinya:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (TQS. Ar Ruum [30]
Berdasarkan petunjuk ayat di atas, pergaulan bebas yang terjadi di kalangan remaja tentu akan menimbulkan kerusakan bagi masyarakat -karena melanggar aturan Allah SWT. Dan kini, terbuktilah hal tersebut dari tingginya angka HIV/AIDS dan angka kematian ibu dan janin akibat aborsi dan penyakit menular tersebut. Dengan demikian, nyatalah apa yang seharusnya menjadi fokus bagi penyelesaian persoalan ini, yaitu mencegah pergaulan (seks) bebas di kalangan muda-mudi.
Atas dasar itu pula maka tawaran solusi apapun yang tidak mengarah pada upaya mencegah pergaulan bebas pantas untuk ditolak. Sebaliknya, yang harus dilakukan adalah upaya mencegah pergaulan bebas secara mendasar dan komprehensif sehingga bisa berdampak secara luas dan langgeng.
Dalam sistem kehidupan sekuler liberal saat ini, kebebasan berperilaku begitu diagung-agungkan. Negara pun kehilangan nyali mengatur warga negaranya karena momok demokrasi yang mengharuskan untuk mengakomodir semua kepentingan dan kelompok, termasuk kelompok para kapitalis dan liberalis. Akibatnya, benar dan salah menjadi kabur, halal-haram tak dapat jelas dibedakan. Sistem seperti ini pun telah menyeret ‘orang baik’ untuk berbuat maksiyat dan pelaku maksiyat semakin kuat.
Di sisi lain, tindakan gaul bebas sebenarnya tak bisa dilepaskan dari banyaknya rangsangan seksual. Sebab, sebagai manifestasi dari naluri manusia, kecenderungan kepada lawan jenis pada umumnya muncul apabila ada rangsangan. Sebaliknya, bila tidak ada rangsangan maka dorongan seksual kepada lawan jenis tidak muncul. Banyaknya sarana yang merangsang munculnya naluri seksual memang tak bisa dilepaskan dari sistem sekuler liberal yang saat ini diterapkan. Dengan paradigma ini, maka yang perlu dilakukan tentu bukan saja membentengi individu dengan pemahaman yang benar melalui penanaman nilai-nilai agama saja. Namun, diperlukan pula upaya lain untuk mencegah munculnya rangsangan bagi kecenderungan kepada lawan jenis.
Mengatasi Gaul Bebas
Penanaman nilai-nilai Islam tentu menjadi syarat utama untuk menumbuhkan sikap imun (kebal) terhadap semua bentuk serangan kemaksiyatan. Dengan pembinaan akidah dan hukum-hukum Islam, diharapkan para remaja mampu mengatur perilakunya sehingga tidak terjerus pada pergaulan bebas.
Meski demikian, dalam pembinaan kepada remaja khususnya, haruslah diwaspadai bentuk-bentuk promosi yang tidak mengacu pada pendekatan ideologi Islam. Sebagaimana diketahui, pemerintah telah mencanangkan program pendidikan KRR (Kesehatan Reproduksi Remaja) yang konon juga berfungsi memberi pembinaan kepada remaja agar mampu melindungi organ reproduksinya dan bertanggung jawab atas perilaku seksualnya. Namun, bagaimana hasilnya? Banyak kalangan menyangsikan efektifitas program ini. Itu karena pembinaan yang dilakukan masih berpijak pada ideologi sekuler -sang biang masalah masyarakat. Akibatnya, banyak disalah gunakan. Jadi, tidak sembarang pembinaan mampu mengarahkan perilaku remaja. Hanya pembinaan yang berbasis akidah Islam saja yang diyakini memberi kontribusi positif bagi pembentukan kepribadian remaja.
Di sisi lain, ada pula persoalan penting lainnya dari sekedar pembinaan agama, yaitu tindakan meminimalisir semua bentuk rangsangan. Sebab, betapa banyak muda mudi yang sebenarnya mengetahui bahaya bahkan dosa di hadapan Allah SWT akibat gaul bebas, namun ternyata mereka terjerumus juga. Itu terjadi karena derasnya arus rangsangan di lingkungan sekitarnya sehingga mereka tidak kuasa menolak dan menahan gejolak jiwa yang mulai terpengaruh. Oleh karena itu, persoalan mencegah munculnya rangsangan harus menjadi perhatian semua pihak.
Yang jamak terjadi, rangsangan seksual biasanya berupa tindakan pornografi dan pornoaksi yang bertebaran di masyarakat. Di antara bentuk pornografi seperti tayangan televisi yang menyuguhkan pergaulan bebas muda mudi, bertaburnya sinetron yang kelihatannya Islami, namun berselubung propaganda pacaran, dan lain-lain. Demikian pula dengan menjamurnya media bacaan porno baik cetak maupun melalui internet. Sayangnya, kebijakan pemerintah untuk memblokir berbagai situs porno belum sepenuhnya berhasil mengendalikan tayangan porno di media online bahkan cetak.
Sedangkan tindakan pornoaksi seperti panggung hiburan bertabur goyang erotis dan campur baur antara laki-laki dan perempuan tentu dapat merangsang naluri seksual. Tak ketinggalan, sekolah yang menjadi benteng pembinaan remaja secara masal pun tak luput dari berbagai hal yang memunculkan rangsangan. Tak banyak yang memasalahkan pornoaksi di sekolah, padahal tidak sedikit contohnya. Diantaranya, budaya sekolah yang cenderung membiarkan tindakan pacaran – kalaupun ada sanksi hanya untuk yang sudah hamil (di luar nikah). Demikian pula dengan budaya campur baur dan membiarkan siswi perempuan bertabarruj dan mengenakan pakaian tidak syar’i.
Secara umum, mencegah munculnya rangsangan seksual memerlukan upaya dari individu, kontrol masyarakat dan peran negara. Tiap individu terutama remaja dan kaum muda harus memelihara diri dengan ketakwaan yang mendalam kepada Rabb-nya. Tatkala seorang muslim telah memiliki sifat takwa, pasti ia akan takut terhadap azab Allah SWT, akan mendambakan surga-Nya, sekaligus sangat ingin meraih keridhaan-Nya. Ketakwaannya itu akan memalingkannya dari perbuatan yang mungkar dan menghalanginya dari kemaksiatan kepada Allah SWT. Hal itu karena ia akan selalu merasa diawasi oleh Allah SWT (QS. Al-Hujurat [49]: 18).
Dengan landasan takwa ini mereka juga akan memiliki keterikatan yang kuat terhadap syariat Islam sehingga mampu menolak rusaknya tata pergaulan di masyarakat. Ia akan takut melakukan maksiyat terlebih zina yang merupakan dosa besar (QS. Al Isra [17] : 32). Dengan kesadaran ini sesungguhnya secara tidak langsung ia telah mengurangi media rangsangan itu sendiri.
Orang tua (keluarga) juga mampu berperan penting menumbuhkan kesadaran individu remaja. Mereka mampu memberikan bimbingan agama, perhatian dan kasih sayang yang cukup, teladan yang menggugah, dan kontrol yang efektif.
Dorongan dari individu akan lebih efektif lagi bila terwujud dalam bentuk kesadaran untuk beramar makruf nahi munkar terhadap segala bentuk kemunkaran yang ada. Mereka bukan saja membentengi diri bahkan juga pro aktif melakukan perubahan terhadap lingkungan sekitarnya.
Kontrol masyarakat sangat diperlukan disamping untuk menguatkan apa yang telah dilakukan oleh individu juga mencegah menjamurnya berbagai rangsangan di lingkungan masyarakat. Jika masyarakat mampu beramar makruf nahi munkar, tidak memberikan fasilitas dan menjauhi sikap permisif terhadap semua bentuk kemunkaran, pornoaksi dan pornografi, niscaya rangsangan dapat diminimalisir.
Sebuah ironi terjadi di masyarakat; ditengah rusaknya pergaulan muda mudi, justru sebagian masyarakat menghendaki dan menikmati tayangan porno baik di media televisi maupun panggung-panggung hiburan. Bagaimana mungkin individu yang telah berupaya membentengi diri di rumah dan sekolah dengan penguatan akidah dan pemahaman hukum syariat tidak terpengaruh, sementara peluang untuk melanggar itu semua ada di hadapan mereka? Demikian pula dengan kebiasaan menikahkan pasangan yang telah hamil sembari tidak memberikan sanksi moral, tentu telah menambah terangnya lampu hijau bagi pergaulan bebas.
Peran negara lebih signifikan lagi dalam membentuk sistem dan tata aturan dalam masyarakat untuk mengendalikan rangsangan ini. Masalahnya, hingga saat ini negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini malu-malu (kalu bukan ragu) untuk menerapkan hukum Islam secara sempurna. Penguasa khawatir dianggap ekstrim dan memihak kelompok Islam jika menerapkan ketentuan wajib menutup aurat, melarang khalwat dengan memberikan sanksi tertentu, melarang panggung-panggung hiburan dengan alasan melanggar syariat. Padahal, keengganan inilah yang berakibat pada merebaknya rangsangan seksual di tengah masyarakat.
Negara seharusnya bertanggung jawab menerapkan sistem yang mempu menangkal semua bentuk serangan yang bisa memunculkan rangsangan seksual. Dalam Islam negara berkewajiban mengawal penerapkan hukum-hukum pergaulan yang disyariatkan Allah SWT. Hukum-hukum tersebut diantaranya :
- Perintah baik kepada laki-laki maupun perempuan agar menundukkan pandangannya serta memelihara kemaluannya (QS an-Nûr [24]: 30-31). Jika timbul rasa ketertarikan pada lawan jenis sementara yang bersangkutan belum mampu untuk melakukan pernikahan maka dianjurkan untuk menahannya dengan puasa. Sementara bagi yang telah mampu untuk menikah sangat dianjurkan untuk menikah.
- Perintah agar memisahkan kehidupan laki-laki dan perempuan serta mencegah ikhtilat (campur baur).
- Islam mendorong untuk segera menikah. Dengan demikian, pembatasan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan hanya terjadi dalam perkawinan yang dimulai pada usia yang relatif muda saat gharizah an-nau’ (naluri melestarikan jenis) mulai bergejolak. Adapun bagi yang belum mampu menikah, maka agar mereka memiliki sifat ‘iffah (senantiasa menjaga kehormatan) dan mampu mengendalikan diri (nafsu).
- Perintah untuk mengenakan pakaian yang bisa menjaga kehormatan bagi laki-laki dan perempuan ketika mereka berada di kehidupan umum. Perempuan diwajibkan meggunakan jilbab (baju kurung terusan dari atas hingga menutup kakinya) dan kerudung. Laki-laki pun harus menutup aurat sebagaimana batasan yang telah ditetapkan syariah.
- Islam juga telah menetapkan kehidupan khusus (rumah dan semisalnya) hanya terbatas bagi perempuan dan para mahramnya saja. Dengan demikian, Islam telah meminimalisisr berbagai tindak asusila di tempat-tempat pribadi yang kini banyak dilakukan muda-mudi.
- Larangan khalwat (berdua-duaan), zina dan memberikan sanksi sesuai hukum syariah.
- Larangan bagi kaum perempuan untuk ber-tabarruj (QS an-Nûr [24]: 60)
- Larangan bagi seorang perempuan untuk bepergian jauh kecuali dengan mahrom. “Tidak halal seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam, kecuali jika disertai mahram-nya.” (HR Muslim).
- Larangan bagi laki-laki dan perempuan untuk saling berpegangan tangan atau berciuman karena bisa membangkitkan naluri seksual dan mendekati zina (QS. Al Isra [17] : 32)
- Islam membatasi interaksi antar lawan jenis sebatas hubungan yang sifatnya umum, seperti muamalat atau tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, bukan aktivitas saling mengunjungi antara laki-laki dan perempuan atau aktivitas lain yang bisa memunculkan rangsangan seksual (seperti curhat antar lawan jenis).
- Islam juga telah memerintahkan kepada kaum kaum laki-laki dan perempuan agar menjauhi tempat-tempat syubhat (meragukan) dan agar bersikap hati-hati sehingga tidak tergelincir ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah.
- Islam memerintahkan negara untuk memberi sanksi kepada semua pelaku yang terbukti merusak tatanan pergaulan baik dengan tindakan maupun dengan memunculkan berbagai media dan sarana kepornoan.
Dari paparan di atas, nampaklah bahwa Islam tidak mentolelir bentuk hubungan khusus antara laki-laki dan perempuan (yang biasa disebut pacaran), meskipun dilakukan secara ‘sehat’ (tidak berorientasi pada hubungan seksual). Sebab, hubungan khusus antara laki-laki dan perempuan hanya terjadi dalam pernikahan. Adapun pada masa pra nikah, maka laki-laki dan perempuan diwajibkan tetap terikat dengan hukum syariat. Mereka tetap tidak boleh berpacaran (berduaan, berpegangan tangan, dsb).
Dengan demikian, solusi bagi pencegahan pergaulan bebas adalah dengan menerapkan hukum-hukum pergaulan Islam dan menjaganya dengan penerapan sistem Islam oleh Khalifah (kepala negara). Tentu saja, bukan dengan pacaran ‘sehat’ apalagi kondomisasi!
Keterlibatan individu, masyarakat dan negara mutlak diperlukan dalam penerapan syariah Islam tersebut. Semua itu bukan saja dapat mencegah dari munculnya rangsangan seksual namum juga menyelesaikan bentuk rangsangan -apabila muncul- dengan solusi yang shahih. Demikianlah penjagaan Islam terhadap remaja dari pergaulan bebas.
Solusi konservatif (baik melalui pacaran sehat maupun kondomisasi) tentu tak perlu terjadi. Negara bukan saja akan menghemat angaran yang dikeluarkan hanya untuk pengadaan kondom. Namun lebih dari itu, keluhuran masyarakat akan terwujud melalui generasi yang dilahirkannya; terbebas dari penyakit menular seksual dan berkurangnya angka kematian ibu dan janin. Demikian juga akan terlahir generasi yang memiliki masa depan yang berorientasi membangun peradaban karena mereka tidak lagi disibukkan oleh pacaran atau interaksi dengan lawan jenis yang diharamkan syariah.
Kini, saatnya kita kembalikan remaja dan sistem kehidupan di negeri ini kepada syariah Islam secara kaffah. Tentu saja, semua itu tak bisa terwujud melainkan bila khilafah Islam telah nyata kembali kita hadirkan. Semoga Allah SWT memudahkan langkah-langkah kita. Aamiin ya Robbal ‘alamiin. [] Noor afeefa