Sebuah penelitian di Inggris yang baru dilakukan atas negara demokrasi telah memperingatkan akan temuan bahwa demokrasi berada dalam “akhir kemunduran jangka panjangnya” karena kekuatan perusahaan-perusahaan menjadi semakin menguat, para politisi menjadi semakin kurang dalam mewakili konstituen mereka dan para warga yang kecewa berhenti untuk ikut memberikan suara atau bahkan berhenti mendiskusikan masalah-masalah politik saat ini.
Laporan itu menemukan bukti di banyak wilayah-wilayah lain di mana Inggris tampaknya telah semakin menjauh dari dua tolok ukur demokrasi perwakilan yang seharusnya dimiliki: kontrol atas pengambilan keputusan politik, dan bagaimana sistem itu bisa menggambarkan masyarakat yang diwakilinya dengan cukup adil.
Stuart Wilks-Heeg, penulis utama laporan itu, memperingatkan bahwa Inggris seharusnya segera harus bertanya pada dirinya sendiri “apakah negara ini masih merupakan representasi demokrasi yang sesungguhnya?” Keanggotaan pada partai politik dan jumlah pemilih dalam pemilu telah turun secara signifikan dalam dekade terakhir, dengan hanya 1% dari para pemilih yang ikut suatu partai, dan hanya lebih 6 dari 10 orang yang berhak memilih yang menggunakan haknya pergi ke kotak suara dalam pemilu tahun 2010 dan hanya satu dari tiga orang pada pemilu di Eropa dan pada tingkat lokal. Tapi dalamnya kekecewaan publik dan berbagai cara bagaimana pemilih berpaling dari politik diungkapkan oleh suatu studi terbaru yang bahkan membuat terkejut mereka yang terlibat dalam studi itu.
Permasalahan dalam demokrasi tidak hanya terbatas di Inggris, namun juga di seluruh dunia barat lainnya baik di Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Italia, Spanyol atau tempat lahirnya peradaban Barat – Yunani, dimana para pemilih bersikap apatis, terjadinya kecurangan pemilu, pengaruh kelompok-kelompok kepentingan dan korupsi adalah kasus-kasus yang terlalu umum. Bagi setiap masalah politik, kita tahu bahwa kebohongan adalah sebuah solusi demokrasi. Bagi setiap peradaban, bagi setiap negara untuk setiap suku, setiap waktu – terdengar mantra – demokrasi adalah jawaban atas semua kerusakan yang kita rasakan. Pada dekade terakhir, kita telah melihat bagaimana Barat mengirim anak-anaknya untuk berperang di Irak dan Afghanistan untuk menyebarkan demokrasi, sementara di negerinya sendiri rakyatnya mengucilkan politik dalam demokrasi.
Demokrasi pada saat ini memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda, masyarakat sekuler Barat, tidak memiliki monopoli untuk mengklaim demokrasi sebagai milik mereka. Masayrakat lain melihat demokrasi tidak lebih dari sekedar pemilu – bahwa demokrasi harus memiliki karakter nilai-nilai dan lembaga-lembaga tertentu. Namun apa pun perbedaan kecil itu, demokrasi tidak lebih dari sekedar pemilu dan mereka yang percaya pada demokrasi mengambil sistem politik yang melembagakan kedaulatan legislatif – baik kedaulatan dalam masyarakat secara langsung maupun kedaulatan dalam perwakilan mereka yang terpilih sebagai dasar demokrasi– yaitu kemampuan untuk memilih dan membuat hukum adalah karakteristik kunci dari demokrasi.
Ada beberapa kelemahan mendasar dengan sistem pemerintahan ini, yang membuatnya tidak cocok bagi negeri-negeri Muslim. Pemilu di Irak, Afghanistan dan Pakistan semuanya menghasilkan kelompok elit yang korup, dan beralihnya Rusia kepada demokrasi telah menghasilkan oligarki yang lebih tertarik dalam menghasilkan uang daripada melayani masyarakat. Misalnya dalam dekade terakhir, sektor keuangan menurut Pusat Responsif Politik menghabiskan hampir $ 4 miliar dolar untuk melobi kongres. Karena itu anggota masyarakat biasa yang harus melakukan hubungan melalui email atau panggilan telepon dengan mereka menjadi diabaikan.
Banyak dari para pendiri demokrasi yang menguraikan pemerintahan oleh sekelompok massa dalam demokrasi. Yang menjadi keprihatinan adalah bahwa hukum tidak akan diputuskan berdasarkan manfaat sosial kepada kaum mayoritas namun akan berakar pada nafsu emosi dan kepentingan pribadi dalam upaya untuk merebut hak-hak kaum minoritas. Seperti yang dinyatakan oleh Thomas Jefferson “demokrasi tidak lebih adalah pemerintahan oleh segerombolan massa, dimana lima puluh satu persen orang akan mengambil hak-hak dari empat puluh sembilan persen gerombolan massa lainnya“.
Mengakui kelemahan-kelemahan mendasar ini, masyarakat Barat telah berusaha untuk mengurangi beberapa efek yang lebih keras dari ‘pemerintahan oleh segerombolan massa dengan melakukan berbagai pemeriksaan secara konstitusional dan politik. Biaya dan skandal lobi di Inggris yang terungkap adalah gejala dari kelas politik yang telah melupakan bagaimana seharusnya melayani masyarakat.
Pemilu Reguler Menguntungkan Kaum Elit
Sementara semua orang setuju bahwa pemimpin mereka harus dipilih, realitas atas demokrasi adalah bahwa pemilu reguler akan mendukung pemimpin yang memiliki uang dan karenanya berdampak negatif dan sulit pada pengambilan keputusan jangka panjang. Politik menjadi sesuatu untuk tentang melayani kaum elit dan bukan rakyat jelata. Yang menjadi masalah dengan pemilu yang sering dilakukan adalah bahwa semakin banyak pemilu dilakukan semakin banyak persyaratan uang yang diperlukan. Uang dan politik adalah salah satu kanker utama dalam politik demokrasi. Frekuensi pemilu membuat para politisi bertindak berat sebelah terhadap penanggulangan jangka panjang atas tantangan-tantangan dan malahan mendorong mereka untuk fokus pada popularitas jangka pendek. Sementara perencanaan suatu negara harus diukur dalam beberapa dekade, cakrawala politik hanya difokuskan pada pengelolaan siklus berita 24-jam dan bagaimana memenangkan pemilu berikutnya.
Sebagai sebuah contoh adalah bahwa seorang anggota parlemen terpilih AS pada bulan Februari 2010, sejak hari pertama, harus berencana untuk menaikkan satu juta dolar atau lebih bagi kampanyenya agar dipilih kembali dalam waktu dua tahun. Semua masalah ini memerlukan pilihan sulit dan negarawan menyukai solusi, namun mengambil keputusan seperti ini adalah seperti menulis sebuah catatan bunuh diri dalam pemilu.
Skandal pembiayaan di Inggris dimana parlemen Westminster, yang dianggap sebagai tempat lahirnya demokrasi, menghadapi krisis proporsi yang besar. Sistem ini tidak korup karena ada politisi yang korup, melainkan para politisi itu menjadi korup karena sistem yang mendasarinya adalah korup dan cacat. Jika masalahnya adalah seperti “beberapa apel busuk dalam satu negara” atau politik dari demokrasi tertentu adalah lebih buruk dari yang lainnya, orang mungkin akan memperbaiki suatu kasus untuk melakukan reformasi. Tapi masalah mendasar yang ada pada setiap sistim demokrasi sekuler, yang maju, sedang berkembang, yang besar, yang kecil, di barat maupun di timur dan tantangan jangka panjang semuanya secara konsisten menghindari tanggung jawab dan kewajiban.
Hukum Selalu Dapat Diubah Atau Ditunda
Kedaulatan legislatif yang ada di jantung peradaban Barat, kemampuan untuk membuat hukum sendiri, mengubahnya, beradaptasi dengan hukum itu dan menghentikan hukum dipertahankan sebagai salah satu landasan dasar demokrasi liberal. Sejak Peristiwa 11/9, demokrasi telah menyembelih begitu banyak prinsip-prinsip sucinya, demokrasi hanyalah teoritis, yang seharusnya menentang hal-hal seperti: pemerintahan korup, aturan-aturan yang paranoid dan pemerintahan tiran. Hak-hak kunci ini, yang tercantum dalam prinsip-prinsip pemerintahan Barat dan digunakan untuk memeras hukum-hukum lain telah diubah sesuka hati, meskipun mereka seharusnya menjadi landasan tradisi politik Barat. Namun rezim-rezim itu tidak berpura-pura bahwa mereka tidak melakukan itu dan mereka tidak juga berusaha untuk mempromosikan nilai-nilai mereka di luar negeri.
Keputusan Mayoritas Tidak Lantas Membuat Hukum Yang baik
Salah satu pilar dasar demokrasi adalah bahwa undang-undang itu dihasilkan melalui suara terbanyak. Pada dasarnya berbagai model berpotensi untuk muncul.
Kemampuan untuk mengubah hukum telah menghasilkan undang-undang yang sangat beracun. Untuk mencegah demokrasi melakukan pelanggaran tersebut, berbagai badan pencegah anti-demokrasi seperti lembaga supermayoritas dan Mahkamah Agung yang tidak dilakukan melalui pemilu telah ditempatkan, yang pengakuan eksplisit bahwa demokrasi murni dapat menghasilkan produk yang beracun. Karena itu, mengapa undang-undang yang penting harus berbeda?
Sifat beracun tentang bagaimana hukum yang disahkan dalam demokrasi itu sudah dipahami dengan baik oleh para filsuf, para pemimpin, dan suara-suara berpengaruh di Barat selama berabad-abad. Socrates dan Plato mengutarakan kemarahannya terhadap demokrasi di zaman Yunani kuno. Jefferson dan Adams memahami bahaya demokrasi murni, itulah sebabnya mengapa Amerika adalah negara republik dan mengapa demokrasi murni ditentang.
Kesimpulan
Mantra demokrasi terus menjadi alasan bagi dilakukannya intervensi militer Barat di negeri-negeri Muslim. Sementara di dalam negeri baik di Amerika Serikat dan Inggris serta Perancis, Jerman dan Italia semuanya mendapatkan hasil racun dari demokrasi, tetapi terus menyebarkan sistem pemerintahan yang korup ini di dunia Muslim. Sejak jatuhnya tembok Berlin dan ‘akhir sejarah,’ hingga sekarang ‘demokrasi adalah yang terbaik yang kita miliki,’ menunjukkan bahwa demokrasi mengalami kemunduran. Musim semi Arab telah menunjukkan bahwa dunia Muslim bekerja untuk menentukan nasibnya ke tangannya sendiri, inilah yang mengkhawatirkan dunia barat, hingga mereka berusaha untuk mempertahankan cara mereka hidup demokrasi untuk tetap hadir agar perang berlanjut. Mereka melakukan hal ini dengan hanya engan menghilangkan masalah-masalah demokrasi di dalam negeri.
Islam di sisi lain memiliki banyak detail dan telah ditulis disepanjang sejarah Islam. Sistem pemerintahan Islam – Khilafah, yang akan diuraikan dalam tulisan mendatang, memiliki aspek-aspek utama sebagai berikut:
1. Keadilan dicapai melalui peradilan yang independen dan hukum yag tetap, sehingga semua warga tahu di mana mereka berada
2. Islam telah dibangun dan didirikan di bawah langkah-langkah akuntabilitas yang ketat
3. Penyelesainya korupsi ke akar-akarnya dilakukan melalui pemisahan uang dan politik
4. Kohesi sosial dipertahankan melalui penerapan sistim Islam dan bukan melalui layanan badan-badan rahasia.[] (RZ)
Sumber: www.khilafah.com
sepertinya konteks pelaksanaan demokrasi di dunia Barat dan di Indonesia sama… Demokrasi mengarah pada dikuasainya formalitas Politik oleh tangan berduit atau yang mewakilinya… uang menjadi illat terlaksananya Demokrasi dan transaksi-transaksi kebijakan setelah yang terpilih menguasai formalitas Politik
hancurkan demokrasi…..
Pantas untuk dihancurkan
Democrazy …””” Wassalam..!!!
Semoga Engkau Cepat Meninggalkan Dunia Ini..!!
Enyahlah Democrazy..!!!!
DEMOKRASI pasti MATI….
buang jauh-jauh DEMOKRASI untuk kehidupan yang lebih BAIK.