Krisis Tempe-Tahu

Oleh: Siti Nuryati

Tingginya harga kacang kedelai membuat perajin tahu dan tempe di sejumlah daerah menjerit.  Di tingkat eceran, harga kedelai sudah mencapai Rp 8.000 per kilogram, padahal biasanya berkisar Rp 5.500-5.600 per kilogram.  Akibat kenaikan ini, para perajin pun memilih menghentikan produksi karena tak sanggup menanggung kerugian.

Terus melonjaknya harga kedelai harusnya membuat pemerintah mengevaluasi langkah-langkah yang telah ditempuh. Selain untuk bahan baku tahu dan tempe, kedelai bagi industri pengolahan pangan di Indonesia banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan kecap dan tauco. Ironisnya hampir 70 persen kebutuhan kedelai nasional dipenuhi dari impor.

Situasi ini merupakan ujian bagi ketahanan pangan kita.  Ketahanan pangan kita terbilang rapuh.  Ini sebagai akibat tak jelasnya politik pertanian yang dianut negeri ini. Kian hari kita kian tergantung pada impor untuk pemenuhan pangan nasional. Mulai dari pangan pokok beras, jagung, kedelai hingga buah-buahan, sayur-sayuran, aneka lauk pauk (daging, telur, ikan) hingga susu. Bahkan garam pun kita harus mengimpor. Maka masuklah kita dalam jebakan pangan (food trap) berupa ketergantungan terhadap negara lain.

Food trap merupakan potret ketidakmampuan sarana dan prasarana produksi pangan dalam negeri untuk bersaing dengan bahan pangan impor. Hal ini semakin mengakibatkan tidak efisiennya sistim produksi pangan dalam negeri untuk bersaing dengan bahan pangan produksi impor. Pada tahap awal hal ini ditandai dengan membanjirnya produk pangan impor yang murah. Hal ini mengakibatkan semakin tidak efisiennya sistim produksi pangan dalam negeri dan lebih jauh akan menyebabkan tidak terpakainya sarana dan prasarana produksi selama beberapa masa siklus produksi.

Mengapa kebutuhan pangan tidak sanggup dipenuhi sendiri? Ada berbagai faktor yang menyebabkannya. Produktivitas adalah salah satunya. Untuk urusan ini, sudah rendah produktivitasnya, yang sudah rendah itu terus menurun lagi! Untuk kedelai misalnya, rata-rata produktivitas kedelai kita 1.19 ton/ha. Ini berbeda dengan di Amerika, Argentina, India dan China yang bisa mencapai 2 ton/ha. Contoh lainnya bisa kita temukan di beras. Untuk pangan pokok yang satu ini, kita menduduki peringkat ke-29, jauh di bawah Australia, Jepang dan Cina.

Produktivitas rendah karena pilihan terhadap metode peningkatan produksi didikte oleh kepentingan-kepentingan industri pertanian negara-negara maju, bukan oleh pertimbangan ketepatan dengan kondisi setempat sebagaimana banyak diargumenkan selama ini. Revolusi pangan yang berarti penggunaan bibit unggul baru dimaksudkan agar hasil panen per hektar dapat ditingkatkan dan masa panen dapat dipersingkat. Namun, pada praktiknya, bibit unggul ini selalu membutuhkan pengairan, pupuk, dan anti hama (pestisida). Bibit baru yang digunakan oleh revolusi pangan rentan terhadap hama dan oleh karenanya memerlukan lebih banyak pestisida. Di kebanyakan negara berkembang, pestisida yang digunakan berkadar tinggi, yang di negara-negara industri telah dilarang penggunaannya.  Pasar pestisida dunia didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar. Sepuluh perusahaan besar menguasai 60% pasaran dunia. Mereka mengambil keuntungan terutama dari program bantuan pertanian FAO, Bank Dunia, dan bank-bank pembangunan regional lainnya. Mereka terorganisasi dalam sebuah badan bernama Industry Cooperative (ICP) yang mempunyai lobi-lobi berpengaruh atas kebijakan pertanian FAO.  Industri pertanian negara-negara maju berkepentingan agar negara-negara berkembang menerima bibit-bibit unggul yang mereka tawarkan (yang tidak dapat berkembang tanpa penggunaan pupuk dan pestisida). Perusahaan-perusahaan besar yang memproduksi bahan kimia dan makanan menguasai pembibitan dan perdagangan bibit unggul.

Pangan memang menempati prioritas yang tinggi dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa. Jauh sebelum informasi dan teknologi menjadi pembuka kunci dunia, pangan sudah menjadi alat untuk menguasai dunia. Karena itu sangat rasional ketika negara-negara maju dan besar di dunia saat ini ternyata juga produsen utama dan penentu pasar pangan dunia.

Keberpihakan pemerintah terhadap pertanian yang menyediakan kebutuhan pangan sering kalah oleh industri atau pertanian berorientasi ekspor yang menghasilkan devisa untuk membiayai impor (termasuk impor barang mewah). Di samping itu, Bank Dunia, IMF, dan lembaga-lembaga bantuan internasional lainnya terus mendesak negara-negara berkembang untuk meningkatkan ekspornya demi kelancaran pembayaran bunga dan cicilan utangnya.

Tidak mengherankan jika dana dan perhatian terhadap pertanian tanaman pangan untuk kebutuhan sendiri (food crops) sering tersisihkan oleh tanaman untuk dijual (cash crops). Sebagai contoh, dana penelitian untuk menghasilkan bibit unggul lokal sangat minim, akibatnya bibit lokal selalu kalah bersaing dengan bibit unggul dari luar. Semua itu mengakibatkan menurunnya produksi bahan pangan yang pada akhirnya akan mengguncang ketahanan pangan penduduk.

Padahal menjadi hak setiap warga negara untuk memperoleh pangan yang aman dan bergizi, sama prinsipnya dengan hak memperoleh pangan yang cukup dan hak untuk bebas dari kelaparan. Bagi Indonesia pangan adalah penentu kesejahteraan sebagian besar penduduk perdesaan yang bekerja pada on farm, terdiri dari petani berlahan sempit dan buruh tani, yang sebagian besar adalah rakyat miskin. Tidak kalah pentingnya pangan juga menentukan kesejahteraan konsumen miskin perkotaan yang sebagian besar porsi pendapatannya digunakan untuk konsumsi.

Untuk itu, persoalan politik pangan menjadi penting untuk segera diletakkan kembali dasar-dasarnya. Peningkatan produksi dalam pertanian misalnya bisa ditempuh dengan dua jalan: intensifikasi (peningkatan) dan ekstensifikasi (perluasan). Intensifikasi pertanian dicapai dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakan intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani; membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya. Sekali lagi, pilihan atas teknologi serta sarana produksi pertanian yang digunakan harus berdasarkan iptek yang dikuasai, bukan atas kepentingan industri pertanian asing. Dengan begitu, ketergantungan kita pada pihak asing dalam pengelolaan pertanian negara dapat dihindarkan. Dengan demikian, kita pun akan terhindar dari intervensi mereka. Harus ada keseriusan dan terobosan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari food trap ini sekaligus keluar dari lingkaran kemiskinan.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*