HTI-Press. Penderitaan umat Islam minoritas di berbagai kawasan tiada henti-hentinya. Disamping Pattani di Thailand Selatan, Muslim Moro di Philipina, muslim Rohingya di Myanmar, hal yang sama dialami umat Islam di Xianjing, yang merupakan tanah kaum muslimin yang disebut Turkistan Timur.
Aljazeera.com (1/8) memberitakan pihak berwenang China di provinsi barat laut Xinjiang telah melarang pejabat Muslim dan siswa dari berpuasa selama bulan Ramadhan. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan perlawanan di kawasan itu..
Muslim Turkistan Timur (Xian Jiang) yang berjumlah lebih dari 9 juta ditekan oleh Partai Komunis China ketika umat Islam melaksanakan ramadhan. Mereka membatasi kegiatan agama Islam, termasuk puasa dan sholat berjamaah di masjid selama bulan ramadhan.
Sebuah pernyataan dari kota Zonglang di Xinjiang Kashgar distrik mengatakan “komite daerah” telah mengeluarkan kebijakan komprehensif untuk menjaga stabilitas sosial selama periode Ramadhan.
“Dilarang untuk kader partai Komunis, pejabat sipil termasuk yang sudah pension, para pelajar untuk ikut dalam kegiatan agama selama bulan Ramadan”.
Pernyataan itu, diposting di situs web pemerintah Xinjiang. Rezim komunis China ini juga mendesak para pemimpin partai untuk membawa “hadiah” makanan untuk para pemimpin desa setempat untuk memastikan apakah mereka makan selama bulan Ramadhan di .
Perintah serupa membatasi kegiatan Ramadhan diposting di website lain pemerintah daerah, dengan biro pendidikan daerah Wensu yang isinya mendesak sekolah-sekolah untuk memastikan bahwa siswa tidak masuk masjid selama bulan Ramadhan di siang hari .
Sebuah kelompok hak asasi pengasingan, Kongres Uighur Dunia, memperingatkan kebijakan akan memaksa “orang-orang Uighur untuk melawan [pemerintah China] lebih jauh.”
“Dengan melarang puasa pada bulan Ramadhan, China menggunakan metode administratif untuk memaksa orang Uighur makan yang membatalkan puasa,” kata juru bicara kelompok Dilshat Rexit dalam sebuah pernyataan.
Wiliyah ini terus mengalami konflik akibat penjajahan China dan tindakan diskriminasi rezim komunis China terhadap umat Islam di sana. Terakhir terjadi pada Juli 2009 dimana lebih dari 200 orang meninggal dunia dari kedua belah pihak yang bertikai.
Hubungan umat Islam dengan wilayah China terjadi saat Khalifah Uthman ibn Affan memulai kontak dengan Cina. Setelah menundukkan Romawi dan Persia, Khalifah Uthman bin Affan mengirim delegasi yang dipimpinm Sa’ad ibn Abi Waqqas ra (paman Nabi Saaw) ke Cina pada tahun 29 H (651 M). Misi delegasi ini adalah mengundang kaisar Cina untuk memeluk Islam.
Delegasi muslim lalu membangun Masjid di kota Kanton. Masjid ini dikenal hingga hari ini sebagai ‘Masjid Memorial’. Ada beberapa laporang yang mengatakan bahwa Sa’ad juga dikubur di Cina. Selama bertahun-tahun aktifitas perdagangan di Cina, membawa pendatang muslim yang berprofesi sebagai pedagang dan pelaut. Daerah dimana para pendatang muslim tersebut bermukin dikenal sebagai pelabuhan Chen Aan pada masa Dinasti Tang.
Tidak lama setelah komunis mengambil alih kekuasaan di tahun 1949, pemerintah Mao membagi umat Islam ke dalam identitas suku bangsa, sehingga umat dipecah menurut ras mereka, dan bukan lagi oleh kesamaan aqidah, yaitu ‘identitas keislamannya’. Menurut statistik kependudukan di tahun 1936, pemerintahan Kuomintang Republik Cina saat itu memperkirakan jumlah warga muslim sebesar 48.104.240 orang. Sejak diberlakukannya kebijakan Mao, angka tersebut menurun menjadi 10 juta warga saja. Tidak ada penjelasan resmi, kemana hilangnya 38 juta nyawa.
Pembersihan massal seperti ini sangat luarbiasa dan membuat apa yang terjadi di Tibet tidak ada apa-apanya. Padahal Barat begitu getolnya membela hak asasi pendeta dan dalai lama Tibet akibat pendudukan Cina di sana dan juga peristiwa Tiannamen Square, tapi tidak pernah mengucurkan air mata untuk nasib umat Islam.
Di samping penghilangan secara fisik, Muslim juga sering dihujani dengan serangan yang mengancam identitas keislaman mereka. Masa Revolusi Budaya (1966-76) menunjukkan bagaimana brutalnya kebijakan dan sikap kaum Komunis. Ini terlihat dari poster yang terpampang di Beijing saat itu di tahun 1966, yang menyerukan penghapusan ritual Islam.
Muslim juga dilarang untuk mempelajari bahasa tulis semasa Revolusi Budaya tersebut. Bahasa tulis muslim di sana memiliki unsur huruf Arab dan dipengaruhi oleh Arab, Turki dan Farsi. Kebijakan ini sangat bahaya karena memisahkan muslim dari bahasa Arab, bahasa Qur’an dan Negara Islam. Taktik seperti ini memang sering dipraktikkan oleh musuh-musuh Islam termasuk Mustapha Kamal, seorang laki-laki yang menghapus Khilafah. Pada masa ini, kaum komunis menutup Masjid dan menyebarkan fitnah tentang Islam dan muslim .
Semua ini merupakan potret ketika saat umat Islam tidak lagi memiliki Khilafah yang menyatukan,memperkuat, dan melindungi umat Islam. Tanpa Khilafah umat Islam bagaikan buih di lautan,meskipun jumlahnya banyak tapi tidak memiliki kekuatan. Walhasil, perjuangan penegakan Khilafah merupakan kebutuhan mutlak umat Islam saat ini, terutama karena merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT dan Rosul-Nya. (FW)
selama tdk ada khilafah, rasa-rasanya istirahat, tidur&makan kita dipertanyakan ‘kwalitasnya’, astaghfirulloh..
Ya Rabb…..berilah kami kekuatan untuk tegaknya Khilafah….
kami mendengar melihat penderitaan saudara2 kami…