Al-Muqrizi, dalam kitabnya, al-Mawa’idh, menyatakan, bahwa Dewan Wakaf merupakan dewan yang paling dibutuhkan dan bersentuhan langsung dengan kebutuhan rakyat, dan tidak seorang pun yang dipekerjakan dalam dewan tersebut kecuali juru tulis terkemuka dari umat Islam dan dikenal sebagai orang-orang yang adil dalam kesaksian, dimana ucapan dan keputusan hukumnya dapat diterima (Lihat, Al-Muqrizi, al-Mawa’idh, Juz II/295).
Di era Khilafah Utsmaniyyah, telah dilakukan penyempurnaan terhadap sistem perwakafan ini. Isinya berupa penjelasan tentang berbagai jenis tanah dan penanganan al-Musaqqafat dan al-Mustaghallat yang diwakafkan. Al-Musaqqafat merupakan tanah-tanah yang di atasnya terdapat bangunan atau yang dikhususkan untuk membangun bangunan wakaf. Sedangkan al-Mustaghallat ini merupakan harta benda yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya, dan tidak pula diperdagangkan, tetapi dimanfaatkan untuk dikembangkan, sehingga para pemiliknya mendapatkan manfaat dan pemasukan dari penyewanya, atau menjual produk yang dihasilkannya (Lihat, Dr. Raghib as-Sirjani, Madza Qaddama al-Muslimun li al-‘Alam Ishamatu al-Muslimin fi al-Hadharah al-Insaniyyah, hal. 524).
Pembagian seperti ini masih berlaku di negeri-negeri Arab hingga sekarang. Sistem dan peraturan yang dikeluarkan oleh Khilafah Utsmaniyyah, yang berhubungan dengan wakaf adalah sistem yang dikenal dengan nama Taujih al-Jihat. Sistem ini berperan mengatur pembagian tugas dalam wakaf, bakti sosial serta melaksanakan seleksi para kandidat yang dipilih untuk menjabat pengurus wakaf, dan mencakup seleksi terhadap para kandidat tersebut. Mereka dipilih untuk menempati pos-pos keagamaan, seperti imam shalat, khutbah, majelis taklim, adzan dan lain-lain.
Sistem yang berhubungan wakaf ini terus berkembang di seluruh dunia Islam sejak Khilafah Utsmaniyyah hingga sekarang, dan akhirnya mempunyai lembaga khusus yang mengurus bidang ini (Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Muhadharat fi al-Waqf, hal. 26-27). Wakaf ini pun mencakup seluruh aspek kehidupan yang sangat penting. Antara lain, untuk pendirian masjid, perpustakaan, rumah sakit, jalan raya, sumur, pemandian, MCK, sekolah, pesantren dan lain-lain. Dengan demikian, wakaf ini bisa memenuhi berbagai kebutuhan berbagai lapisan masyarakat yang ada.
Sebagai contoh, di Makkah al-Mukarramah, kita temukan ada taman yang luas di samping Masjidil Haram, yang diwakafkan untuk orang fakir miskin, para pendatang yang datang untuk mengunjungi Baitullah, pemimpin para delegasi dan lain-lain, yang diwakafkan oleh seorang syeikh yang mempunyai ketenaran di era pemerintahan Raihan an-Nadi as-Syihabi. Ia adalah seorang guru besar di Masjidil Haram pada tahun 977 H (Lihat, Ibn Dhiya’, Tarikh Makkah al-Mukarramah wa al-Haram as-Syarif, hal. 247).
Melalui wakaf ini, telah berdiri ribuan, bahkan mungkin jutaan masjid di negeri-negeri kaum Muslim hingga kini. Wakaf ini dilakukan oleh mereka yang ingin memiliki amal yang pahalanya terus mengalir. Karena, wakaf ini merupakan realisasi dari shadaqah jariyah secara nyata, sebagaimana hadits Nabi, Amsik ashalaha wa asbil tsamraha (Tahanlah pangkal pohon tersebut, dan biarkanlah buahnya terus mengalir [dinikmati yang lain]). [HAR/mediaumat]
“demokrasi” eror delet. instal “khilafah”